Oleh: KH. Fahmi Amrullah*

اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه لا نبي بعده

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Jamaah Jumat Rahimakumullah…

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mari kita senantiasa meningkatkan takwa kepada Allah SWT. Dengan sebenar-benarnya takwa. Dan juga meninggalkan larangan. Jangan sekali-kali meninggalkan dunia ini kecuali dalam keadaan Islam, yakni husnul khatimah.

Jamaah Jumat Rahimakumullah…

Dikisahkan suatu hari, baginda Nabi bersabda di hadapan para sahabat:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا»

Tolonglah saudaramu baik yang berbuat zalim atau yang dizalimi!

Para sahabat bingung. Kalau menolong orang yang dizalimi itu wajar. Nah, kalau menolong orang yang zalim, bagaimana tidak aneh? Lalu salah seorang sahabat bertanya:

فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ؟[1]

Ya Rasul. Kami akan menolongnya jika dia dizalimi. Namun ketika ia berbuat zalim bagaimana kami menolongnya?

Rasulullah menjawab:

قَالَ: «تَحْجُزُهُ، أَوْ تَمْنَعُهُ، مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ»

Cegahlah dia, atau laranglah dia dari berbuat zalim. Inilah hakikat dari menolong orang zalim.

Kata zalim sering kita dengar. Zalim itu perbutan yang merugikan diri sendiri, maupun orang lain. Arti dari kata zalim sendiri adalah wadh’u al-sya’I fi ghairi maudhi’ihi. (meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya).

Perbuatan zalim ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Bisa dari seseorang kepada temannya. Misal, menipu teman sendiri, ghasab, tidak mengembalikan hutang. Bisa dari majikan kepada karyawannya. Misal, memaksa karyawannya dengan pekerjaan yang ia tidak mampu.

Bahkan perbuatan zalim itu bisa dilakukan seorang pemimpin kepada rakyatnya. Misal menaikkan tarif disaat keadaan rakyat sedang susah. Impor beras disaat stok beras sedang melimpah. Hal itu jelas berdampak buruk pada petani. Untung saja ormas besar seperti NU berani menyuarakan sikapnya atas kebijakan pemerintah tersebut. Selaras dengan sabda Nabi:

مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَاسْتَطَاعَ أَنْ يُغَيِّرَهُ بِيَدِهِ فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ[2]

Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran dengan tangannya (kekuasaan, otoritas), ketika tidak mampu dengan lisannya, ketika tidak bisa maka dengan hati kita. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.

Jamaah Jumat rahimakumullah

Maraknya kezaliman itu bukan banyaknya orang jahat. Tapi karena diamnya orang baik. Kalau saja saat ada kezaliman, lantas pemerhati kebaikan (orang saleh, alim) itu diam saja. Maka maraklah kezaliman tersebut.

Jangan sampai kezaliman marak di negeri kita. Kalau sampai seperti itu negeri kita akaan diberi azab oleh Allah.

وَكَذَ ٰ⁠لِكَ أَخۡذُ رَبِّكَ إِذَاۤ أَخَذَ ٱلۡقُرَىٰ وَهِیَ ظَـٰلِمَةٌۚ إِنَّ أَخۡذَهُۥۤ أَلِیمࣱ شَدِیدٌ

Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat. [Surat Hud 102]

Maka dari itu kita harus meminimalisir perbuatan-perbuatan zalim. Tentunya dengan cara yang santun.

Semoga kita dihindarkan dari perbuatan zalim. Jangan sampai kita pelaku perbuatan zalim.

وَالۡعَصۡرِ اِنَّ الۡاِنۡسَانَ لَفِىۡ خُسۡرٍۙ ِالَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوۡا بِالۡحَقِّ ۙ وَتَوَاصَوۡا بِالصَّبۡر

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

[1] البخاري، صحيح البخاري، ٢٢/٩

[2] السجستاني، أبو داود، سنن أبي داود، ٢٩٦/١