Oleh: Rahmah Raini Jamil*
Pahlawan nasional Indonesia yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan juga memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia sekitar tahun 1926-1965 telah memiliki banyak jejak perjuangan dalam literatur sejarah, tokoh tersebut dikenal dengan nama Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Hajjah berasal dari nama gelar yang menandai bahwa seseorang telah selesai menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah, sedangkan Rangkayo merupakan gelar bangsawan yang dipakai setelah menikah, dan Said adalah nama belakang ayahnya. Rasuna Said menjadi nama jalan disekitar kawasan Kuningan Jakarta. Rasuna Said terlahir pada tanggal 14 September 1910 di Maninjau, Agam, Sumatera Barat.
Pahlawan perempuan ini merupakan muslimah yang selalu menutup aurat, menurutnya seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah aurat. Rasuna Said berasal dari keturunan Minang, ayahnya bernama Haji Said, seorang pengusaha sukses yang telah mempunyai perusahaan keluarga bernama CV. Tunaro Yunus. Sewaktu masih muda, Muhammad Said merupakan aktivis pergerakan dan pendukung PERMI. Keluarga Said dikenal sebagai penganut Islam yang taat dan sangat memperhatikan pendidikan putra-putrinya. Rasuna Said menolak ketika akan disekolahkan di sekolah umum, ia lebih memilih sekolah agama sekitar tahun 1916 sampai 1921 yang letaknya tak jauh dari rumahnya.
Setelah menyelesaikan sekolah dasarnya pada tahun 1921 Rasuna Said meneruskan pendidikannya hingga tahun 1993 di pesantren Ar-Rasyidiyah dibawah pimpinan Syekh Abdul Rasyid. Mayoritas santrinya adalah laki-laki dan Rasuna Said pada waktu itu merupakan santri perempuan satu-satunya. Pendidikan Rasuna di pesantren memberikannya pengetahuan agama dan nilai-nilai moral yang kuat, menjadi batu pijakan sekaligus pedoman Rasuna Said dalam menghadapi tantangan dan rintangan dari perjuangannya dalam pergerakan nasional dan dalam perjuangannya membela hak-hak perempuan.
Setelah menyelesaikan pendidikannya tahun 1993 di pesantren, Rasuna Said melanjutkan pendidikannya ke sekolah Diniyyah Puteri yang didirikan oleh Rahmah El Yunusiah. Selama di Diniyyah Puteri, rasa kepedulian Rasuna terhadap pendidikan semakin tertanam, hingga kemudian menjadi pengajar di Diniyyah Puteri. Tak lama mengajar, Rasuna memiliki perbedaan pendapat dengan Rahmah El Yunusiah, ia mulai memasukkan pelajaran politik kepada murid-muridnya, namun hal tersebut bertolak belakang dengan pemikiran Rahmah. Akhirnya Rasuna memutuskan untuk meninggalkan Diniyyah Puteri dan kembali menyibukkan diri menuntut ilmu kepada tokoh pembaharu Minangkabau kala itu, yang bernama Dr. H. Abdul Amrullah yang lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul.
Ia belajar tentang pentingnya pembaharuan pemikiran keagamaan yang inklusif, bukan hanya mengikuti tradisi tanpa pemahaman yang mendalam, serta kebebasan berpikir yang progresif dan kritis. Pengaruh inilah yang terimplementasikan dalam perjuangan dan kontribusi Rasuna Said yang memperjuangkan kesetaraan gender dan keadilan sosial.
Pada tanggal 28 Juni 1926, Rasuna Said pulang ke kampung halaman dan melanjutkan pendidikannya kepada Haji Abdul Majid, seorang kaum tua di desanya. Namun tidak berselang lama, Rasuna merasa kurang sesuai dengan pemikiran H. Abdul Majid yang konservatif. Lalu ia kembali ke Padang Panjang dan berguru lagi kepada Haji Rasul.
Rasuna Said melanjutkan pendidikannya di sekolah Sumatra Thawalib pada tahun 1930 dan berharap dapat menambah kemampuan dan keterampilannya dalam bidang agama dan pendidikan. Selama menuntu ilmu kepada H. Udin Rahmani, gurunya di sekolah Sumatra Thawalib, semangat Rasuna Said dalam bidang politik mulai mengembara. Rasuna dikenal sebaga perempuan yang pandai berpidato dan debat, hal ini diakui oleh teman-teman seperjuangannya. Sehingga ia dapat menyelesaikan pendidikannya selama 2 tahun, yang seharusnya diselesaikan selama 4 tahun. Rasuna Said meneruskan pendidikan terakhirnya di Islamic College di Padang sewaktu berusia 23 tahun.
