Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Oleh: KH. Ahmad Musta’in Syafi’i

اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَسْلِيمًا كَثِيْرًا

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (الاحقاف:15)

Jumat ini (seri-32) kita masih membicarakan tentang panduan Al-Qur’an terhadap orang yang sudah berusia lebih dari 40 tahun. Angka ini merupakan satu-satunya usia yang disebutkan dalam Al-Qur’an dengan redaksi أَرْبَعِينَ سَنَةً. Menurut keilmuan dianggap bahwa kehidupan dimulai pada usia tersebut  (the life begin in fourty age).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Al-Ahqaf ayat 15 ini memberikan 6 panduan bagi mereka yang berumur 40 tahun. Dan bahasan kutbah kali ini adalah panduan yang ke-3. Yakni وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ (semoga amal saya diridai Allah).

Kita tetap dianjurkan untuk bertakwa kepada Allah dari berbagai sisi ketakwaan itu bisa ditempuh. Dan pada bulan jihad seperti ini kita bisa mencontoh seorang ulama’ besar sebagai uswah dan pendorong kepada diri kita masing-masing. Agar bisa mencontoh kesalehan-kesalehan beliau. Sehingga harapannya mampu menjadi orang yang beramal sesuai ridha Allah. Yakni mereka yang hidupnya berstandar Tuhan.

Berbagai pandangan ulama’, termasuk Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, bahwa seseorang yang dianugerahi kelebihan-kelebihan baik di bidang ilmu, fisik, keberanian, kematangan jiwa itu digambarkan oleh Al-Qur’an dengan sosok Nabi Ibrahim. Lantaran kelebihan-kelebihan itu Ibrahim dijadikan Allah sebagai pemimpin (Inni Ja’iluka Imama. Al-Baqarah: 124). Untuk itu seorang yang menjadi panutan itu harus di depan dan menjadi contoh kepada makmum dan umat.

Kami sepakat belum tahu secara pasti mengapa satu-satunya ulama’ yang bergelar Hadratussyaikh itu hanya KH. M. Hasyim Asy’ari.Dari segi literasi jika merujuk pada kitab-kitab salaf memang banyak ulama’-ulama’ yang digelari dengan Syaikh. Misal, Al-Syaikhani  di bidang hadis mewakili Al-Bukhari dan Muslim. Al-Syaikhani di bidang fikih mewakili Al-Nawawi dan Al-Rafi’i. Dan yang menarik adalah Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Sesungguhnya para ulama’ kiai-kiai menggelari Kiai Hasyim sebagai Hadratussyaikh itu syaikh (ahli) yang mana? Itu pasti studinya adalah multidimensi; Al-Qur’an, Hadis, Sufi, Perjuangan, dan lain-lain.

Hadratussyaikh sepertinya—meski belum bisa dibicarakan secara luas—lebih mirip kepada sosok Imam Ibn Taimiyah. Meskipun di bidang teologi itu tidak dibahas, tapi di bidang karateristik dan daya juangnya ada kemiripan.

Imam Ibn Taimiyah itu berjuluk Alim, Mufassir, Muhaddis, Sufi. Bahkan di bidang hadis pengikut fanatiknya mengatakan kullu hadis la ya’rifuhu Ibn Taimiyah laisa bi hadis (jika ada hadis yang sampai tidak diketahui Ibn Taimiyah, maka kayaknya itu bukan hadis). Kita tahu Hadratussyaikh itu ahli hadis, siapa yang mau mengingkari bahwa beliau bukan ahli hadis. Beliau sangat mendalami hadis.

Tentang ilmu tafsir, Ibn Taimiyah menulis tafsir itu tidak perlu waktu khusus. Ia mengarang tafsir cukup dengan waktu-waktu senggang ketika khutbah, atau mengajar. Meski beliau tidak terlalu menonjol di sana, tapi beliau seorang yang hafal Al-Qur’an. Coba kita lihat Hadratussyaikh meskipun beliau seorang Hafidz Al-Qur’an yang diwisuda pada wisuda ke-6 di Shaulatiyyah dengan nama Muhammad Hasyim Al-Jumbangi (Al-Inayah fi Qur’an al-Karim). Di sisi lain, beliau tidak menonjolkan ke-hafidz-annya. Yang bisa dilihat adalah kepiawaiannya di dalam memahami Al-Qur’an. Dan itu terungkap pada tulisan beliau, parade ayat Al-Qur’an yang menjadi pegnantar sangat mengagumkan. Terlihat mutiara-mutiara tafsir lahir dari coretan-coretannya. Salah satunya menjadi dasar untuk Resolusi Jihad yakni surah Al-Naml yang menceritakan dialog antara Sulaiman dan Bilqis.

Hadratussyaikh juga menyusun kelas-kelas (grade) terhormat di dunia dengan membaginya menjadi tiga kluster. Betul-betul hal itu lahir dari tulisan beliau ketika membahasakan ayat,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Ali Imran:8)

Bahwa tingkatan tertinggi yaitu Allah, di bawahnya ada malaikat, dan tingkatan ketiga yaitu orang berilmu. Ketiga tingkatan itu ada di dalam kitab beliau, meskipun beliau tidak menulis tafsir secara utuh. Akan tetapi, pemahamannya terhadap studi Al-Qur’an itu nampak betul rasikh (sangat ahli dan mendalam) di sini.

Begitu pula Imam Ibn Taimiyah tidak ada yang diragukan tentang kepiawaiannya dalam hal tafsir, meskipun demikian tidak ada orang yang merujuk pada tafsirannya karena bukan buku tersendiri. Tidak masalah, hal tersebut tetap bentuk mengungkapkan ilmu sebagai ilmu. Viral tidak viral itu urusan lain.

Perkara fikih maklum beliau. Tapi lihat beliau lah yang bisa menggerakan bangsa ini melalui Fatwa Jihad. Militer pun meminta fatwa beliau. Semua itu diekspresikan untuk mengunduh ridha Allah. Bukan untuk popularitas. Jendral Sudirman hadir di sini untuk meminta fatwa beliau. Bahkan Resolusi Jihad lahir juga dari lisan beliau.

Apakah Imam Ibn Taimiyah juga begitu ? Iya. Ketika ada peristiwa di Mesir pada tahun 700 H. Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyah memberikan fatwa bahwa penduduk Mesir harus menyumbang satu dinar per-hari demi jihad. Semuanya mematuhi fatwa Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyah. Ketika diberi anugerah bisa menggerakkan umat yang begitu besar, seperti Hadratussyaikh yang bisa menggerakkan murid-murid, umat-umat, sampai ibu rumah tangga juga berjihad.

Yang pernah kita singgung apa latar belakang ayat yang digunakan beliau untuk mendasari hal itu. Perkiraan kami, beliau memakai firman Allah tentang pengutusan Rasul dengan lafadz ba’atsa, bukan arsala. Perbedaannya kalau arsalaitu mengutus memberi pencerahan kepada umat, lantas kemudian selesai. Tetapi kalau ba’atsaitu membangkitkan, tidak sekedar seorang pemimpin itu memberikan arahan-arahan. Tetapi bisa memberi motivasi hati umat untuk melanjutkan bergerak sendiri. Kira-kira Hadratussyaikh masuk kategori terma ba’atsabukan arsala.

Ibn Taimiyah  pernah dihadiahi hadiah besar karena fatwanya yang hebat. Tetapi ia menolak sedikitpun tidak mau menerima. Sama halnya ketika Hadratussyaikh juga dianugerahi bintang, diajak kompromi Belanda, beliau tidak mau sama sekali. Sebab bisa menjadikan perpecahan di antara ulama’. Subhanallah, ketika beliau menolak hal-hal yang seperti itu ternyata beliau mampu mempertahankan komitmen yang hebat, meskipun tidak da perlawanan kepada penjajah. Tetapi sifat non koperatif ditanamkan di hati santri.

Bahkan, beliau dari ndalem keluar ke serambi ini dan berpidato di hadapan santri, santri disuruh puasa tiga hari, dan berdoa agar beliau bisa dipertahankan untuk menolak. Jadi meminta santrinya puasa agar mendoakannya untuk bisa teguh menolak pangkat-pangkat. Bukan malah meminta santrinya mendoakannya agar bisa menjadi pejabat.

Kesamaan-kesamaan ini memang tidak tertulis, tetapi rabaan-rabaan nilai sufistik, nilai keilmuan, ketajaman nash. Kemiripan kepada siapa gelar Hadratussyaikh itu disematkan? sementara ini saya lebih memilih kepribadian Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyah.

Dan tentang ciri sufistik, ketika Ibn Taimiyah keluar masuk penjara. Hadratussyaikh sama, masuk penjara sana-sini. Apakah beliau mengeluh? Tidak. Paling di penjara hanya dianggap numpang tidur. Keduanya tetap berfatwa, memikirkan umat. Ibn Taimiyah sampai pada akhirnya karena saking tajamnya menulis, beliau tidak diberi kertas dan tidak diberi tinta sama sekali. Agar tidak menulis. Ketika dipenjara selama 20 bulan. Apa yang dilakukan beliau? Hanya membaca Al-Qur’an, hanya dzikir saja. Dan yang dibaca oleh Syaikh Al-Islam adalah

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍَﻋِﻨِّﻲ ﻋَﻠَﻰ ﺫِﻛْﺮِﻙَ ﻭَﺷُﻜْﺮِﻙَ ﻭَﺣُﺴْﻦِ ﻋِﺒَﺎﺩَﺗِﻚَ

Ada kemiripan dengan Hadratussyaikh, beliau setiap malam tidak pernah telat shalat tahajud. Bahkan suatu hari ketika beliau sedang mendengar santri membaca ayat di tengah malam,

كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. (Al-Dzariyat: 17-18)

santri itu tidak sengaja, hanya membaca. Tetapi Hadratussyaikh merasa ayat itu menyindir dirinya. Akhirnya beliau bangun dan tahajud.

Seharusnya, kita sebagai santri dan sebagai umat Islam meneladani ulama’-ulama’ saleh. Dan harapan kita besok kita diberikan kesempatan satu majelis dengan ulama’-ulama’ tersebut.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ

وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ

وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Transkip: Yuniar Indra Yahya