ziarah dan tawasul santri
Suasana ziarah dan tawasul santri Tebuireng

Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk beragama Islam terbanyak di dunia. Mayoritas aliran yang dianut warga muslim Indonesia adalah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).  Selain Ahlussunnah wal Jama’ah, ada aliran lain yang diikuti sebagian kecil masyarakat Indonesia, seperti aliran Wahabi, LDII, dan Ahmadiyah.

Mirisnya, sejumlah aliran selain Aswaja ini berkampanye untuk menyalahkan amalan-amalan yang dibolehkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antaranya adalah ziarah, merayakan maulid Nabi, tahlilan, tawasul, dan sebagainya.

Sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, kita harus mengetahui pola pikir ulama kita mengenai amalan-amalan yang dibolehkan. Agar keyakinan kita tidak mudah goyah ketika didebat oleh kelompok lain. Dan fokus pembahasan kita kali ini adalah tawasul. Penasaran? Mari kita ulas hingga tuntas!

Tawasul yang Disepakati Kebolehannya

Meskipun ada kelompok yang menyalahkan tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah (akan dijelaskan nanti), ada satu cara tawasul yang disepakati semua ulama atas kebolehannya. Yaitu tawasul menggunakan amal saleh yang kita miliki.

Kebolehan tawasul ini berlandaskan hadis yang mengisahkan tiga orang sedang terjebak di dalam satu gua. Orang pertama berdoa kepada Allah dan menjadikan amal baiknya kepada orang tua sebagai wasilah. Orang kedua menggunakan usahanya menjauhi maksiat ketika hendak melakukannya sebagai wasilah. Sedangkan orang ketiga menggunakan perilaku amanah dan menjaga diri dari harta orang lain kemudian menyerahkan semua kepada pemiliknya sebagai wasilah. Kemudian Allah mengeluarkan mereka dari gua tersebut sebab doa dan tawasul yang mereka lakukan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tawasul yang Diperdebatkan

Pandangan kelompok lain menganggap tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah seperti melakukan tawasul dengan zat atau manusia merupakan tindakan syirik. Contohnya seperti kita berdoa dan mengucapkan:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawasul kepada-Mu melalui nabi-Mu (Muhammad Saw).”

Menurut Sayyid Alwi Al-Maliki, sebenarnya tidak ada masalah ketika menggunakan tawasul semacam ini. Karena dengan mengucapkan tawasul di atas sama halnya kita mengatakan:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِمَحَبَّتِيْ لِنَبِيِّكَ

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan rasa cintaku kepada Nabi-Mu sebagai wasilah kepada-Mu.”

Jika tawasul yang disepakati kebolehannya adalah tawasul dengan amal saleh, secara tidak langsung juga membolehkan tawasul ala Ahlussunnah wal Jama’ah. Sekilas tawasul yang kita lakukan memang tertuju pada orang. Tetapi, jika kita renungi lebih dalam, yang kita jadikan tawasul bukan orangnya. Melainkan rasa cinta kita terhadap orang yang dijadikan wasilah. Ini termasuk tawasul dengan amal saleh!

Pengertian Tawasul Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah

Mengutip dari kbbi.kemdikbud.go.id, tawasul berarti memohon atau berdoa kepada Allah Swt. dengan perantara nama seseorang yang dianggap suci dan dekat kepada Allah. Ini jika kita tinjau dari bahasa Indonesia. Bagaimana menurut Ahlussunnah wal Jama’ah?

Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Husaini, dalam kitabnya yang bernama Mafahim Yajibu an Tushahah, beliau mencantumkan empat poin yang harus diketahui untuk memahami hakikat tawasul menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.

Pertama. Tawasul hanya sekadar perantara atau wasilah untuk membantu kita mendekatkan diri kepada Allah. Dan ini adalah salah satu cara berdoa. Tidak lebih dari itu.

أَوَّلًا: أَنَّ التَّوَسُلَ هُوَ أَحَدُ طُرُقِ الدُّعَاءِ وَبَابٌ مِنْ أَبْوَابِ التَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، فَالْمَقْصُوْدُ الْأَصْلِيُّ الْحَقِيْقِيُّ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَالْمُتَوَسَّلُ بِهِ إِنَّمَا هِيَ وَاسِطَةٌ وَوَسِيْلَةٌ لِلتَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَمَنْ اِعْتَقَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَقَدْ أَشْرَكَ.

