Ilustrasi: KH. Hasyim Asy’ari (tebuirengonline)

Oleh: Mohamad  Anang Firdaus*

Gus Ishom Hadzik pernah bercerita, suatu saat Kiai Hasyim Asy’ari diundang dalam sebuah pertemuan, lantas beliau dijemput dengan mobil. Dengan tuturnya yang santun, beliau menolak fasilitas mewah itu, dan lebih memilih untuk pergi ke lokasi menaiki dokar miliknya sendiri. Alasannya, menggunakan mobil hanya untuk menjemput dirinya adalah sesuatu hal yang lebay (ghuluw/الغلو) dan sok-sokan (‘uluw/العلو), meski Kiai Hasyim tau maksud baik sang pemilik mobil. 

Hal di atas juga terekam dalam syair Jawa Kiai A. Syarif Hidayat sebagai sikap ketawadluan Kiai Hasyim. Dikatakan:

Yen disusul numpak montor ora gelem # Yen ora terpaksa nemen ora gelem

Lamun kepentingane ora mendesak # Numpak Dokar Wek e Dewe wes kepenak

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mengapa Kiai Hasyim menolak jemputan mobil? Waktu itu mobil masih menjadi barang mewah milik bangsawan. Tak semua orang mampu memilikinya, atau bahkan sekadar menaikinya. Barangkali kejadian ini terjadi di saat awal-awal kemunculan mobil di Jawa. Hingga Kiai Hasyim menjaga hatinya untuk tidak terjangkiti penyakit ghuluw dan ‘uluw, layaknya gaya berkendara (sombong) para raja dan penggede (thariq masyyi al-muluk wa al-jababirah), sifat yang amat dihindari Kanjeng Nabi, yang dapat merusak sifat tawadhu, yang merupakan adab seorang alim.

Lantas apakah Kiai Hasyim sekaku itu? Tentu tidak. Buktinya saat Nyai Nafiqah membelikannya mobil tua keluaran Amerika sebagai penunjang mobilitasnya yang semakin padat, Kiai Hasyim Asy’ari juga menerimanya, sebagai asas kebutuhan. Pun di tahun 1932 saat menghadiri acara NU yang berantai, mulai dari Bandung, Cirebon, hingga Sokaraja Banyumas, Kiai Hasyim juga naik mobil bersama Kiai Abdullah Faqih Maskumambang dan Kiai Bisri Syansuri, disupiri oleh Kiai Wahab Chasbullah.

Walhasil, saya kira kisah ini mewakili apa yang dikatakan Imam al-Razi dalam tafsirnya:

من بالغ في الأعمال الشهوانية وقع في الفجور، ومن بالغ في تركها وقع في الجمود

Siapa yang berlebihan dalam amal-amal duniawi, ia akan jatuh dalam kemaksiatan. Dan siapa yang berlebihan dalam meninggalkannya, ia akan jatuh dalam kejumudan.

Keengganan Kiai Hasyim dengan fasilitas mobil mewah atas dasar menjaga ketawadluan tentu merupakan hal yang baik. Namun keengganan tersebut tidak lantas membuat Kiai Hasyim menolak secara mutlak fungsi mobil sebagai moda transportasi. Semua ditakar oleh Kiai Hasyim secara proporsional, sebagai bentuk beragama secara seimbang, tawassuth dan i’tidal.

Dengan menolak mobil karena tawadlu, lantas bukan berarti ketika bersedia naik mobil artinya Kiai Hasyim telah meninggalkan sifat tawadlunya. Tentu kita tidak boleh menyimpulkannya secara terburu-buru. Karena sifat tawadlu memang masuk dalam hal transendental yang tidak bisa diukur oleh mata secara pasti.

Tawadlu tempatnya di hati, dan tidak ada yang mampu membaca hati seseorang kecuali Tuhannya. Sebagaimana Kiai Hasyim, jangan sampai kita menolak kemajuan zaman atas dasar tawadlu.

Wallahu A’lam


*Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng.