Setelah satu bulan penuh kita melaksanakan puasa Ramadan, dalam adat Jawa, ada istilah bakda dua, bakda lebaran dan bakda kupat. Bakda dalam bahasa arab berasal dari kata بعد yaitu berarti setelah. Jadi Bakda Lebaran adalah Hari Raya Idul Fitri dimana seluruh umat Islam diharamkan untuk Puasa. Bakda Kupat adalah hari raya orang yang melaksanakan puasa Syawal selama enam hari. Nah kali ini kita akan membahas tentang istilah kupatan.

Siapa orang Jawa yang tak mengenal kupatan. Kupat merupakan semacam wadah berbentuk kotak unik berbahan janur yang dianyam sedemikian rupa. Untuk membuatnya memang gampang-gampang susah dan pastinya perlu ketelatenan.

Istilah Kupatan pertama kali dibuat oleh seorang anggota dewan Walisongo, Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga sebagai bentuk hari raya untuk orang-orang yang melaksanakan puasa Syawal selama enam hari. Seperti kebudayaan-kebudayaan Jawa Islam lain, kupatan memiliki nilai-nilai filosofis.

Kupatan memiliki arti ngaku lepat, yaitu mengakui kesalahan. Semua manusia pasti punya kesalahan dan sebaik-baiknya orang adalah mereka yang mau mengakui kesalahannya. Selain itu dari seluruh komponennya kupat memiliki arti lagi. Mari kita bahas satu persatu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dimulai dari bahannya yaitu janur. Janur menurut filosofis Jawa merupakan kepanjangan dari sejatine nur yang melambangkan seluruh manusia berada dalam kondisi yang bersih dan suci setelah melaksanakan ibadah puasa. Selain itu, juga menurut orang Jawa, Janur memiliki kekuatan magis sebagai tolak bala. Karena itu banyak juga yang menggantungkan kupat di depan pintu rumah mereka sebagai tawasul agar jauh dari bala.

Dan selanjutnya dari anyaman kupat yang sangat rumit memiliki arti bahwa hidup manusia itu juga penuh dengan liku-liku, pasti ada kesalahan di dalamnya. Kupat juga memiliki bentuk segi empat yang menggambarkan empat jenis nafsu dunia yaitu al amarah, yakni nafsu emosional; al lawwamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar; supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah; dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri. Dan orang yang memakan kupat menggambarkan pula telah bisa mengendalikan keempat nafsu tersebut setelah melaksanakan ibadah puasa.

Selanjutnya, isi ketupat yang berbahan beras sebagai bentuk harapan agar kehidupannya dipenuhi dengan kemakmuran. Selain itu saat kita membelah ketupat, kita akan menjumpai warna putih yang mencerminkan kita memohon maaf atas segala kesalahan dan juga berharap bisa seputih isi kupat tersebut.

Terakhir, dari cara memakan ketupat yaitu dengan sayur cecek dan lain sebagainya, terkhusus biasanya berbahan santen. Santen berarti juga pangapunten, yaitu memohon maaf atas kesalahan. Dari itu ada istilah “Mangan kupat nganggo santen. Menawi lepat, nyuwun pangapunten (makan ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan”.

Demikian arti filosofis kupatan, tradisi yang diajarkan Sunan Kalijaga. Tradisi semacam itu harus dilakukan dengan sebijak mungkin agar tidak disalahgunakan menuju kesyikiran, tetapi tetap dilestarikan sebagai bagian dari syiar Islam Indonesia yang berciri khas akulturasi budaya. Mari kita lestarikan bersama tradisi tersebut agar anak-anak kita dapat merasakannya juga kelak.


*Disarikan dari berbagai sumber

*Ditulis oleh M. Minahul Asna, Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari