santri tebuireng
santri tebuireng

Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimakah proses transformasi keilmuan yang ideal? Bagaimana bisa ilmu yang disampaikan sama tetapi kadang tingkat penyerapannya bisa berbeda-beda setiap orang. Jawaban itu, ternyata dituliskan Abu Hamid Muhamamd ibn Muhammad ibn Muhammad  Al-Ghazali atau selanjutnya dijuluki Hujjatul Islam, dalam kitabnya Bidayatu al-Hidayah.

Proses transformasi keilmuan berkaitan erat dengan “hidayah”. Al-Ghazali menyebut, jika ketika seorang dalam niatnya mencari ilmu antara dirinya dan Maha Pemilik Ilmu, Allah SWT terdapat hidayah bukan hanya sekedar menerima riwayat keilmuan dari guru, maka para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka dan ikan-ikan laut beristighfar untuknya.

Ada hubungan istimewa antara hidayah dengan ilmu, sehingga ilmu yang didapatkan melalui sentuhan hidayah memiliki previlege lebih dibanding yang sekedar transfer keilmuan antara guru murid, terlebih antara buku dan pembaca.

Al-Ghazali memberikan bocoran kenapa seistimewa itu hidayah, karena sejatinya dia adalah “tsamratu al-ilmi” buah ilmu yang memiliki permulaan (bidayah) dan pamungkas “nihayah“, juga memiliki outside (dhahir) dan inside (bathin). Seseorang tentu saja tidak akan bisa sampai pada akhir dari sesuatu jika tidak bertemu dengan permulaannya. Tidak akan menyentuh bagian dalam dari sesuatu jika tidak pernah bertemu luarannya. Artinya ilmu (pengetahuan) bi tahshil (dihasilkan, bukan ilmu laduni) didapatkan dari proses, bukan ujug-ujug datang. Ia harus diunduh dari server aslinya, bukan tiba-tiba file ter-copy di dalam server kita.

Maka dalam proses itu, dibutuhkan tajrib, yaitu uji coba, eksperimental, trial and eror, dan imtihan atau proses evaluasi assesement. Eksperimental dan assesement menjadi unsur penting, setelah pengajaran, dalam proses pendidikan sebagai permulaan dari penyerapan keilmuan bagi peserta didik atau pencari ilmu. Maka ada trio pendidikan di sini, (1) pengajaran, (2) eksperimental, dan (3) evaluasi atau assesement.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kalau mekanismenya sistematis dan mulus, hati akan condong, jiwa akan patuh untuk bisa menerima ilmu pengetahuan, sehingga bisa meraih pamungkasnya dan menyelami lautan ilmu dengan asyik. Maka tak heran jika ada para ulama dan ilmuan, saking asyiknya dengan ilmu, hingga lupa pada hal-hal lain yang tidak berkaitan.

Namun, terkadang, dalam proses pencarian ilmu ada sana gangguan-gangguan, misalnya ada kecondongam untuk menunda-nunda, maka download hidayahnya terganggu oleh virus dan malwere bernama an-nafs al-ammaratu bi as-suu’, nafsu yang mengajak kepada keburukan. di sinilah ahli virus dan malwere amal buruk, setan mulai bermain meniupkan tipu dayanya.

Salah satu tujuan dari setan dengan tipu dayanya kepada para pencari ilmu adalah dengan menyenangkan mereka pada hal-hal buruk di dalam pertunjukan kebaikan yang penuh fatamorgana. Pelajar yang terjebak, alih-alih mengunduh hidayah, mereka justri terjerembab dalam kerugian besar.  Setan juga akan mendengungkan keutamaan ilmu, derajat ulama, dan hal-hal yang datang teks-teks sumber ilmu. Artinya ia akan lupa tujuan awal mencari ilmu dan digilakan dengan ambisi dan pencapaian yang bersifat duniawi, sampai pada taraf menggunakan ayat-ayat dan teks-teks agama untuk legitimasi ambisinya itu. Itu semua, supaya mereka lupa pada dawuhnya Kanjeng Nabi SAW, “Barangsiapa yang senyampang dengam bertambahnya ilmu, tidak disertai dengan  bertambahnya hidayah, maka sejatinya ia hanya bertambah  jauh dari Allah, Sang Pemberi Ilmu, Sang penyedia server besar hidayah”.

Maka ada doa yang diajarkan Nabi Muhamamd SAW yang berbunyi:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَعَمَلٍ لَا يُرْفَعُ و دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ

Wahai Allah, aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari amal perbuatan yang tidak diterima, dan dari doa yang tidak didengar“.

Semoga kita yang hidup di dunia ini sejatinya hanya dua aspek, berilmu dan beramal, senantiasa diselimuti oleh hidayah Allah SWT. Hidayah yang mengantarkan pada nihayah (ujung) yang diharapkan, yaitu meraih bathinatu at-Taqwa, yaitu hal-hal yang tersembunyi, rahasia (sirr), dan misteri dari ketakwaan kepada Allah SWT.

Dari sini, pendidikan Islam yang diusung Al-Ghozali tidak hanya mementingkan luaran atau output tetapi kualitas internalisasi keilmuan. Hidayah terletak pada pemahaman keilmuan yang benar, penghayatan yang matang, lalu output atau luarannya diamalkan juga akan menjadi tepat dan benar.

Output dan input pendidikan didasarkan pada tujuan penyelenggaraan pendidikan yang tidak hanya mementingkan pengajaran tapi juga tajrib (eksperimental) dan imtihan (evaluasi). Dari situ bisa lahir ilmuan-ilmuan yang orientasi berilmunya adalah ketakwaan, bukan hanya soal pengakuan dan kedudukan di mata masyarakat.


*Disarikan dari pengajian Ramadan Kitab Bidayatul Hidayah diampu oleh Kiai Yayan Musthofa.


*Ditulis oleh M. Abror Rosyidin, Dosen Universitas Hasyim Asy’ari.