Oleh: S. Afifah Rusyda*
Kudus, kota yg konon dulunya bernama Loaram, punya sejarah yang erat kaitannya dengan Sunan Kudus, tak hanya kota dan ikon kotanya yang indah, di sana juga tinggal seorang kiai yang karismatik dan otoritatif, yang sangat gigih dalam memperjuangkan agama, namun tak memiliki pesantren.
Beliau adalah KH. Sya’roni Ahmadi, ulama yang menguasai ilmu agama secara interdisipliner. Pendakwah ulung dan guru masyarakat yang terkenal sangat alim dan multi talent, sebab tak hanya ahli dalam dakwah lisan sebagai macan panggung, namun beliau juga ahli dalam dakwah melalui media tulisan, yang hingga kini masih dijadikan rujukan. Dan nasihat-nasihat beliau masih dapat dinikmati di beberapa kanal youtube yg direkam semasa beliau masih sugeng.
Kelahiran dan Pendidikan
KH. Sya’roni Ahmadi dilahirkan di Kudus pada tanggal 17 Agustus 1931 dari pasangan Ahmadi dan Hayati, Kiai Sya’roni merupakan anak yang ketujuh dari delapan bersaudara yaitu Hj. Maftubah, Hj. Hanifah, Fatimah, Muzamil, H. Nur Hamid, H. Misbah, Khudlori, dan Faiqul Ihsan. Kiai Sya’roni lahir dari keluarga santri dengan ekonomi yang pas-pasan. Sejak kecil, beliau sudah ditinggal ibunya, ketika berusia 8 tahun, sepeninggal ibunya beliau diasuh oleh ayahnya, namun sang ayah juga wafat diusianya yang ke-13 tahun.
Meski ujian pahit mendera hidupnya, sejak masih anak-anak, Sya’roni sangat rajin belajar terutama ilmu agama, mulai dari al-Quran sampai Tasawuf. Sya’roni kecil juga rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan di sekitar kota Kudus. Pada usia 11 tahun, beliau sudah hafal 100 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik. Dan pada usia 14 tahun, sudah hafal al-Quran. Kemudian di usia 14 hingga 26 tahun beliau mendalami kitab kuning.
Interaksi yang sangat intens dengan guru-gurunya yang alim, menjadikan Kiai Sya’roni sebagai sosok ulama yang menguasai ilmu agama secara interdisipliner. Semua bidang keilmuan dikuasainya, baik Ilmu tafsir, fiqih, ushul al-fiqih, qawaid al-fiqhiyyah, nahwu, shorof, balaghah, mantiq, dan lain sebagainya.
Pendidikan formalnya diperoleh dari Madrasah Diniyah Mu’awanah di Ma’ahid Lama asuhan KH. Muchit. Setelah itu belajar al- Qur’an (al-Qira’ah as-Sab’iyyah) ke Pesantren Yanbu’ul Qur’an asuhan KH. Arwani Amin Kudus. Kemudian berguru kepada KH. Turaikhan al- Juhri, KH. Turmudzi, dan KH. Asnawi Kudus dan kiai lainnya.
Peran dan Jasa
Setelah sekian lama belajar, dalam usia muda Kiai Sya’roni sudah mulai berdakwah di masyarakat. Beliau berdakwah di masjid-masjid atau di rumah-rumah penduduk yang dijadikan tempat mengaji. Beliau juga sering mengisi pengajian umum atau tabligh akbar.
Peran dan jasa beliau;
1. Pada masa penjajahan Belanda : aktif dalam perang gerilya melawan penjajah.
2. 1965 : saat terjadi pemberontakan PKI,menolak tegas ideologi komunisme,
3. 1955 : Aktif berkampanye untuk Partai Ka’bah, kemudian bergabung dengan Partai NU.
4. 1984 : bergabung dengan ppp namun hanya di belakang layar dan tidak berada di garis struktural
5. Banyak berjasa dalam mengembangkan madrasah-madrasah di kota Kudus, seperti Madrasah Banat NU, Muallimat, Qudsiyyah, Tasywiq al-Thullab al-Salafiyah (TBS), dan Madrasah Diniyah Keradenan Kudus.
