ilustrasi mandi

Di dalam kitab Fathul Muin, Imam Zainuddin menuturkan:

وَثَالِثُهَا سَتْرُ رَجُلٍ وَأَمَّةٍ بَيْنَ سُرَّةٍ وَرُكْبَةٍ لِلْخَبَرِ الصَحِيْحِ

Melalui teks di atas, beliau hendak menjelaskan satu hal. Bahwa salah satu syarat shalat adalah menutupi aurat. Syarat ini berlandaskan hadis:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ

Allah Swt. tidak akan menerima salat yang dilakukan oleh perempuan balig, kecuali dengan penutup kepala.” (H.R. Imam Ibnu Majjah No. 655).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Secara global, makna hadis di atas adalah kewajiban bagi perempuan untuk menutup auratnya, yakni kepala, leher, dan anggota badan lain di saat shalat. Jika dia shalat dalam keadaan terbuka, jelas shalat yang dia lakukan batal. Allah Swt. tidak akan menerima shalatnya. (Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, Fathul Muin syarah Qurotul Ain bi Muhimmah al-Din, [Madura: Gerbang Andalus, tanpa tahun], halaman 20).

Dari sini, para ulama merumuskan bahwa ada aturan tertentu yang harus diperhatikan seseorang ketika hendak shalat. Hal ini perihal aturan menutup bagian-bagian anggota tertentu, sehingga shalat yang dilaksanakan bisa dihukumi sah.

Apa itu Aurat?

Secara bahasa, ulama menjelaskan makna aurat sebagaimana berikut:

وَالعَوْرَةُ لُغَةً النُقْصَانُ وَالشَّئُ المُسْتَقْبَحُ

Aurat secara bahasa berarti kurang, atau sesuatu yang dianggap buruk.” (Mughni)

Sedang untuk penamaan bagian-bagian tertentu yang harus ditutupi disebut dengan “aurat,” maka alasannya bisa dilihat melalui penjelasan berikut:

وَسُمِيَ الِمقْدَارُ الأَتِيْ بَيَانُهُ بِذَلِكَ لِقُبْحِ ظُهُوْرِهِ

Ukuran-ukuran tertentu yang akan dijelaskan (misalnya anggota antara pusar dan lutut untuk laki-laki) disebut dengan istilah aurat karena penampakannya dianggap buruk. ” (Muhammad Khatib al-Syirbini, Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfad al-Minhaj, [Mesir: Dar al-Hadis, 2006], juz 1, halaman 432).

Dari sini, kita bisa menyimpulkan satu hal. Bahwa aurat seseorang itu memang harus ditutupi. Hal ini tidak lain adalah dalam rangka menutupi hal-hal yang secara syariat dianggap sebagai sesuatu yang buruk ketika ditampakkan ke khalayak umum.

Pembagian Aurat

Berbicara seputar aurat, ternyata ulama fikih membagi pembahasan menjadi dua. Pertama aurat seseorang di dalam shalat. Kedua, aurat seseorang di luar shalat (misalnya di permasalahan nikah).

Konsep di atas bisa dilihat melalui penjelasan berikut:

وَالعَوْرَةُ تُطْلَقُ عَلَى مَا يَجِبُ سَتْرُهُ فِي الصَّلاَةِ وَعَلَى مَا يَحْرُمُ النَظْرُ إِلَيْهِ في النِّكَاحِ

Di dalam konteks shalat, aurat bisa diartikan sebagai sesuatu yang harus ditutup. Sedang di dalam konteks nikah (di luar salat), maka aurat bisa diartikan sebagai sesuatu yang haram dilihat.” (Muhammad Khatib al-Syirbini, Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfad al-Minhaj, [Mesir: Dar al-Hadis, 2006], juz 1, halaman 432).

Di dalam shalat, maka aurat laki-laki adalah bagian anggota di antara pusar dan lutut. Ini juga berlaku di luar shalat. Aurat laki-laki ini disamakan dengan aurat budak perempuan.

