ilustrasi smartphone dan kamera fotografi
ilustrasi smartphone dan kamera fotografi

Sudah kita ketahui bersama bahwasannya fotografi ialah salah satu bidang seni yang banyak peminatnya. Apalagi sekarang, dengan berbagai motif banyak orang yang sedang menekuni bidang ini. Entah hanya sekedar hobi atau memang dijadikan sebagai pekerjaan.

Di zaman ini, seseorang bisa dengan mudah menekuni kegiatan fotografi. Alasannya sederhana, karena kita tidak perlu merogoh kantong lebih hanya untuk membeli alat. Bahkan, di zaman ini, smartphone-smartphone sudah memiliki spesifikasi kamera yang sangat mumpuni. Terlepas dari itu semuanya, alangkah baiknya kita mengetahui “Bagaimana hukum fotografi menurut syariat Islam?” 

Dalam agama Islam, hukum fotografi sendiri masih menjadi ladang perbedaan pendapat antar ulama. Banyak di antara mereka yang memperbolehkan, namun tidak sedikit pula yang mengharamkan. Namun, dari itu semua, yang jelas pendapat mereka memiliki landasan dalil.

Akan tetapi, jika kita ambil benang merah, akan memunculkan sebuah poin. Poin tersebut mengarah pada hadis:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ ‌المُصَوِّرُوْنَ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Artinya: “Sesungguhnya orang yang mendapat siksaan paling berat di hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai ciptaan Allah.”

Pada dasarnya, perbedaan pendapat tersebut bermuara pada redaksi “المُصَوِّرُوْنَ”. Pertanyaan besarnya, apakah pelaku fotografi ini termasuk dalam kategori itu? Agar menemukan sebuah kesimpulan yang sistematis, baiknya kita gali terlebih dahulu tentang pengertian taswir dan musawwir.

Dijelaskan di dalam kitab Lisan al-Arab,taswir” merupakan bentuk kata dasar yang diambil dari kata kerja صَوَّرَ  yang bermakna “menyerupai suatu bentuk.” Sedangkan kata “musawwir” merupakan kata benda yang menunjukkan pelaku dan diambil dari kata kerja صَوَّرَ  yang memiliki arti pelaku atau orang yang berprofesi sebagai pembuat sesuatu yang memiliki kesamaan dengan ciptaan Tuhan. Misalnya, pencipta patung.

Setelah memahami keterangan di atas, kita beranjak pada pengertian fotografi. Dijelaskan dalam kitab Fikih At Tasni’:

التَّصْوِيْرُ الضَّوْئِيُّ وَهُوَ الفُوْتُوْغْرَافِيْ التَّصْوِيْرُ الضَّوْئِيْ هُوَعَمَلِيَّةٌ إِنْتَاجُ صُوَرٍ بِوَسِطَاةِ تَأْثِيْرَاتِ ضَوْئِيَّةٍ فَالأَشْعَةُ المُنْعَكِسَةُ مِنَ المِنْظَرِ تَكُوْنُ خَيَالاً دَاخِلَ مَادَّةٍ حَسَاسَةٍ لِلضَّوْءِ ثُمَّ تُعَالِجُ هَذِهِ المَادَّةُ بَعْدَ ذَلِكَ فَيَنْتِجُ عَنْهَا صُوْرَةً تَمَثَّلَ المِنْظَرَ. وَيُسَمَّى التَّصْوِيْرُ الضَّوْئِيُّ أَيْضًا التَّصْوِيْرُ الفُوْتُوْغْرَافِي وَكَلِمَةُ فُوْتُوْغْرِافِيْ ضَوْئِيٌّ مُشْتَقَّةٌ مِنَ اليُوْنَانِيَّةِ، وَتَعْنِيْ الرَّسْمُ أَوْ الكِتَابَةُ بِالضَّوْءِ

Artinya: “At-Taswir ad-Dhoui (Fotografi) merupakan pekerjaan yang menghasilkan gambar, membutuhkan bantuhan cahaya, sehingga sinar yang dipantulkan dari pemandangan membentuk fantasi dalam bahan peka cahaya. Kemudian, diproses untuk menghasilkan gambar serupa dengan pemandangan. Hal itu juga disebut dengan fotografi. Sedangkan kata fotografi sendiri diambil dari bahasa Yunani yang memiliki makna sebuah gambar yang diperoleh dengan bantuan cahaya.”

