ilustrasi jual beli

Jual beli memang suatu hal yang tidak bisa kita pisahkan dari kegiatan sosial kita. Karena hal tersebut merupakan suatu hal yang menunjang perekonomian masyarakat. Banyak orang awam yang menganggap jual beli hanya sekedar tukar menukar barang atas dasar ridho saja sudah mencukupi. Padahal hal tersebut belum cukup untuk menjadikan jual beli tersebut menjadi sah.

Pada dasarnya seseorang melakukan jual beli bertujuan untuk mendapat keuntungan yang akan diperoleh oleh kedua belah pihak. Namun terkadang ada juga salah satu pihak yang dirugikan karena pengurangan harga yang dikira tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan.

Istilah pemotongan harga ini biasa disebut dengan rafaksi. Lantas apa itu rafaksi? Menurut KBBI Rafaksi merupakan pemotongan harga barang yang dilakukan oleh pihak penjual dengan cara mengira-ngirakan berat harga kotor suatu barang karena mutunya lebih rendah daripada contohnya.

Lantas bagaimana hukum jual beli ketela di atas dengan penetapan refaksi yang dilakukan secara spekulasi? Hukum penetapan rafaksi sebenarnya boleh jika pemotongan harga berat kotor bisa dipastikan secara pasti bukan atas dasar dugaan saja.

Berikut dalil mengenai kebolehan refaksi yang dituliskan Syekh Sulaiman bin Umar dalam Kitab Hasyiah Al-Jamal-nya:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

وَلَوْ قَالَ بِعْتُكَهُ بعَشَرَةٍ عَلَى أَنْ يُوْزَنَ بِظَرْفِهِ ثُمَّ يُسْقَطُ مِنَ الثَّمَنِ بِقَدْرِ نِسْبَةِ وَزْنِ الظَّرْفِ صَحَّ إِنْ عَلِمَا مِقْدَارَ وَزْنِ الظَّرْفِ وَالْمَحْطُوْطِ وَإِلَّا فَلاَ اهـ بِرْمَوِى

حاشية الجمل على شرح المنهج، جـ3، صـ 36

Artinya: “Jika dia berkata, “Saya menjualnya kepadamu seharga sepuluh, dengan syarat ditimbang bersama kemasannya lalu dipotong dari harga sesuai dengan beratnya.” maka sah jual beli tersebut jika mereka mengetahui jumlah berat kemasan dan apa saja yang disertakan, jika tidak mengetahui maka tidak sah jual belinya”. (Syekh Sulaiman bin Umar, Hasyiatul Jamal, Hal: 36/juz: 3, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 2010).

Sahnya sistem rafaksi yang diterapkan misalnya dalam jual beli ketela, harus dilakukan setelah penimbangan selesai dan sebelum dilakukannya penimbangan telah ada penentuan harga /kg yang kemudian dilakukan pemotongan harga sesuai dengan beratnya. Misalnya petani menjual hasil panen sebanyak 1 kwintal kemudian pabrik menetapkan rafaksi sebesar 45%, sehingga kuantitas singkong yang dibayarkan oleh pabrik hanya sebanyak 55 kg singkong dan sisanya sebanyak 45 kg dianggap sebagai rafaksi.

Dalam kasus ini, yang menjadi substansinya adalah harus diketahuinya jumlah berat ketela dan apa saja yang disertakan bersamanya saat proses penimbangan. Kemudian dilakukan pemotongan sesuai berat kotor ketela yang sudah ketahui secara pasti. Dengan diketahuinya jumlah berat kotor yang dilakukan secara pasti oleh pabrik tanpa adanya unsur dugaan dalam penentuan jumlah berat kotor tersebut, maka jual beli semacam itu hukumnya sah.

Berbeda jika penentuan jumlah berat kotor dilakukan secara spekulasi atau dugaan saja dalam artian hanya menduga jumlah berat kotor tanpa pernah melakukan penimbangan secara pasti pada kulit ketela, maka jual beli dengan sitem rafaksi seperti ini tidak sah hukumnya karena akan timbul unsur penipuan di dalamnya.

Hukum kebolehan rafaksi berlaku jika mengikuti qoul kedua yang disepakati oleh jumhur ilama ashab as-Syafi’i dalam kitab majmu’-nya Imam Nawawi:

 فَرْعٌ (إذَا اشْتَرَى جَامِدًا فِي ظَرْفِهِ كَالدَّقِيقِ وَالْحِنْطَةِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيبِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مُوَازَنَةً كُلَّ رِطْلٍ بِدِرْهَمٍ بِشَرْطِ أَنْ يُوزَنَ مَعَ ظَرْفِهِ ثُمَّ يُسْقِطُ قَدْرَ وَزْنِ الظَّرْفِ فَوَجْهَانِ حَكَاهُمَا الْمَاوَرْدِيُّ وَالرُّويَانِيُّ) أَحَدُهُمَا (لَا يَصِحُّ الْبَيْعُ لِأَنَّ الْجَامِدَ لَا يُحْتَاجُ إلَى وَزْنِهِ مَعَ ظَرْفِهِ لِإِمْكَانِ وَزْنِهِ بِدُونِهِ قالا وإلى هذا ميل أبى اسحق الْمَرْوَزِيِّ) وَالثَّانِي (يَصِحُّ وَهَذَا مُقْتَضَى كَلَامِ جُمْهُورِ الْأَصْحَابِ وَهُوَ الصَّوَابُ إذْ لَا مَفْسَدَةَ فِيهِ وَلَا غَرَرَ وَلَا جَهَالَةَ.

المجموع، جـ9، ص: 304

Artinya: “(cabang) Jika seseorang membeli suatu benda jamid (keras) yang terdapat di dalam kemasannya, seperti tepung terigu, gandum, kurma, kismis, dan lain-lain, maka hendaknya dia menimbang setiap ritl (pon)nya dengan satu dirham, dengan syarat ditimbang beserta kemasannya, kemudian dikurangi sesuai berat kemasannya maka ada 2 pendapat: hal ini diceritakan oleh imam Al-Mawardi dan Ar-Ruyani.

(Pertama) Jual beli tersebut tidak sah karena suatu benda yang jamid tidak perlu ditimbang dengan kemasannya, karena benda jamid dapat ditimbang tanpa disertai kemasannya, kata beliau berdua dan demikianlah kecenderungan Abu Ishaq Al-Marwazi.

(Yang kedua) Sah, dan ini pendapat sebagian besar Ashab Imam Syafi’i dan pendapat ini yang benar, karena tidak ada mafsadah di dalamnya, tidak ada penipuan, dan tidak adanya unsur ketidaktahuan.” (Imam Nawawi, Al-Majmu`, hal: 304/juz: 9, Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, 2011.)

Kesimpulannya, jual beli yang mengandung sistem rafaksi dengan pengurangan harga berat kotor pada kulit ketela secara jelas tanpa ada unsur spekulasi, maka itu diperbolehkan. Berbeda pada rafaksi ketela yang penentuan harga berat kotor masih dalam kategori spekulasi atau dugaan saja, maka jual beli itu tidak sah karena adanya unsur penipuan yang terletak di dalam pengurangan harga berat kotor pada kulit ketela. Wallahu a`lam bisshawab

Baca Juga: Hukum Jual-Beli Kredit Menurut Islam

Ditulis oleh: Mohammad Bahrul Ulum, Santri PP. Mansajul Ulum Pati