sumber gambar: gramedia.com

Rubrik ini diasuh oleh KH. Muthohharun Afif, alumni Tebuireng yang saat ini mengasuh Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin dan Al-Amin di Mojokerto. Ketika di Tebuireng, beliau menjadi salah satu murid KH. Idris Kamali dan KH. Shobari. Tulisan ini merupakan hasil serapan dari apa yang beliau sampaikan ketika ngaji kitab Nashaihul‘Ibad. 

Ada satu cerita seorang perempuan punya rumah makan. Orang itu setiap usai jualan, uangnya itu dibagi-bagikan. Ada seorang yang protes, “Anda ini kok tidak sayang dengan uangnya?” “Loh, saya ini sayang sama uang saya. Makanya saya tabung jadi sedekah. Nanti di akhirat tak ambil. Kalau kamu kan ndak sayang, uangmu malah kamu simpan di bank. Kamu mati tidak bawa apa-apa. Lah ya, kamu mau ke Eropa saja harus tukar uang dulu. Masak mau ke akhirat uangnya ndak ditukar.” Ibarat seorang akan pergi haji, maka ia harus menukarkan uang Rupiahnya dulu menjadi Riyal Saudi. Sama dengan ketika pergi ke akhirat, maka seorang hamba harus menukarkan duniawinya dengan amal saleh.

Diriwayatkan dari Syaikh Ibrahim ibn Adham, beliau ditanya seseorang: 

بِمَ وَجَدْتَ الزُهْدَ 

Bagaimana Anda menemukan kezuhudan? Maksudnya bagaimana Anda bisa nyaman jauh dari dunia untuk menyibukkan diri dengan urusan akhirat?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Beliau menjawab:

بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ رَأَيْتُ القَبْرَ مُوْحِشًا وَلَيْسَ مَعِيْ مُؤْنِسٌ وَرَأَيْتُ طَرِيْقًا طَوِيْلًا وَلَيْسَ مَعِيْ زَادٌ وَرَأَيْتُ الجَبَّارَ قَضِيًا وَلَيْسَ لِيْ حُجَّةٌ 

Saya melihat kuburan itu sangat menyiksa, tapi saya tidak punya kesenangan dunia. Saya melihat perjalanan sangat jauh (akhirat), tapi saya tidak punya bekal. Saya melihat zat Maha Diktator (Allah) yang memaksa hamba atas segala perkara, tapi saya tidak punya argumen atas dakwaanku. 

Dari tiga permasalahan di atas, jawabannya hanya satu yakni amal saleh. Kematian harapannya hanya amal saleh, perjalanan akhirat bekalnya hanya amal saleh, persidangan Allah Al-Jabbar juga hanya dapat dilancarkan dengan amal saleh. 

Memang dikatakan bahwa di kuburan nanti amal saleh itu akan datang menyerupai orang yang sangat tampan. “Saya adalah amal saleh yang dulu menyusahkan kamu di dunia. Mengganggu untuk shalat ketika enak tidur. Dulu saya menjadikan kamu susah, sekarang saya ingin menyenangkan Anda.” Jadi amal saleh itu akan menjadi kesenangan nanti di alam barzah. 

Lah kalau amalnya buruk beda, ia akan didatangi amalnya dengan wajah buruk rupa. “Saya yang dulu menyenangkan kamu di dunia, sekarang waktunya kamu aku susahkan di alam barzah.” 

Kisah Anak yang Menolong Bapaknya

Ada sebuah cerita, satu malam seorang laki-laki bermimpi kiamat. Dalam mimpinya ia dikejar-kejar oleh seekor ular yang sangat besar. Saat ia sudah sangat lelah, orang itu bertemu kakek tua. “Bapak tolong saya. Saya dikejar ular.” Katanya. Sang bapak yang juga tidak berani hanya bisa mengarahkan orang itu, “Kamu ke sana aja, naik ke atas.” Ketika di atas ia menemukan tempat yang sangat asri. Di kejauhan ia melihat anaknya yang sudah meninggal berada di situ. Saat dihampiri anaknya bertanya,  “Kenapa kok di sini pak?”. “Ya nak saya dikejar-kejar ular.” Kata bapaknya. Ceritanya dulu si anak ini selalu ketika melihat bapaknya minum miras ia menempeleng bapaknya. Anak itu mencoba menasihati bapaknya, “Bapak. Ular itu adalah perbuatan buruk bapak. Dan kakek tua di bawah tadi adalah perbuatan baik bapak. Makanya dia tidak berani menolong. Kalau mau selamat dari ular besar itu bapak harus berhenti minum miras.” Lalu orang itu terbangun dari mimpinya. 

Cerita di atas adalah gambaran agar amal seorang hamba lebih banyak baiknya daripada buruknya. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk meneliti apa saja yang sudah diperbuatnya. Urusan yang berhubungan dengan Allah dapat melangsungkan taubat di malam itu. Dan urusan yang berhubungan dengan sesama manusia, dapat diselesaikan di esok harinya. Hal ini sangat diperlukan bagi seorang hamba. Karena kalau tidak begitu seorang hamba akan banyak lupanya. Apalagi ketika ingat kesalahan kepada seseorang, tapi yang dicari tidak ada, bahkan sudah mati. Atau ketika ingin meminta maaf ia takut masalahnya akan menjadi tambah runyam. Maka dari itu, seorang hamba harus melakukan banyak amal saleh sekira melebihi perbuatan buruknya. Dan memohonkan pahala itu agar diberikan kepada seorang yang telah disakitinya.

Ada cerita ketika di akhirat nanti ada seseorang yang menuntut kepada seorang yang telah menyakitinya dulu di dunia. “Ya Allah masukkan saja ia ke neraka.” Katanya. Oleh Allah diperlihatkan pahala yang dimiliki, “Ini ada tambahan pahala yang besar dari temanmu itu. Kalau dia masuk neraka pahala ini akan terhapus.” Orang itu protes, “Wah, jangan Ya Allah. Jangan dihapus.” “Ya sudah, ada syaratnya. Kamu harus memaafkan dirinya.” Kata Allah. “Ya Allah. Kalau begitu saya maafkan saja.” Akhirnya mereka berdua sama-sama masuk ke surga. 

Dalam suatu riwayat Syaikh Ibrahim ibn Adham merupakan raja di satu daerah, kemudian ia meninggalkan kekuasaannya dan sibuk ibadah di Makkah. Dalam Risalah Al-Qusyairah beliau adalah Abu Ishaq Ibrahim ibn Mansur dari daerah pasar rakyat tanah Balkha. Beliau merupakan salah satu anak dari raja. Jadi ada perbedaan riwayat, dalam Nashaihul Ibad Syaikh Ibrahim merupakan seorang raja, namun dalam kitab Risalah Qusyairiah beliau adalah anak raja. 

Suatu hari beliau berburu kancil dan ia membuntuti seekor kancil. Di tengah pencariannya, ia ada suara tanpa rupa (هَاتِفٌ—makanya bahasa Arab telepon adalah Hatif, sebab ada suara tanpa rupa) mengatakan kepadanya, “Ya Ibrahim, untuk inikah kamu diciptakan/diperintahkan—apa kamu di dunia ini hanya untuk begini saja?” Kemudian muncul suara lagi dari pelana kudanya, pertanyaannya sama dengan suara  itu tadi. 

Lalu Ibrahim turun dari kudanya, dan menemui penggembala yang bekerja pada ayahnya. Ia meminta jubah dari bulu domba (shufi) darinya dan memakainya. Serta memberikan kuda dan barang bawaannya kepada penggembala itu. 

Akhirnya ia pergi ke sebuah pedesaan sepi di Makkah. Di sana ia berguru kepada Imam Sufyan al-Tsauri dan Fudhail ibn ‘Iyadh. Hal itu dilakukan olehnya lantara merasa tertegur dengan suara tanpa rupa yang mengingatkannya terhadap hakikat kehidupan. Hingga beliau meninggal di Syam. Dan selama itu pula ia hidup dengan tangannya sendiri, seperti berkebun.

Dari sini dapat dijadikan pelajaran bahwa ketika seseorang ingin sibuk dengan akhirat harus meninggalkan dunia. Karena dunia dan akhirat ini seperti Timur dan Barat. Saat seorang sudah menghadap Barat (akhirat), maka ia harus menjauh dari Timur (dunia). Sekaligus mendapat tuntunan guru. Tidak cukup dengan hanya mempelajari kitab tasawuf tanpa guru. Dan untuk mencari guru itu dapat dilakukan dengan bertanya kepada ahli atau istikharah. 

Makanya untuk menetralisir perbuatan buruk di dunia, seorang hamba harus banyak-banyak istighfar. Dan berbuat sebaik mungkin dengan sesama manusia. Karena manusia tidak tahu kapan ajalnya tiba. Anak saya (KH. Muthohharun Afif) ini umur 8 tahun sudah diambil. Ada yang baru umur tiga hari sudah diambil. Istri saya yang 10 tahun lebih muda dari saya, sudah diambil.

Maqalah ke-32; Kenikmatan Beribadah

عَنْ سُفْيَانَ الثَوْرِيْ  سُئِلَ عَنْ الأُنْسِ بِاللهِ تعالى مَاهُوَ فَقَالَ (أَنْ لَا تَسْتَأْنِسُ بِكُلِّ وَجْهٍ صَبِيْحٍ وَلَا بِصَوْتٍ طَيِّبٍ وَلَا بِلِسَانٍ فَصِيْحٍ)

Sufyan Al-Tsauri pernah ditanya mengenai cara agar nikmat dalam ibadah. Beliau menjawab, “Tidak dengan cara adanya wajah yang tampan, bukan dengan suara yang merdu, bukan juga dengan suara yang fasih.” 

Jadi ketika seorang hamba merasa nikmat dalam ibadah itu bukan karena sesuatu yang tampak. Tapi itu karena karunia dari Allah Swt. dan untuk menuju itu harus merambat demi sedikit. Pertama harus memenuhi niat dan rukun. Kemudian fokus, hatinya ikhlas, tidak karena paksaan.

Jadi, kenikmatan ibadah tidak bisa dipengaruhi oleh sesuatu yang dhohir. Harus melalui latihan-latihan zikir dan lain sebagainya. Sekaligus juga mendapat bimbingan dari guru untuk sampai pada maqam itu. 

Juga terpenuhinya ilmu tauhid, fiqih, dan tasawuf. Dibersamai dengan terus menerus taubat, menjauhi makhluk, dan menekan nafsu. Dalam Al-Hikam dikatakan “Jangan menggauli orang yang tidak bisa menggugah diri kepada Allah Swt.”

*Artikel ini disusun oleh Yuniar Indra (Mahasantri Mahad Aly Tebuireng).