Ilustrator: Siswi SMK Plus Khoiriyah Hasyim Tebuireng

Oleh: Dimas Setyawan*

Sejatinya Islam bukan hanya dapat dilihat sebagai realitas agama, melainkan ia juga sebagai realitas sejarah, budaya serta peradaban, sebab Islam sebagai agama telah bergumul dalam rentang sejarah yang sangat panjang. Sebagai agama, Islam diturunkan bukan dalam ruang yang kosong, tetapi dalam masyarakat yang berbudaya, memiliki tradisi, harapan-harapan, paradigma pemikiran, budaya, konstruksi sosial dan sejarahnya sendiri.

Bahasa kitab suci agama Islam, dalam hal ini Al-Quran, ialah bahasa masyarakat, bahasa Arab. Bahkan komposisi bahasa al-Quran tersusun dalam bentuk yang puitis disebutkan karena alasan i’jâz (inimitability) mengingat masyarakat Arab dahulu menempatkan kemampuan berpuisi seseorang pada status sosial yang tinggi atau bahkan tertinggi. Sampai kini pun puisi-puisi Arab kuno disebut syi’r al-jahili masih terawat dengan baik sebagai salah satu acuan karya sastra Arab. Dengan demikian, agama dan budaya adalah suatu realitas yang berbeda. Keduanya menempati ‘ruang’ sendiri-sendiri.

Agama adalah kebenaran absolut dan permanen, sementara kebenaran dalam budaya bersifat relatif (nisbi), hipotetis (iftiradi), dan dinamik (yü ‘allaq bi al-quwwa). Mengingat agama adalah sesuatu yang absolut maka kebenaran agama diterima dengan kepercayaan (al-yaqin), ketulusan (al- ikhlas) dan kepasrahan (al-islam), sementara kebenaran dalam budaya diterima dengan pemahaman logika, kepatuhan, emosi dan senantiasa dalam dinamika perubahan.

Baca juga: Dakwah Lewat Seni dan Budaya

Ketika agama berada dalam ruang budaya, karena agama dipeluk manusia dan ‘pemahaman’ agama menggunakan media intuisi, bahasa, atau logika, yang terjadi adalah tarik menarik antara kemutlakan agama di satu pihak dan relatifitas budaya di pihak lain. Mungkin keduanya akan mengalami tumpang tindih saling klaim dengan tingkat kompleksitas yang rumit atau bahkan mengalami distorsi. Tetapi dalam realitas sejarah ‘ketegangan’ antara keduanya juga acap kali melahirkan harmoni karena kebutuhan masing-masing untuk eksis dalam kehidupan universal.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mengutip dari Agus Suyonto, dalam buku Atlas Wali Songo, bahwasanya terdapat empat teori masuknya Islam ke Indonesia, antara lain;

  1. India : Gujarat, Malabar, Coromandel dan Bengal. Teori ini didasarkan pada asumsi, kesamaan Maszhab Syafi’I, kesamaan batu nisdan kemiripan sejumlah tradisi dan arsitektur India dengan Nusantara. Pendapat ini didukung oleh beberapa peneliti, antara lain; Prof. Pijnappel, J.P Moquette R.O Winstedit dan beberapa lainnya.
  2. Arab: Mesir, Hadramaut (Yaman). Teori ini berdasarkan pada kesamaan mazhab yang dianut di Mesir dan Hadramaut atau Yaman dengan Mazhab yang dianut di Indonesia yakni Mazhab Imam Syafi’i. teori ini didukung oleh Crafurd, Keyzer, P.J Veth dan beberapa lainnya.
  3. Persia: Kasan, Abarkukh, Lontrestan. Teori ini berdasarkan pada asumsi adanya kesamaan pada sejumlah tradisi keagamaan antara Persia dengan Indonesia seperti: peringatan Asyura atau 10 Muharram, Sistem mengeja huuf Arab dalam pelajaran al-Quran khas Persia, dan pemuliaan ahlu bait dari keluarga Ali bin Abi Thalib dan sebagainnya. Teori ini didukung oleh, Prof. Aboe Bakar Atjeh, Robert N. Bellah dan Prof. A. Hasjmi.
  4. Cina: teori ini berdasarkan pada asumsi adanya unsur kebudayaan Cina dalam sejumlah unsur kebudayaan Islam di Indonesia

Dari keempat teori tersebut, menurut Agus Sunyoto perkembangan masuknya Islam di Indonesia paling besar adalah saat terjadinya Islamisasi oleh para wali songo di abad ke-14 atau 15 masehi. Terdapat hal yang unik saat wali songo mendakwahkan Islam pada saat itu, yakni dengan memadukan antara agama dan budaya. Hal ini adalah sebuah upaya dakwah para wali songo pada saat itu, bagaimana dapat menjadikan masyarakat Indonesia beragama Islam yang mana sebelumnya mayoritas beragama Hindu-Budha.

Salah satu upaya dakwah wali songo yang memadukan antara budaya dan agama adalah melalui perantara pertunjukan wayang. Pada saat itu masyarakat yang masih memeluk agama Hindu-Budha memiliki tradisi local berupa wayang kulit. Pertunjukan tersebut merupakan kegiatan ritual keagamaan yang digelar untuk Tuhan. Yang mana tradisi tersebut memerlukan waktu dan tempat yang cukup sakral.

Sayanganya tradisi lokal tersebut memiliki aspek yang tidak sesuai degan ajaran Islam. Maka ketika Kesultanan Demak berkuasa, pertunjukan wayang diubah. Dengan memasukan beberapa nilai dari ajaran Islam sehingga pertunjukan wayang dapat dimanfaatkan sebagai media dakwah oleh para wali songo pada masa itu. Melalui tradisi lokal yang berada di suatu tempat tersebutlah, proses penyebaran Islam tidak memaksa masyrakat untuk langsung mengganti identitas baru yang asing.

Selain menggunakan media dakwah dengan pertunjukan dakwah Islam, salah satu ha yang dapat Islam diterima oleh masyarakat Indonesia kala itu adalah pelestarian suatu ritual atau upacara hari –hari besar. Hal ini bisa dilihat dari sebuah rangkaian kegiatan Halal bi Halal yang telah menjadi sebuah budaya dan tradisi secara turun menurun oleh masyarakat Indonesia. Pada perjalanannya, tradisi halal bi halal yang berkembang di Indonesia tidak akan dapat ditemukan di negara-negara Jazirah Arab atau bahkan Timur Tengah. Tradisi halal bi halal sendiri adalah salah satu contoh selain dari pemetasan wayang yang sebelumnya tidak memiliki unsur ajaran Islam.

Maka dalam memandang sebuah budaya atau tradisi menurut Dr. KH. Musta’in Syafi’i diperlukan tiga aspek penentu, yang mana apakah tradisi dan budaya tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai agama atau tidak. Tiga aspek tersebut ialah;

Pertama, bila sebuah budaya atau tradisi yang secara keseluruhannya adalah hasil dari bumi itu, dan jika saja telah cocok dengan kehendakan nilai-nilai agama yang berada di dalam Al-Qur’an dan Hadis, maka tradisi atau budaya itu harus dilestarikan.

Kedua, bila budaya dan tradisi yang berlaku di masyarakat tidak sesuai dengan nilai-nilai agama maka harus ada upaya dikoreksi, diganti atau bahkan dihapuskan.

Ketiga, bila budaya dan tradisi di tengah-tengah masyarakat masih kosong dengan nilai-nilai agama, maka sebaik mungkin diisi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama tersebut.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari