tebuireng.online– Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUSPI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengadakan Seminar Nasional bertemakan “Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan untuk Indonesia”, di Gedung Convention Hall lt 1 kampus tersebut, Selasa (06/10/2015). Dalam seminar ini panitia menghadirkan Ketua Umum Muhammadiyah, Dr. H. Haedar Hashir, M.Si dan tokoh NU sekaligus Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH Salahuddin Wahid sebagai narasumber. Acara ini merupakan agenda yang wajib dihadiri oleh semua mahasiwa baru FUSPI.
Acara diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang kemudian dilanjutkan oleh sambutan Wakil Rektor I Dr. Sutrisno. M.Ag. Seminar tersebut dimoderatori oleh Muhammad Amin, Lc., yang juga salah satu dosen di FUSPI UIN SUKA. M. Amin mempersilahkan kedua narasumber untuk menerangkan makna dibalik jargon dari kedua ormas yang sedang hangat akhir-akhir ini.
Menurut Dr. Haedar istilah kemajuan telah melekat dalam pergerakan Muhammdiyah sejak awal berdiri hingga dalam perjalanan berikutnya. Selanjutnya mantan ketua PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah tersebut juga mengatakan bahwa NU dan Muhammadiyah sama-sama membangun umat dengan tulus dan melembaga, juga mempunyai pemimpin yang jujur dan terpercaya. “Jangan seperti burung merak yang mengepakkan sayapnya tapi hatinya tertinggal” ujar Dr. Haedar.
Gus Sholah, Sapaan akrab KH. Salahuddin Wahid, mengatakan bahwa lebih banyak persamaan antara NU dan Muhammadiyah dari pada perbedaannya. Menurut cucu pendiri NU tersebut, perbedaan keduanya hanya terdapat pada masalah fikih saja. “Contohnya masalah tarawih, yang satu 8 rakaat yang satu 20 rakaat sekarang masalah ini sudah mencair karena banyak sekali yang tidak tarawih“, gurau Gus Sholah dengan disambut gelak tawa hadirin.
Selain itu lanjut Gus Sholah, NU dan Muhammadiyah juga sama moderat, punya nilai kebangsaan yang tinggi dan yang peling penting, sama-sama menerima pancasila dan NKRI. Menurut NU, NKRI adalah final, tak perlu membentuk negara baru. Sedangkan menurut Muhamadiyah Indonesia adalah Dar al-Ahdi Wa al-Syahadah dimana khalifah berada dalam bentuk NKRI bukan untuk membentuk negara baru. Keduanya juga sama-sama memajukan demokrasi di Indonesia.
“NU dan Muhammadiyah itu harus saling bekerja sama, seperti Muhammadiyah mendirikan perguruan tinggi, NU yang mengirim mahasiswa”, canda Gus Sholah yang kembali membuat penonton tertawa.
Diskusi semakin seru ketika salah satu peserta bertanya tentang “oleh” dan “untuk” siapa kemajuan Muhamadiyah itu?. Dr. Haedar menanggapi pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa pada dasarnya sekolah negeri itu gratis karena biaya dari APBN, sedang swasta tentu saja bayar karena bukan dari APBN dananya. “Kalau swasta tak bayar dari mana dapatnya uang untuk operasional kampus?” ujar Dr. Haedar.
Dr. Haedar dan Gus Sholah sama-sama setuju tentang ketertinggalan negara-negara muslim dari negara-negara lainnya. Gus Sholah menyampaikan hasil studi Rehman dan Askari, bahwa keislaman semua negara muslim jauh dari angka wajar. Dari 4 indeks ukuran (Economic Islamicity, Legal and Governance Islamicity, Human and Political Islamicity, International Relation Islamicity), yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah, hasilnya keislaman rata-rata Negeri Muslim berada pada nomor 137 dari 208 negara. Indonesia berada pada urutan 140. Negeri Muslim tertinggi adalah Malaysia pada urutan 38. Oleh karenanya, hemat Gus Sholah tidak ada lain, umat Islam harus berjuang keras untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan ketertinggalannya. Selain itu, Indonesia juga belum memberikan solusi kongkrit tentang masalah pendidikan.
Pukul 11.30 Dr. Haedar harus meninggalkan ruang seminar karena hendak ke Jakarta. Namun Gus Sholah tetap melanjutkan diskusi bersama para mahasiswa. Sebelum berakhir, Gus sholah mengatakan bahwa yang harus diperbaiki pertama bukanlah ilmu atau kekuatan ekonomi dan militer, tetapi akhlaq yang menjadi masalah serius bangsa ini. (fidho/abror)