Oleh: Fitriatul Hasanah*
Zaman dulu kala ada seorang penyair Arab yang memiliki julukan Al-Mutanabi artinya orang yang mengaku nabi. Dia bernama Abu Thayyib Ahmad Bin Al-Husain Al-Ju’fi Al-Kindi Al-Kufi Al-Mutanabi. Al-Ju’fi merupakan penisbatan kepada kakeknya, sedangkan al-Kindi penisbatan kepada bani Kindah di tanah Arab di mana ia dilahirkan di tengah-tengah bani tersebut dan al-Kufi dinisbatkan pada tanah kelahirannya yakni Kufah.
Sedangkan untuk gelar al-mutanabi memiliki banyak persepsi mengenai asal usulnya. Ada yang mengatakan dia melakukan beberapa hal yang menakjubkan layaknya mukjizat nabi sehingga dia difitnah sebagai orang yang mengaku nabi. Pendapat lain mengatakan karena dia masih memiliki garis keturunan dengan Nabi Muhammad melalui Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Namun yang paling masuk akal adalah gelar tersebut didapatkan Abu Thayyib karena sejak kecil sudah pandai melantunkan syair yang indah nan memukau.
Hidup dalam ekonomi rendah, ayahnya yang berjuluk saqa’ merupakan penjual air keliling berusaha sekuat tenaga agar anaknya sukses dalam menekuni bakatnya. Ia besar dalam lingkungan yang membuatnya cerdas, kuat dalam hafalan, cinta terhadap ilmu dan sastra. Ia pun memiliki guru ternama dalam bidang sastra, salah satunya Abu Hasan Al-Akhfasy, Abu Bakar Muhammad bin Duraid.
Semakin lama kemahirannya dalam bersyair tambah lihai sehingga ia jadikan bakatnya tersebut sebagai ladang uang dengan menjual syair karangannya di hadapan khalifah dan pembesar waktu itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak sedikit yang iri padanya karena kelebihannya atau pun ketamakannya sehingga ia sering keluar masuk penjara. Puncaknya adalah ketika ia menjadi penyair resmi istana pada masa Sayf Ad-Daulah dari Dinasti Khamdan di Syiria, sampai syair-syairnya dibukukan dengan judul Diwan Al-mutanabi yang berisi empat puluh karangan syair dan beberapa syarah-nya yang berjudul al-akhbury dan al-wahidiy.
Menurut cerita, al-mutanabi memiliki 3 sikap yang terpuji dan tercela. Ia tidak pernah berbohong, berzina dan lesbi. Namun, 3 sikap tercelanya yakni ia tidak pernah berpuasa, shalat dan membaca al-Quran. Wallahu a’lam.
Ada cerita menarik tentangnya, suatu hari al-mutanabi melakukan perjalanan dari Kufah ke Baghdad dengan membawa uang saku hanya 5 dirham. Saat di tengah-tengah perjalanan ia melihat 5 buah semangka yang besar dan sangat menyegarkan dahaga. Ia pun tergiur dan hendak melakukan tawar-menawar pada penjual semangka tersebut.
Bukannya disambut baik oleh penjualnya, ia malah dibentak, direndahkan bahkan diusir dengan berkata kasar bahwa semangka ini hanya untuk VIP. Al-mutanabi jelas jengkel dengan perkataan penjual semangka itu dan ia semakin tertantang untuk memiliki lima buah semangka tersebut.
Si penjual mematok dengan harga tinggi sebanyak 10 dirham. Berhubung uang yang dimiliki al-mutanabi hanya 5 dirham, ia pun menawarnya separuh harga menjadi 5 dirham. Si penjual tidak mau ditawar dan tetap dengan harga awal, sampai datang pembeli lain dengan tampilan seperti saudagar kaya raya menawar dengan harga murah. Siapa sangka si penjual tadi mengiyakan tawaran harga saudagar kaya raya tersebut dengan harga 2 dirham, harga di bawah yang ditawar al-mutanabi yakni 5 dirham, ditambah si penjual memberikan bonus pada saudagar kaya raya tersebut.
Al-mutanabi hanya bengong melihatnya, ia pun melabrak penjual tadi perihal rasa ketidakadilan yang dialaminya. Bukannya meminta maaf, penjual tadi malah membentak lagi kepada al-mutanabi. Penjual mengatakan bahwa pembeli tadi merupakan saudagar kaya yang mempunyai 100 dinar, penjual memberikan harga sesuai tawaran orang kaya tersebut supaya diberi bonus.
Dari situ al-mutanabi tersadar bahwa terkadang seseorang menghormati sesama karena berduit. Sejak saat itu, al-mutanabi terus bersikap sebagai orang pelit agar hemat dan kelak orang akan beranggapan ia berduit dan dihormati. Memang sekilas al-mutanabi terkesan kikir tapi sebenarnya ia ingin menyindir bahwa orang lain di masanya menghormati orang lain karena harta dan tahta. Hal yang bisa dipetik dari kisah al-mutanabi tersebut bahwa kehormatan tidak selayaknya diukur dari harta dan jabatan yang dimiliki seseorang.
Baca Juga: Nashaihul Ibad (7): Kisah Orang yang Menjauhi Harta
*Mahasiswa Komunikasi di PTS Malang.