sumber gambar: kompas.com

Oleh: Dimas Setyawan*

Hari ini, kita telah memasuki hari ke-29 dari bulan Ramadan, dan hanya menyisakan paling tidak sehari untuk merayakan Idul Fitri, sebagai ajang hari perayaan dan berakhirnya bulan Ramadan.

Tetapi, fenomena yang kerap kali terjadi di negara kita, mengenai penetapan bulan awal Ramadan hingga berujung penetapan awal bulan Syawal selalu menjadi perdebatan dan selalu dinantikan hasil keputusannya oleh seluruh umat muslim khususnya.

Urusan ini sejatinya dapat diselesaikan oleh para ulama yang memiliki kompetensi untuk menguraikan dengan kembali pada Al-Qur’an, Sunnah dan menghindari perpecahan. Karena sejatinya penetapan awal puasa Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri merupakan sebagain dari Syi’ar Allah dan simbol penyatuan kata atas kalimat tauhid.

Dalam permasalahan ini para ulama besar dunia melakukan kajian ilmiah syari’ah. Terdapat beberapa kesimpulan yang harus kita ketahui yakni:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

1. Empat Imam Madzhab sepakat bahwa penetapan awal bulan Ramadan hanya dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara yakni, ru’yatul hilal (melihat hilal) dan/atau menyempurnakan jumlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari apabila terjadi sesuatu yang menghalangi terlihat hilal, seperti mendung, awan, debu atau lain semacamnya.

2. Mereka juga sepakat bahwa penetapan masuknya bulan Syawal dengan cara sama seperti yang di atas. Yaitu dengan ru’yatul hilal, namun jika hilal tidak terlihat, maka wajib menyempurnakan bulan Ramadan menjadi 30 hari.

3. Umat Islam telah melakukan tradisi ini tanpa pengecualian. Oleh karenanya kita tidak menemukan perbedaan dalam hal ini menurut ahli kiblat (umat Islam) di luar ahlussunah wal jamaah sebelum terjadinya perselisihan akhir-akhir ini.

4. Kelompok ahlussunah wal jamaah dan kelompok lainnya bersepakat atas tidak adanya kebolehan menggunakan hisab. Pelarangan ini ditujukan pada kalangan umum.

Hal ini dikarenakan pemberi syariat (Allah dan Rasulnya) tidak menyuruh demikian. Namun menurut Imam Syafi’i hisab boleh dilakukan bagi kalangan khusus, dalam hal ini ahli hisab dan para muridnya. Pada imam yang lain baik dari kalangan ahlussunah wal jamaah maupun yang lainnya berpendapat bahwa hisab dilarang secara mutlak, baik bagi kalangan umum maupun khusus.

5. Perintah penetapan bulan Ramadan dan Syawal adalah dengan ru’yatul hilal (melihat) hilal bukan dengan adanya hilal dalam kenyataan (wujudul hilal bil fi’lil waqi’) yang terkadang bisa diketahui dengan cara hisab.

Asiyah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW memelihara sesuatu di bulan Sya’ban, sesuatu yang tidak beliau pelihara di bulan lain. Hal ini merupakan dalil bahwa penyempurna bulan Sya’ban menjadi 30 hari dilakukan dengan cara ru’yatul hilal bukan hisab untuk memastikan masuknya awal Ramadan.

Dari Umar RA, beliau berkata:

ترائ الناس فأخبرت النبي صلى الله عليه وسلم إني رأيته فصام وأمر الناس بصيامه

“Orang-orang melihat hilal, aku pun mengabari Nabi Muhammad Saw bahwa aku melihat (hilal). Maka Nabi berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud dan dishahikan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakam).

Dari Ibnu Abbas RA, bahwa seorang A’rabi datang kepada Nabi Saw, dia berkata:

أنّ أعرابيّا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : إنيّ رأيت الهلال، فقال : أتشهد أن لااله الا الله ؟ قال : نعم، قال : أتشهد أن محمدا رسول الله ؟ قال نعم ، قال : فأذن في الناس يا بلال أن يصوموا غدا

“Sesungguhnya aku telah melihat hilal “Nabi pun bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Dia menjawab: “Iya” Nabi bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia menjawab :”iya” Nabi bersabda: “Wahai Bilal! Umumkan lah kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR. Imam lima dan dishahikan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Bila kita melihat kedua Hadits di atas, dari sini kita dapat mengerti bahwa yang dapat dijadikan acuan adalah ru’yatul hilal (melihat hilal), bukan wujudul hilal (adanya hilal), bukan pula dengan mengetahui adanya hilal dengan cara hisab.

Argumentasi di atas memperkuat pendapat bahwa dianggap dalam penetapan bulan Ramadan dan bulan Syawal adalah ru’yatul hilal bukan dengan wujud nya yang dapat diketahui dengan cara hisab, atau penyempurna 30 hari dalam bulan Sya’ban untuk berpuasa atau bulan Ramadan untuk hari raya.

Sayid Ibnu al-Qasim al-Khu’iy mengatakan bahwa tidak sah pendapat lain selain yang telah kita sebutkan (ru’yatul hilal atau melengkapi 30 hari bulan Sya’ban), seperti pendapat astrolog dan semacamnya.

Begitu pula dengan penetapan hilal bulan Syawal harus dilakukan dengan salah satu cara yang telah disebutkan (ru’yatul hilal dan kesaksian dua orang yang adil atau penyempurna 30 hari). Jika tidak dilakukan dengan cara demikian maka tidak diperbolehkan puasa.

Jika hari raya disepakati jatuh pada hari Jum’at, maka menurut Madzhab kita, kewajiban salat Jum’at tidak gugur karena adanya shalat ‘Ied. Bagi penduduk kota, pelaksanaan salat Jumat wajib hukumnya.

Berbeda dengan penduduk desa atau masyarakat pedalaman, yang bisa menghadiri salat Ied, dan pulang dari kota, tempat dilaksanakannya salat berjamaah, sebelum lengsernya matahari, maka kewajiban salat Jum’at gugur bagi mereka, dan diperbolehkan meninggalkan namun diganti dengan salat Dzuhur.

Sedangkan menurut madzhab Abu Hanifah, kewajiban salat Jum’at tidak gugur bagi siapa pun baik masyakarat kota maupun desa, sehingga salat Jum’at mutlak wajib dilaksanakan oleh siapapun.

Tempat berlangsungnya salat Ied

Pelaksanaan salat Ied lebih utama di masjid daripada tempat lainnya. Hal ini didasarkan pada;

Pertama, sebelum melaksanakan salat Ied, pada jamaah bisa mengawalinya dengan melaksanakan salat Tahiyah al-Masjid dan I’tikaf.

Kedua, para imam Makkah masih melaksanakan salat Ied di masjid (Masjidil Haram).

Wallahu a’lam…

Sumber rujukan:
1. Kitab Hujjatuh Ahli Sunnah Wal Jamaah karya KH. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta
2. al-Masail al-Mutanajinah Karya al-Khu’iy, cetakan kedua, Mathba’ah al-Adab, Najaf, tahun 1382 H, halaman,149