Dari sini, bisa dipahami, hal penting dalam fotografi ada dua hal, kamera dan cahaya. Tanpa dua hal itu, sebuah foto tidak akan bisa dihasilkan.

Kita bisa menggambarkan, semisal ketika hanya ada kamera tanpa adanya cahaya. Maka, foto yang dihasilkan akan gelap. Kenapa bisa begitu? Karena kerja kamera menyerupai kerja mata. Apa yang kita lihat itu yang bisa kita serap ke dalam otak. Begitu juga kamera. Objek yang ada di depan akan ditangkap oleh film kamera dan gambar yang dihasilkan jelas sesuai dengan objek yang ditangkap olehnya.

Dari sini sudah bisa disimpulkan bahwasannya fotografer bukan termasuk cangkupan redaksi “المُصَوِّرُوْنَ” karena maksud dari redaksi tersebut ialah orang yang menciptakan suatu lukisan atau patung. Sedangkan fotografer hanya sebuah pelaku kegiatan menghasilkan sebuah gambar dengan menggunakan perantara kamera. Karena sudah tidak tercangkup dalam redaksi “المُصَوِّرُوْنَ” maka fotogafer tidak termasuk golongan orang yang mendapatkan siksaan yang sangat pedih pada hari kiamat.

Dalam segi pengertian pun terdapat perbedaan yang sangat jelas. Keterangan ini dijelaskan dalam kitab al-Fiqhul Islami:

وَالسَّبَبُ فِيْ إِبَاحَةِ الصُّوَرِ الخَيَالِيَةِ أَنَّ تَصْوِيْرَهَا لَا يُسَمَّى تَصْوِيْراً لُغَةً وَلَاشَرْعاً، لِماَ تَقَدَّمَ مِنْ بَيَانِ مَعْنَى التَّصْوِيرِ فِي عَهْدِ النُّبُوَّةِ وَلِأَنَّ هَذَا التَّصْوِيْرُ يُعَدُّ حَبْساً لِلظِّلِّ أَوْ الصُّوْرَةِ، مِثْلُ الصُّوْرَةِ فِيْ المِرْآةِ وَالصُّوْرَةِ فِيْ المَاءِ

Sebab kebolehan gambar kamera adalah karena taswir yang dimaksud dalam fotografi tidak sesuai dengan koridor syariat dan ahli bahasa. Sebagaimana penjabaran tentang makna taswir yang ada pada zaman Nabi. Juga karena gambar yang dihasilkan kamera dianggap sebagai tangkapan sebuah bayangan, sebagaimana objek yang bisa kita lihat melalui cermin dan air.”

Ketika tidak termasuk kategori dari hadis di atas, beberapa ulama kontemporer memfatwakan bahwasannya hukum fotografi diperbolehkan. Meninjau bahwa hukum asal segala sesuatu ketika tidak ada dalil yang mengharamkannya secara jelas ialah boleh.

Namun, hukum kebolehan fotografi ini bisa hilang ketika gambar yang dihasilkan mengandung unsur-unsur kemaksiatan. Misalnya,  memotret wanita yang tidak menggenakan pakaian sesuai syariat Islam.

Demikianlah penjelasan sederhana seputar hukum Islam mengenai fotografi dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat! Sekian!

Baca Juga: Ini Hukum Mengambil Foto Tanpa Izin


Ditulis oleh: Muhammad Salman al-Farisi, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang