KH. Gholib mewakili dzurriyah Kiai Asy’ari membacakan manaqib saat Haul ke-2 KH. Asy’ari di kawasan makam daerah Keras Jombang. (foto: helfi)

Tebuireng.online– KH. Abdul Gholib Sulhi, salah satu dzurriyah KH. Asy’ari, memberikan sambutan mewakili panitia pelaksana haul KH. Asy’ari, yang diadakan di desa Keras, Diwek, Jombang, Rabu (24/04/2024).

Pada saat itu, KH. Gholib menerangkan manaqib KH. Asy’ari  Hal ini ditujukan agar masyarakat mengenal lebih dalam sosok KH. Asy’ari yang merupakan ayah dari KH. Hasyim Asy’ari, sosok ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama.

Dalam kesempatan tersebut, menurut penututan KH. Gholib, para donatur dan ahli shodaqoh yang menyumbangkan sebagian hartanya untuk acara ini meminta doa berupa surotul fatihah. Tujuannya agar Allah senantiasa memberikan kesabaran, ketetapan iman, keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, serta anak-anak yang sholih sholihah, dan mendapatkan husnul khotimah.

KH. Gholib menerangkan bahwa KH. Asy’ari lahir pada tahun 1830 di Demak, Jawa tengah. Silsilah beliau menyambung kepada Mas Karebet atau yang lebih dikenal dengan Joko Tingkir. Ayahnya bernama Abdul Wahid, seorang komandan pasukan Diponegoro yang kemudian menggunakan nama pangeran Garen. Abdul Wahid menjadi komandan pasukan dibawah pimpinan panglima Sentot Ali Basar Prawirodirjo.

“Saat muda, KH. Asy’ari pindah ke Jombang. Diawali mondok di pesantran Gedang, Tambakberas, yang diasuh oleh Kiai Usman” tutur KH. Gholib. Kiai Usman adalah salah seorang kiai yang besar pengaruhnya tetapi agak sial dalam nasib rumah tangganya. Setiap KH. Asy’ari memiliki putra, maka putra beliau pasti meninggal dan usianya tidak pernah panjang. Pondok Gedang menjadi tempat KH. Asy’ari mengaji dan mempelajari ilmu agama secara langsung pada Kiai Usman.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hingga pada tahun 1851, K.H. Asy’ari dikaruniai seorang putri yang diberi nama Putri Wineh. Dalam bahasa Jawa, Wineh memiliki arti benih. Kemudian nama putri beliau dirubah menjadi Halimah. Saat Halimah berusia empat tahun, Halimah ditunangkan dengan seorang pemuda bernama Asy’ari. Asy’ari adalah santri yang cakap dan cerdas, berbeda dengan santri yang lainnya. Karena ketekunan, kepandaian, dan kecerdasan yang dimiliki Asy’ari itulah yang mem uat Kiai Usman menikahkan Asy’ari dengan putrinya, Halimah.

“Saat itu Halimah masih berusia sembilan tahun, sedangkan Asy’ari dua puluh lima tahun. Pernikahan dengan waktu pendek, karena Kiai Usman sudah berumur dan kesehatannya sudah mulai menurun atau sakit-sakitan.” Lanjut KH. Gholib.

Perpindahan KH. Asy’ari ke desa Keras bermula atas permintaan kepala desa Keras saat itu beserta salah satu tokoh masyatrakat. Mereka meminta pada Kiai Usman agar mengirimkan salah satu santrinya untuk bersedia tinggal di desa Keras bagian barat yang dikenal sangat angker dan tanahnya berlumpur seperti rawa. Mereka juga memberi hadiah berupa tanah beberapa hektar yang masih berupa semak belukar. Sehingga K.H. Asy’ari dan Halimah pindah ke desa Keras dan mendirikan pondok.

K.H. Asy’ari dan Halimah adalah pasangan yang pas dan serasi. Itikad keduanya sangat kuat dalam mendidik para santri. K.H. Asy’ari setiap malam selalu berdoa untuk kebaikan dirinya, keliuarganya, dan santri-santrinya.

“Ini saya cuplik dari cerita Gus Hakam Kholiq.” Lanjut KH. Gholib

Sedangkan Nyai Halimah melakukan riyadhoh dengan berpuasa selama tiga tahun berturut-turut. Tahun pertama untuk dirinya sendiri dan tahun kedua untuk anak cucu beserta dzurriyahnya agar menjadi anak yang sholih sholihah dan memiliki ilmu yang bermanfaat. Sedangkan tahun ketiga untuk para santrinya agar menjadi santri yang bermanfaat dan berkah ilmunya.

“Cerita ini saya terima dari ibu saya (Nyai Asiatul Munawaroh) dan kakak saya K.H. Ahmad Labib Basuni).” imbuh KH. Gholib.

Mbah Wineh atau Nyai Halimah ini merupakan seorang wanita dengan sebutan mar’atush sholihah karena anak-anak Nyai Halimah memang sholih dan sholihah. Menurut penuturan K.H. Gholib, anak-anak yang sholih lahir dari ibu yang sholihah juga. Seperti Nyai Halimah dan K.H. Asy’ari yang terlahir dari ibu yang sholihah, lalu menurunkan anak-anak yang sholih sholihah juga seperti K.H. Hasyim Asy’ari.

Harapan K.H. Gholib setelah pembacaan manaqib tersebut semoga yang disampaikan beliau bisa menjadi penhembangan tentang risalah K.H. Asy’ari. K.H. Gholib juga memohon maaf sebesar-besarnya apabila dalam acara haul ini terdapat kekurangan atau kesalahan.

“Mewakili panitia pelaksana haul, para masyayikh, dan dzurriyah, menyampaikan rasa syukur atas kehadiran masyarakat dalam menghadiri haul.” terang KH. Gholib dalam penyampainnya.

Pewarta: Helfi