Selama belajar di sana, Rasuna berhasil menjadi pimpinan redaksi dalam masjalah Raya, ia mulai tekun dalam bidang kepenulisan dan jurnalistik. Tulisan Rasuna Said dalam majalah Raya ini terang-terangan menyorot persoalan penjajah Belanda waktu itu, ia berusaha menyadarkan masyarakat pribumi atas kekejian penjajah selama ini. Akhirnya tindakan Rasuna Said ini diawasi ketat oleh pemerintah Belanda melalui PID (Politicke Inlichtingen Dienst) yang merupakan badan keamanan utama Hindia Belanda. PID ini mulai mempersempit ruang gerak Rasuna Said.
Rasuna Said bergabung dengan organisasi politik untuk pertama kalinya waktu berumur 16 tahun, tepatnya pada tahun 1926. Pada waktu itu Sarekat Rakyat memang menarik minat kalangan muda, Rasuna Said menjabat sebagai sekretaris. Kemampuan Rasuna Said dalam hal berpidato sangat diapresiasi oleh masyarakat, di mana ia berada, maka berbondong-bondonglah rakyat datang untuk menyaksikan dan mendengarkan ceramah politiknya. Rasuna berani mengkritik pemerintahan Belanda sebagai penjajah Indonesia, dalam orasinya Rasuna seringkali dengan lantang berterus terang bahwa Belanda telah memperbodoh dan memiskinkan rakyat pribumi, menciptakan perbudakan yang menyebabkan rakyat Indonesia sengsara, tertindas dan sangat menderita. Atas gerak gerik Rasuna yang sangat berani ini, ia sampai dijuluki sebagai “singa podium”. Rasuna adalah orator perempuan pertama di Indonesia di masa penjajahan.
Rasuna Said merupakan perempuan pertama Indonesia yang terkena spreek delicet karena dianggap telah menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Setelah ditahan, Rasuna Said akhirnya diajukan ke pengadilan dengan didampingi S.A Hakim sebagai pembelanya di landraad Payakumbuh. Kemudian Rasuna dibawa ke Semarang, rakyat melepaskannya dengan iringan lagu Indonesia Raya dan penuh dengan tangisan. Rasuna mendekam dalam penjara Bulu Semarang selama tiga belas bulan.
Rasuna Said selepas dari hukumannya, ia pulang ke Padang dan melihat langsung bahwa tanah airnya telah luluh lantak. Kini Rasuna berusia dua puluh empat tahun, semangatnya tak padam, justru semakin berkobar. Rasuna menggunakan waktunya untuk belajar di Islamic College, sebuah perguruan yang didirikan oleh PERMI.
Rasuna berlayar ke Medan. Di Medan, ia mendirikan lembaga pendidikan khusus perempuan yang diberi nama Perguruan Putri dan kemudian Rasuna menerbitkan majalah yang diberi nama Menara Putri. Majalah ini membahas persoalan keperempuanan dan keislaman. Terbit sebulan sekali, didalamnya memuat ide-ide Rasuna tentang perempuan dan segala macam permasalahannya dan disebarluaskan. Perempuan-perempuan yang bersekolah di Perguruan Putri dibimbing untuk memahami peran perempuan dalam proses perjuangan kemerdekaan. Bahwasanya perempuan sama dengan kaum lelaki, perempuan bukan hanya mengandung, melahirkan dan menyusui anak, namun juga mempunyai peran sama dalam hal pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Setelah kehidupannya di Medan, Rasuna terus melanjutkan kehidupannya dalam bidang politik hingga masa penjajahan Jepang dan sampai akhir hayatnya. Meskipun Rasuna Said akhirnya menjadi politikus, namun jiwanya sebagai guru benar-benar tidak terabaikan. Rasuna telah menjadi perempuan yang dalam buku berjudul “Ulama Perempuan Indonesia” dikatakan bahwa selangkah lebih maju daripada perempuan yang pada abad itu memperjuangkan pendidikan dan sosial, yang mengartikan kemerdekaan perempuan adalah ia yang terlepas dari pingitan dan menjadi ibu rumah tangga baik.
Dengan tekad dan ketekunan Rasuna, ia memperjuangkan agar perempuan juga tampil dalam politik, dalam organisasi pergerakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Berbagai perjuangan Rasuna khususnya dalam bidang politik telah menjadi jejak yang baik dalam literasi-literasi sejarah Indonesia. Rasuna akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 10 November 1965 dalam usia 55 tahun dikarenakan penyakit kanker yang diidapnya. Sebagai penghargaan kepada jasa-jasanya, berdasarkan SK Presiden No. 084/TK/1974, Rasuna Said diangkat sebagai pahlawan nasional.