santri tebuireng mencari ilmu
santri tebuireng mencari ilmu

Melanjutkan hubungan antara hidayah dan thalabul ilmi sebagaimana keterangan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah. Al-Ghazali menyebut ada 3 jenis atau tipe pencari ilmu berkaitan dengan konsep mengunduh hidayah dalam prosesnya.

Pertama, pencari ilmu yang orientasinya dalam setiap usaha-usahanya mendapatkan ilmu, untuk kepentingan ukhrawi, berbau akhirat. Ia tidak akan bertujuan apapun kecuali hanya untuk mengharap wajhallah. Penulis menyarikan dari keterangan Kiai Yayan, tentang makna “wajh” ini bukanlah berarti wajah, muka, atau arah sebagaimana makna biasanya, tetapi dimaknai sebagai arah utama yang diharapkan umatNya, yang menjadi idaman banyak umatNya, yaitu keridhoanNya.

Maka Wajh di sini bi ma’na ar-Ridho. Maka keridhoan Allah adalah tujuan utama proses pendidikan dan menjadi konsep dasar pendidikan berbasis keislaman.  Orientasi semacam ini, kata Al-Ghazali, merupakan orientasi orang-orang yang berhasil, orang-orang yang bejo alias beruntung.

Hal itu sebagaimana juga disampaikan Kiai Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa Muta’allim bahwa prasyarat utama mencari ilmu adalah orientasi ukhrawi. Niat awal mencari ilmu harus karena ingin menggapi ridho Allah. Sebagaimana az-Zarnuji dan Ibnu Jamaah dalam kitab mereka masing-masing juga berkata hal yang sama. Maka para ulama sebenarnya di sini menyepakati bahwa mencari ilmu merupakan salah satu jalan menggapai ridho Allah.

Kedua, adalah orang-orang yang orientasi mencari ilmunya, karena ingin mendapatkan kekuatan, kekuasaan, pengaruh, jabatan dan kedudukan di mata manusia. Orang seperti ini bisa saja menjadi orang alim, berilmu, ilmuan yang pintar, tapi sebenarnya hatinya lemah dan tujuannya rendah. Maka ketika ia dipercepat ajalnya dan dia belum tobat, dikhawatirkan lebih dekat dengan suul khotimah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketika sudah tobat dan telah terverifikasi oleh Allah pertobatannya, sebelum ajalnya menyerobot, maka ia telah menyandarkan keputusannya itu atas dasar ilmu, dan telah berusaha untuk memperbaiki keadaan. Di sinilah, letak keselamatan ahli ilmu setelah sadar atas melencengnya tujuannya dalam mencari ilmu. Kita sepakat bahwa Allah Maha Pengampun.

Ketiga, pencari ilmu yang menjadikan ilmu sebagai batu loncatan menuju penumpukan harta, kesombongan atas jabatan, dan menggaet massa pengikut. Maka sebenarnya orang-orang ini hanya mengincar dunia, ilmu hanya alat untuk meraih hasrat duniawinya. Orang-orang mungkin akan melabeli dia dengan label ulama, pakaiannya pakaian khas ulama, bersorban, berjubah, bersarung, berkopyah, berdalil sebagaimana ulama, berkata sebagaimana ulama. Kamunflasenya terkadang sukses menggaet pengikut banyak, dan menipu banyak orang.

Bahkan dengan keras Al-Ghazali sampai memggunakan kata “wa takaalubihi” dan gonggongannya dinisbatkan pada gonggongan anjing atau dari kata “kalbun“. Mungkin saking kerasnya Hujjatul Islam mewanti-wanti kita.

Orang dalam klasifikasi ini sebenarya sifatnya destroy, memperbodoh, dan manipulatif. Ketika ia bertobat maka ia bisa menjadi orang yang baik, hanya saja dia pernah lalai. Titik kelalaiannya terletak pada apa yang disebutkan Al-Quran, sebagai orang yang berbicara tentang apa yang tidak ia lakukan. Demikian inilah yang oleh Rasulullah sebagai ulama suu’, ulama buruk yang manipulatif dan destruktif.

Ulama seperti ini kenapa berbahaya, karena ucapan mereka didengar orang banyak yang termanipulasi, lisannya juga fasih berbicara dalil dan ayat-ayat Allah, bahkan mungkin perangai mereka betul-betul terlihat baik. Orang yang tertipu akan terperangkap. Padahal mungkin saja tanda-tanda kemanipulatifannya telah tampak, namun tertutup oleh segala bentuk pertunjukkan yang memukau yang ia tampilkan. Kata Al-Ghazali dalam bahasa yang penuh mubalaghoh (penekanan) “Fa maa afsada hadzal maghrur“, sungguh betapa merusaknya tindakan manipulatif seperti ini.

Di era ini, ulama-ulama demikian tercecer banyak sekali. Menjual-jual ayat untuk kepentingan duniawi, kepentingan harta benda, kepentingan kedudukan, ketenaran dan lain sebagaimana. Mereka mungkin saja bukan ulama pada sejatinya, tapi pakaian, ucapan dan gaya tubuh yang ditampakkan seakan-akan dia ulama. Semoga kita benar-benar mencari ilmu pada yang benar-benar ahli ilmu yang lurus, tidak karena hal-hal yang  manipulatif di atas.


*Disarikan dari pengajian Bidayatul Hidayah yang diampu oleh Kiai Yayan Musthofa.


**Ditulis oleh M. Abror Rosyidin, Dosen Universitas Hasyim Asy’ari