6. penasehat Rumah Sakit Islam YAKIS dan menjabat Mustasyar NU Cabang Kudus.
Sejak periode tahun 1980-an, Kiai Sya’roni mulai banting setir. Gaya dakwah yang dulu keras, dirubah total menjadi lebih halus dan lunak. Hal itu disesuaikan dengan pergeseran logika dan kebutuhan masyarakat yang setiap saat berubah. Berkat perjuangan Kiai Sya’roni, tradisi dan corak kehidupan masyarakat Kudus cukup agamis.
Tradisi santri yang sekarang lekat dengan masyarakat Kudus, tidak bisa lepas dari jasa-jasa beliau. Pengajian rumahan atau pengajian di masjid-masjid, seperti pengajian Ahad Pagi, hingga kini masih rutin dijalankan. Kiai Sya’roni juga mampu merangkul semua kalangan, terutama kaum Nahdliyyin dan Muhammadiyah, untuk ikut serta dalam pengajiannya.
Karya-Karya
( A.Mubarok Yasin : Ensiklopedi) Selain rajin mengkaji kitab dan berdakwah, Kiai Sya’roni juga produktif menulis. Kitab-kitab karangannya berbentuk matan, terjemahan, dan syarah, sebagian di antaranya digunakan untuk mengajar. Kitab-kitab tersebut banyak yang dijadikan kurikulum wajib di madrasah-madrasah sekitar kota Kudus.
Karya-karya tersebut, antara lain:
1. Faidl al-Asany. Membahas Qira’ah al-Sab’iyyah. Terbagi dalam tiga
2. Tarjamah Tarsil al-Turuqat, membahas ilmu manthiq atau logika
3. Al-Tashrih al-Yasir fi ‘ilmi al-Tafsir. Mengulas tafsir al-Qur’an, mulai dari pembacaan, lafal-lafalnya, sanad, arti-arti yang berhubungan dengan hukum, dan sebagainya. Tebal 79 halaman, ditulis pada tahun 1972 M/1392 H.
4. Qira’ah al-Ashriyyah. Mengulas tata cara membaca kitab kuning. Terdiri dari tiga juz. Penyusunan kitab ini, menurut Kiai Sya’roni, bertujuan untuk memudahkan para santri atau siswa dalam mempelajari kitab kuning.
5. Al-Faraid al-Saniyah. Mengulas doktrin ahlusunnah wal jama’ah. Penyusunan kitab ini, konon, diilhami oleh kitab Barigat al- Muhammadiyah ‘ala Tariqat al-Ahmadiyah milik KH. Muhammadun Pondowan, Tayu, Pati. Kiai Sya’roni menulis kitab ini selama kurang lebih dua tahun.
6. Tarjamah al-Ashriyyah. Membahas ilmu Ushul al-Fiqh, mengupas lafadz ‘amm dan khas, mujmal dan mubayyan, ijma’, qiyas, dan sebagainya. Disusun pada Ahad siang, 29 Juni 1986 M/21 Syawal 1406 H.
Kembali ke haribaan Ilahi
Pada 27 April 2021 lalu, Umat muslim khususnya kota Kudus kehilangan sosok teladan tersebut, kiai Sya’roni yang juga menjadi Mustasyar PBNU, menghembuskan nafas terakhirnya di RSI Sunan Kudus dalam usia 89 tahun, dengan meninggalkan banyak karya dan teladan yang harus terus dijaga dan dilestarikan oleh para santri generasi setelahnya. (Alif.id)
Diantara ceramah beliau adalah, Iman seng kuat ora gampang dipengaruhi oleh situasi, serta Rumus tahun masehi dan hijriah terdapat dalam surat al-kahfi, dimana ashabul kahfi menetap di gua selama 300 tahun, yang oleh masyarakat dihitung 309 tahun. sehingga setiap 300 tahun sama dengan 309 tahun, apabila diperkecil sama dengan 100 tahun miladiyah (masehi) sama dengan 103 Hijriah.
*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.