Untuk perempuan merdeka, maka auratnya dibedakan antara apa yang ada di saat shalat, dan di luar salat. Untuk di saat shalat, maka auratnya adalah seluruh anggota badan, kecuali wajah dan dua telapak tangan (luar dan dalam). Sedang di luar shalat, maka keseluruhan bagian anggota badan. (Imam Ibnu Qasim, Fathul Qarib, [Beirut: Dar Kutub Ilmiah, 2012], juz 1, halaman 270).

Kebolehan Membuka Aurat

Meski aturannya sedemikian ketatnya, dalam kondisi tertentu, seseorang itu dilegalkan untuk membuka aurat. Bahkan lebih-lebih. Dalam arti, telanjang bulat, keseluruhan bagian anggota badan.

Misalnya, untuk membuktikan pernyataan di atas, kita bisa menilik penjelasan berikut:

‌وَيَجُوْزُ ‌كَشْفُهَا فِيْ الخَلْوَةِ وَلَوْ مِنَ المَسْجِدِ لِأَدْنَى غَرَضٍ كَتَبْرِيْدٍ – إِلَى أَنْ قَالَ – وَكَغُسْلٍ

Untuk konteks di luar salat, boleh karena tujuan sepele, membuka aurat di tempat sepi, meski di dalam masjid. Misalnya karena ingin menyejukkan badan, atau mandi.” (Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, Fathul Muin syarah Qurotul Ain bi Muhimmah al-Din, [Madura: Gerbang Andalus, tanpa tahun], halaman 20).

Penjelasan yang senada:

وَعِبَارَةُ النِّهَايَةِ: فَإِنْ دَعَتْ حَاجَةٌ إِلَى كَشْفِهَا لِاغْتِسَالٍ أَوْ نَحْوِهِ جَازَ بَلْ صَرَّحَ صَاحِبُ الذَخَائِرِ بِجَوَازِ كَشْفِهَا فِي الخَلْوَةِ لِأَدْنَى غَرَضٍ وَلَا يُشْتَرَطُ حُصُوْلُ الحَاجَةِ

Ketika kebutuhan mendesak untuk membuka aurat, misalnya mandi atau lainnya, maka diperbolehkan untuk membuka aurat. Bahkan, Imam al-Makhzumi menjelaskan, dengan tujuan sepele, boleh membuka aurat di saat sepi. Dan tidak disyaratkan ada kebutuhan.” (Muhammad Syatha ad-Dimyathi, ‘Ianah al-Thalibin ala Hali Alfadi Fathul Muin, [Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009], juz 1, halaman 223)

Dari cuplikan dua teks kitab di atas, kiranya kita bisa menyimpulkan bahwa dalam kondisi tertentu, kita diperbolehkan untuk membuka aurat. Misalnya di saat kita mandi di ruangan tertutup, dalam kondisi sendiri, dan tidak ada orang lain. Maka dalam hal ini, tidak mengapa bagi kita untuk membuka aurat.

Kebolehan Telanjang di Saat Mandi

Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa mandi yang selama ini kita lakukan, yakni dalam keadaan telanjang, memang sudah diatur di dalam syariat. Dalam arti, hukumnya legal dan boleh dilakukan. Tidak ada larangan mengenainya.

Namun sekali lagi, perlu diperhatikan, kondisinya memang dalam keadaan sepi. Tidak orang lain. Tertutup dan tidak terlihat oleh orang lain. Beda ceritanya ketika kita mandi dalam keadaan ramai, di pemandian umum misalnya, maka aturan aurat yang sebegitu ketatnya di atas berlaku. Semoga penjelasan sederhana ini bisa dipahami oleh pembaca. Sekian! Terimakasih!

Baca Juga: Memahami dan Menggunakan Busana Sesuai Syariat


Ditulis oleh. Moch. Vicky Shahrul H, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang