ilustrasi kisah rabiah adawiyah dan pencuri

Oleh: Fajrul Alam

Rabi’ah al-Adawiyah tak lain adalah sosok perempuan yang ketakwaannya sekaligus kecintaannya kepada Allah SWT sangatlah dalam. Bahkan beliau disebut-sebut sebagai salah satu sufi dari kalangan wanita. Dalam buku Rabi’ah al-Adawiyah karya Miftahul Fikri, dkk (2020: 3) menyatakan bahwa, Rabi’ah al-Adawiyah sampai-sampai dijuluki sebagai the mother of the grand master atau ibu para sufi besar dikarenakan kezuhudannya.

Kehadiran Rabi’ah al-Adawiyah dalam dunia tasawuf memang membawa nuansa berbeda. Dengan rasa cintanya kepada Sang Pencipta, Allah SWT mampu memberikan jalan alternatif menuju-Nya. Sebagaimana yang disebutkan oleh M. Alfatih Suryadilaga (2008: 120), tampilnya Rabi’ah al-Adawiyah dalam sejarah tasawuf islam memberikan corak lain dalam perkembangan tasawufnya, di mana sebelumnya asketisme islam ditandai dengan rasa takut dan pengharapan yang dilontarkan oleh Hasan al-Bashri, maka dia meningkatkan menjadi asketisme rasa cinta mahabbah/hubb. Cinta yang murni lebih tinggi daripada takut dan pengharapan, sebab yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.

Rabi’ah al-Adawiyah dikenal juga dengan nama Rabi’ah binti Ismail bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abi Thalib. Ia adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Rabi’ah merupakan klien atau mawlat dari Klan al-Atik dari suku Qays.

Masih dalam buku karangan Miftahul Fikri, dkk, (2020: 8) disebutkan bahwa Rabi’ah lahir di malam hari. Ia adalah putri dari Ismail alAdawiyyah al-Qishiyyah. Diceritakan dalam sebuah literatur karya Fariddudin al-Attar, peristiwa-peristiwa ajaib tak jarang terjadi di masa kelahirannya. Pada malam kelahiran Rabi’ah tidak terdapat suatu barang berharga (tanpa sehelai kain ataupun baju) yang didapat dalam rumah Ismail. Bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk mengoles pusar putrinya, apalagi minyak untuk lampu penerang. Rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kain pun yang dapat digunakan untuk menyelimuti bayi yang baru lahir.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam kitab Kanz al-Ula fi al-Jaza al-‘Ajil fi al-Dunya karya Abu Muhammad Naufal al-Banari, ada sebuah kisah menarik untuk ditelisik terkait sufi perempuan ini, Rabi’ah al-Adawiyah. Kisah yang menceritakan fenomena seorang pencuri yang dengan percaya dirinya memasuki ruangan pribadi Rabi’ah al-Adawiyah untuk mengambil atau merampas sebagian harta beliau. Untuk kelanjutan aksi pencuri ini akan dipaparkan lebih kurang demikian.

Kisah Rabi’ah dan Pencuri

Diceritakan bahwasanya suatu ketika, ada seorang pencuri yang nyelonong masuk ke dalam kamar Rabi’ah al-Adawiyah. Sedangkan Rabi’ah al-Adawiyah sendiri sebagaimana manusia biasa yang tidak terlepas dari waktu istirahat sedang dalam kondisi terlelap tidur. Pencuri pun dengan mudah melangsungkan aksi pencuriannya. Ia mengambil beberapa pakaian milik Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengambilnya tanpa habis pikir.

Setelah selesai mendapatkan apa yang dikehendakinya dari harta-harta milik sufi perempuan ini, lantas ia pergi sembari membawa barang curiannya di tangannya. Sementara Rabi’ah masih saja tenang dalam tidurnya. Tapi si pencuri justru kebingungan mencari-cari pintu keluar dari kamar Rabi’ah. Ia tidak mendapati pintu yang digunakan untuk keluar, seakan-akan kamar tersebut tidak berpintu. Ia terjebak di dalam kamar Rabi’ah. Sungguh suatu keganjilan yang mengejutkan.

Di sela-sela kebingungannya, pencuri itu meletakkan barang curiannya alias melepaskan dari genggaman tangannya atau tidak membawanya. Di saat itu, ia melihat pintu keluar. Dengan kata lain, pintu keluar itu tampak jelas setelah barang curiannya diletakkan atau dilepaskannya. Pencuri pun agak sedikit lega setelah didapatinya pintu tersebut. Sontak seketika ia langsung kembali merengkuh barang curiannya dan bergegas keluar dari kamar Rabi’ah. Namun tak disangka-sangka, selepas ia raih kembali curiannya, pintu keluar yang tadi gamblang terlihat, kembali menjadi seolah-olah hilang dan tidak ada dari pandangan mata

Akhirnya ia pun meletakkan curiannya, seketika itu tampaklah pintu tersebut. Lalu ia coba membawanya, seketika itu hilanglah pintu itu dari pandangannya. Ia mengulang-mengulang hal semacam ini sampai-sampai pada akhirnya terdengarlah suara tanpa rupa/bentuk (هاتف) yang mengatakan demikian,

إن كان المحب نائما، فإن المحبوب يقظان، ضع الثياب واخرج من الباب، فإن نحفظها ولاندعها لك وإن كانت نائمة  

Meskipun seorang pecinta (muhibb) sedang tertidur, namun Yang Dicintainya (Mahbub) tetap terjaga. Maka letakkanlah pakaian-pakaian (barang curian) itu dan keluarlah melalui pintu. Sungguh Kami menjaganya (Rabia’ah al-Aadawiyah) dan tidak meninggalkannya, walaupun ia dalam kondisi tidur.

Walhasil, pencuri itu keluar dari kamar Rabi’ah al-Adawiyah melalui pintu dengan tanpa membawa barang-barang curiannya yang dalam hal ini, pakaian-pakaian milik seorang sufi perempuan, yakni Rabi’ah al-Adawiyah. Rasa kecewa dan penyesalan pastinya tidak dapat dielakkan dari diri pencuri yang berani-beraninya mengusik seraya menciderai kekasih Allah SWT, terlebih di saat Rabi’ah sedang tertidur. Pada akhirnya, pencuri pun pulang dengan tangan kosong.

Baca Juga: Syair-Syair Tingkat Tinggi Rabiah Al-Adawiyah


Referensi: Abu Muhammad Naufal al-Banari, Kanz al-Ula fi al-Jaza al-‘Ajil fi al-Dunya, hal. 9.,

Miftahul Fikri, dkk. (2020). Rabi’ah al-Adawiyah. Najmubooks Publishing.,

M. Alfatih Suryadilaga. (2008). Miftahus Sufi. Yogyakarta: Teras.