Sumber gambar: emir.co.id

Oleh: Dimas Setyawan*

Definis Tawassul

Tawassul dalam tinjauan bahasa bermakna mendekatkan diri. Sedangkan menurut istilah bermakna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan media (wasilah), baik berupa amal saleh maupun zatiyah dan jah (derajat) orang saleh seperti para nabi, wali, dan orang saleh lainnya.

إن المراد بالإسغاثة بالأنبياء والصالحين والتوسل بهم انهم اسباب ووسائل لنيل المقصوص وإن الله تعالى هو الفاعل

“Yang dimaksud dengan istighasah kepada para nabi dan orang-orang saleh, serta bertawassul kepada mereka adalah menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara untuk tercapainya tujuan. Adapun yang mengabulkan tetaplah Allah SWT.” (As-Shadiq: 53-54)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di antara tawassul yang paling dipersoalkan adalah menyebut orang-orang saleh atau keitimewaan mereka di sisi Allah SWT. Namun demikian, para ulama mengakui keabsahannya secara mutlak, baik ketika mereka masih hidup maupun sudah meninggal, berdasarkan Al-Qur’an, hadis, serta praktik tawassul para sahabat.

Dasar Hukum Tawassul

ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة وجاهدوا في سبيله لعلكم تفلحون

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT dan carilah perantara untuk mendekatkan diri kepadanya dan berjihadlah pada jalanNya, supaya kalian berbahagia.” (QS. Al-Maidah)

Wasilah dalam tinjauan disiplin ilmu Ushul Fiqih adalah kalmat “am” (umum) yang artinya perantara, sehingga mencakup berbagai macam perantara yang menajadi sebab kedekatan Allah SWT dan sebagai media pemenuhan kebutuhan dariNya.

Pada prinsipnya, sesuatu yang dijadikan perantara adalah sesuatu yang berkedudukan mulia di sisi Allah SWT, semisal wasilah kepada para Nabi dan orang-orang saleh, baik ketika masih hidup maupun sepeninggalanya; wasilah amal saleh, wasilah derajat agung para nabi, para wali, dan lainnya. Bila wasilah tersebut tidak diperbolehkan, maka lafadz “am” tersebut harus ada takhsis (yang mengkhususkan) jika tidak, maka yang berlaku adalah keumunannya.

Terdapat hadis nabi yang menunjukan diperbolehkan untuk wasilah kepada Nabi Muhammad saw ketika beliau masih hidup. Yakni;

عن عثمان بن حنيف قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضرير فشكى إليه ذهاب بصره، فقال يا رسول الله ليس لي قائد وقد شق علي. فقال له النبي صلى الله عليه وسلم إيت الميضاة وتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل اللهم إني أسألك واتوجه إليك بنبينا محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة، يا محمد إني اتوجه إليك الى ربك فيجلي لي عن بصري. الاهم شفعه في وشفعنى في نفسي، قال عثمان، فولله ما تفرقنا ولاطال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر قط (رواه الحاكم والترمذي والبيهقي. صحيح)

“Dari Usman bin Hanif ra berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw saat ada seorang laki buta datang mengandalkan matanya yang tidak bisa berfungsi kepadanya. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah saw, aku tidak mempunyai pemandu dan sangat payah, beliau saw bersabda, ‘Pergilah ketempat wudhu, berwudhulah, shalat dua rakaat, kemudian berdoalah dengan redaksi, ‘Wahai Allah SWT, aku dan menghadap kepadaMu, dengan menyebut NabiMu Muhammad saw, nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadap kepada Tuhanmu dengan menyebutmu karenanya mataku bisa berfungsi kembali. Ya Allah, terimalah syafa’atnya bagiku dan tolonglah diriku dalam kesembuhanku”. Usman berkata, Demi Allah, kami belum sempat berpisah dan perbincangan kami belum begitu lama sampai laki-laki itu datang (ke tempat kami) dan sungguh seolah-olah ia tidak pernah buta sama sekali.” (HR. Hakim Tirmizdi, dan Baihaqi. Hadis Shahih)

Setelah dipaparkan dalil-dalil di atas, bahwa semakin menguatkan amalan bertawassul itu dianjurkan dan diperbolehkan. Dengan tetap menyadarkan semua harapan atau permohonan hanya semata-mata pada Allah SWT, dengan menjadikan Nabi, Sahabat, Wali, dan alim ulama sebagai wasilah (perantara) untuk menjangkau doa kita, yang mana status kita hanya seorang hamba amatiran yang tak luput dari kesalahan serta dosa.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.