Artinya: “Pertama. Tawasul adalah salah satu dari cara berdoa dan salah satu pintu untuk menghadap Allah. Dan inti dari doa tersebut adalah Allah Swt. Dan orang yang dijadikan wasilah hanyalah sebagai perantara belaka untuk mendekatkan diri kepada Allah. Barang siapa yang meyakini selain keterangan ini, maka dia menjadi syirik.

Kedua. Orang yang melakukan tawasul, itu hanya karena kecintaannya terhadap orang yang dijadikan wasilah dan meyakini bahwa Allah mencintai orang tersebut.

ثَانِيًا: أَنَّ المُتَوَسِّلَ مَا تَوَسَّلَ بِهَذِهِ الوَاسِطَةِ إِلَّا لِمَحَبَّتِهِ لَهَا وَاعْتِقَادِهِ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يُحِبُّهُ، وَلَوْ ظَهَرَ خِلَافَ ذَلِكَ لَكَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ عَنْهَا وَأَشَدَّ النَّاسِ كَرَاهَةً لَهَا.

Artinya: “Kedua. Orang yang melakukan tawasul tidak menjadikan orang sebagai wasilah kecuali karena kecintaannya terhadap orang tersebut dan meyakini bahwa Allah juga mencintainya. Jika zahirnya tidak demikian, maka dia adalah orang yang paling jauh dan benci kepada orang yang dijadikan wasilah.”

Ketiga. Ketika orang yang memahami bahwa orang yang dijadikan wasilah bisa memberi manfaat dan mafsadat seperti Allah atau hampir setara dengan Allah, maka termasuk orang yang syirik.

ثَالِثًا: أَنَّ المُتَوَسِّلَ لَوْ اعْتَقَدَ أَنَّ مَنْ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى اللهِ يَنْفَعُ وَيَضُرُّ بِنَفْسِهِ مِثْلَ اللهِ أِو دُوْنَهُ فَقَدْ أَشْرَكَ

Artinya: “Ketiga. Seandainya orang yang melakukan tawasul meyakini bahwa orang yang dijadikan wasilah bisa memberikan manfaat dan mafsadat seperti Allah atau hampir setara dengan Allah maka dia menjadi syirik.”

Keempat. Dikabulkan atau tidaknya doa, tidak bergantung pada tawasul.

رَابِعًا: أَنَّ التَّوَسُّلَ لَيْسَ أَمْرًا لَازِمًا أَوْ ضَرُوْرِيًّا وَلَيْسَتْ الإِجَابَةُ مُتَوَقِّفَةً عَلَيْهِ، بَلِ الْأَصْلُ دُعَاءُ اللهِ تَعَالَى مُطْلَقًا كَمَا قَالَ تَعَالَى وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ وَكَمَا قَالَ تَعَالَى قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

Artinya: “Keempat. Sesungguhnya tawasul itu bukan hal yang harus dilakukan. Dan tawasul tidak menjamin atas dikabulkan atau tidaknya sebuah doa, tetapi secara mutlak yang dilakukan adalah berharap kepada Allah. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 186, “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat” atau dalam surat Al-Isra’ ayat 110 “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Serulah ‘Allah’ atau serulah ‘Ar-Rahman’! Nama mana saja yang kamu seru, (maka itu baik) karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaulhusna).

Dalil Kebolehan Tawasul Ala Ahlussunnah wal Jama’ah

Dari penjelasan di atas, jika masih ada saja kelompok yang tidak terima dan tetap menyalahkan tawasul ala Ahlussunnah wal Jama’ah, tenang saja. Sayyid Alwi Al-Maliki menjelaskan bahwa tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah ini memiliki landasan langsung dari Al-Quran. Yaitu surat Al-Ma’idah ayat 35 yang berbunyi,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya.”

Beliau menjelaskan bahwa lafaz “الْوَسِيْلَةَ” memiliki makna umum. Dalam arti kita bebas berwasilah baik menggunakan zat yang mulia seperti para nabi dan orang-orang saleh baik dalam kondisi hidup atau sudah mati, maupun berwasilah dengan menggunakan amal saleh.

Saya rasa dalil ini sudah cukup untuk meyakinkan kita bahwa tawasul yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah adalah tindakan yang diperbolehkan. Sekian dari penulis. Terima kasih.

Baca Juga: Bolehkah Kita Bertawassul?


Ditulis oleh Mohammad Naufal Najib Syi’bul Huda, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II “Al-Murtadlo” Malang.