sumber ilusrtrasi: tirto.id

Setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan, umat muslim bersama-sama merayakan Hari Raya Idul Fitri pada 1 Syawal. Momen Idul Fitri dijadikan ajang untuk saling maaf-memaafkan antar anak kepada orang tua, sanak saudara, serta kerabat dekat maupun jauh.

Selain momen maaf-memaafkan, umat muslim juga menjadikan Idul Fitri sebagai sarana menyambung silaturahmi. Bagi seorang anak yang merantau jauh ke kota guna mencari nafkah, mereka akan berbondong-bondong kembali menuju kampung halaman guna kembali menyambung silaturahmi baik kepada sanak famili, teman, dan tetangga.

Dikarenakan Idul Fitri terbatas dalam waktu 1 hari saja, umat muslim di Indonesia membuat suatu siasat agar momentum saling maaf-memaafkan dan menyambung silaturahmi tetap dapat dirasakan pada bulan Syawal, yakni dengan membuat suatu istilah Halal Bihalal.

Halal Bihalal sendiri merupakan suatu bentuk tradisi yang telah diturunkan turun menurun di masyarakat Indonesia. Tujuan Halal Bihalal sendiri memberitahukan pada kita bahwa ajang silaturahmi dan ajang maaf-memaafkan tidak terpaku pada hari raya Idul Fitri saja.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada praktik tradisi Halal Bihalal di masa kini terkesan lebih sederhana bila dibandingkan dengan dua sejarah yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam penulisan ini, penulis menemukan tiga praktik masyarakat Indonesia dalam menjalankan tradisi Halal Bihalal.

1. Menyambung Tali Silaturahmi

Tujuan saling berkunjung adalah semata-semata dalam rangka silaturahmi kepada saudara, kerabat atau teman. Nabi Muhammad Saw:

 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari. 6138)

Dalam hadis lain juga Nabi Muhammad menyuruh kepada umatnya untuk senantiasa menyambung tali silaturahmi, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah: Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah di malam hari ketika manusia terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” (HR Ibnu Majah. No.3251)

Tradisi berkunjung ini juga sebagai maksud, menyampaikan atau menyatakan bahwa dalam satu tahun yang telah berlalu mungkin memiliki salah dan dosa atau hak-hak adami (urusan kepada sesama manusia) yang belum terselesaikan.

2. Memperkuat Hubungan Persaudaraan Sesama Muslim

Islam sejatinya adalah agama yang memegang teguh tali persaudaraan atau biasa juga dikenal dengan Ukhuwah Islamiyah. Dari sinilah hal-hal yang berkaitan dengan nilai sosial selalu terdapat pada tata laku ritual keagamaan agama Islam. Nabi Muhammad Saw bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ – يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ – عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا ، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا ، وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ ؛ لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ ، وَلَا يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا – وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ – بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ ؛ دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ

Dari Abu Hurairah “Kamu sekalian, satu sama lain Janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.

Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya. Taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). Seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya bagi muslim yang lain, demikian juga harta dan kehormatannya”. (HR. Muslim – 2564)

3. Membangun Nilai Sosial Bagi Masyarakat

Praktik tradisi Halal Bihalal memiliki nilai lebih hanya sekedar bermaaf-maafan dan menyambung tali silaturahmi. Lebih dari itu, tradisi Halalbihalal dapat menghidupkan nilai-nilai dari sosial di tengah kehidupan bermasyarakat. Dalam ilmu sosiologi agama menjelaskan bahwa sudah sepatutnya agama dapat menangi masalah-masalah yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Problematika yang paling dominan, adalah aspek psikologis yang bukan hanya bersifat pribadi (private), tetapi lebih dari itu, publik (public). Oleh karena itu, ketika wilayah (domain) teknologi dan teknik institusi tidak dapat menyelesaikan problematika manusia, maka agama dengan kekuatan supernaturalnya yang dijadikan alternatif mengatasi keterbatasan tersebut:

 عَنْ أَبِي مُوسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : ” إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا “. وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ

Diriwayatkan dari Abi Musa ra. di berkata, “Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan”. (HR. Bukhari – 481).

Semoga senantiasa kita menjadi hamba Allah yang menyukai silaturahmi dalam kebaikan dan kebenaran, menjaga tradisi yang membawa dan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, salah satunya melalui tradisi halal bihalal. Selamat merayakan Idul Fitri. 

*Dimas Setyawan, Alumnus Mahad Aly Tebuireng.