Pengasuh Pesantren Tebuireng
dari Masa ke Masa
Dalam perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7 kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan Tebuireng sbb:
Periode I : KH. Muhammad Hasyim Asy’ari : 1899 – 1947 (48 tahun).
Periode II : KH. Abdul Wahid Hasyim : 1947 – 1950 (3 tahun).
Periode III : KH. Abdul Karim Hasyim : 1950 – 1951 (1 tahun).
Periode IV : KH. Achmad Baidhawi : 1951 – 1952 (1 tahun).
Periode V : KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953 – 1965 (12 tahun).
Periode VI : KH. Muhammad Yusuf Hasyim : 1965 – 2006 (41 tahun).
Periode VII : KH. Salahuddin Wahid : 2006 – sekarang
Setiap periode kepemimpinan memiliki pola yang khas. Jika pada awalnya pola kepemimpinan Tebuireng bersifat karismatik-tradisional, maka lambat laun berganti menjadi pola kepemimpinan rasional-tradisional. Peralihan pola kepemimpinan seperti ini berlangsung secara gradual sejak era kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari sampai KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah).
Ketika Kiai Hasyim memimpin Tebuireng, para santri maupun masyarakat menganggap beliau memiliki karomah, yaitu suatu kekuatan supranatural yang diberikan oleh Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Melalui keyakinan ini, Kiai Hasyim menjadi panutan, pemimpin spiritual, dan sekaligus figur sentral di mata santri dan masyarakat. Kiai Hasyim menjadi rujukan berbagai persoalan, baik berupa masalah keagamaan, kesehatan, tradisi ritual, rumah tangga, pertanian, sosial, ekonomi, budaya, hingga politik. Kedudukan Kiai Hasyim benar-benar menjadi pusat segalanya, sehingga setiap hal yang dilakukannya tidak pernah dipermasalahkan.
Sepeninggal Kiai Hasyim, pola kepemimpinan karismatik mulai bergeser. Di bawah kepemimpinan Kiai Wahid Hasyim (1947-1950), pola kepemimpinan Tebuireng mulai bersifat rasional tradisional. Kiai Wahid memimpin Tebuireng selama tiga tahun (1947-1950), dan setelah itu digantikan oleh adiknya, Kiai Karim Hasyim (1950-1951).
Pola kepemimpinan rasional tradisional terus bertahan pada masa kepemimpinan Kiai Karim. Di bawah kepemimpinannya, Tebuireng melakukan formalisasi terhadap semua lembaga pendidikan yang berada dibawah naungannya. Setahun kemudian, Kiai Karim meminta kakak iparnya, Kiai Baidlowi, untuk menggantikannya. Kiai Baidlowi juga memimpin Tebuireng selama satu tahun (1951-1952).
Kiai Baidlowi adalah menantu Kiai Hasyim. Pola kepemimpinannya sangat tradisional. Yang menarik dari kasus kepemimpinan Kiai Baidlowi ialah tradisi pewarisan kepemimpinan pesantren yang umumnya berlanjut dari ayah kepada anak, kini beralih kepada menantu. Kiai Hasyim memang pernah berwasiat bahwa siapa pun yang memenuhi kriteria, dapat menjadi pimpinan Tebuireng meski bukan keturunannya. Namun wasiat tersebut agaknya tidak mampu mengubah tradisi. Kiai Baidlowi menyadari bahwa tradisi ini masih sangat kuat, sehingga dengan suka rela beliau menyerahkan kepemimpinan Tebuireng kepada Kiai Kholik Hasyim, adik iparnya.
Pada masa Kiai Kholik (1952-1965), pola kepemimpinan Tebuireng bergeser lagi ke arah pola karismatik. Sekalipun karisma Kiai Kholik tidak sebesar karisma Kiai Hasyim, akan tetapi santri dan masyarakat meyakini bahwa karomah Kiai Hasyim telah diwarisi Kiai Kholik. Kiai Kholik dikenal sebagai pemimpin Tebuireng yang sering mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian, sehingga beliau lebih dikenal sebagai tokoh mistis-religius daripada tokoh pengajar kitab.
Sebagai pengasuh, tidak satupun kebijakan yang ditetapkannya dibantah oleh santri maupun oleh keluarga Bani Hasyim. Ketika Kiai Kholik mendatangkan kakak iparnya, Kiai Idris Kamali (Cirebon) untuk mengajarkan kitab kuning di Tebuireng, tidak ada seorang pun yang mengkritiknya. Sebagai mantan perwira TNI, Kiai Kholik menerapkan disiplin tinggi di Tebuireng.
Ketika Kiai Kholik meninggal tahun 1965, kepemimpinan pesantren diserahkan kepada KH. Muhammad Yusuf Hasyim atau Pak Ud (1965-2006), adik bungsu Kiai Kholik yang saat itu masih aktif di Jakarta sebagai politikus.
Di bawah kepemimpinan Pak Ud, pola kepemimpinan rasional semakin kentara. Pendirian UNHASY, SMP, SMA, serta unit-unit lain yang pengelolaannya diserahkan kepada semacam dewan rektor/sekolah, menunjukkan bahwa pola kepemimpinan Pak Ud adalah rasional-manajerial. Secara pribadi, Pak Ud tidak perlu lagi terjun secara langsung atau berada dalam proses belajar-mengajar di pesantren, karena hal itu sudah dikelola oleh pengurus pesantren atau unit pendidikan yang ada.
Pola rasional-manajerial juga terlihat pada saat kepemimpinan Tebuireng beralih kepada penggantinya, KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah). Pola kepemimpinan Gus Solah mengacu pada pola kepemimpinan kolektif. Tingkat partisipasi komunitas cukup tinggi, struktur keorganisasian lebih kompleks, pola kepemimpinan tidak mengarah kepada satu individu melainkan lebih mengarah kepada kelembagaan, dan mekanismenya diatur secara manajerial.
Dalam memutuskan persoalan penting, Gus Solah selalu berkonsultasi atau meminta masukan dari pengurus pondok dan pengurus Yayasan, kiai dan tokoh masyarakat, keluarga serta para alumni senior. Berbeda dengan masa kepemimpinan Kiai Hasyim, yang tidak memerlukan konsultasi dengan siapapun dalam mengambil kebijakan.
Pada bagian berikut ini akan diulas biografi singkat pengasuh Tebuireng, dimulai dari Kiai Hasyim Asy’ari sebagai pendiri, hingga Gus Solah sebagai pengasuh sekarang. Di sini juga akan diulas perubahan-perubahan esensial yang terjadi selama masa kepemimpinan masing-masing pengasuh.[1]
[1] Untuk masa kepemimpinan Gus Solah, data-data yang tertulis di sini hanya mengurai dua tahun masa kepemimpinannya, yakni sejak bulan April 2006 M. sampai bulan Agustus 2008 M.