Buya Syafi’i Ma’arif menyampaikan materi tentang pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan di Pesantren Tebuireng pada Ahad (28/01/2018). (Foto: Kopi Ireng).

Tebuireng.online— Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memang merupakan pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) dan ulama kharismatik Indonesia. Namun, Hadratussyaikh sangat kecil jika dianggap hanya milik NU saja, padahal Sang Maha Guru itu, merupakan ulama untuk seluruh umat Islam.

“KH. M. Hasyim Asy’ari adalah seorang panutan, tetapi ini menjadi sebuah masalah karena seakan-akan beliau adalah milik NU saja,” terang Buya Syafi’i Ma’arif dalam seminar nasional “Aktualisasi Pemikiran Hadratussyaikh KH.M. Hasyim Asy’ari dalam Konteks Kenegaraan dan Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari Tebuireng pada Ahad (28/01/2018) di aula lantai tiga Gedung KH. M. Yusuf Hasyim.

Hal tersebut disampaikan Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah itu, berdasarkan pada fakta bahwa KH. M. Hasyim Asy’Ari juga merupakan pendiri Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 7 November 1945 didirikan di Jogjakarta, yaitu di Madrasah Muallimin Muhammadiyah yang merupakan sekolah Buya Syafi’i dulu.

”Dalam bacaan saya KH. M. Hasyim Asy’Ari masih merupakan Rais Akbar masyumi sampai beliau wafat, jadi jika KH. M. Hasyim Asy’Ari di klaim seakan-akan milik Nahdhatul Ulama (NU) , itu tidak benar, karena beliau adalah milik umat Islam,” tambahnya disambut tepuk tangan hadirin.

Menurutnya, untuk membicarakan pemikiran KH. M. Hasyim Asy’Ari tentang ideologi berbangsa dan bernegara, merupakan sesuatu yang tidak mudah, karena, harus dirakit dari berbagai pernyataan dan sikapnya yang patriotik, baik ketika menghadapi penjajah Belanda maupun Jepang. Selain itu, lanjutnya, hal itu juga dapat ditemukan pada pidato Hadratussyaikh ketika Muktamar ke-16 NU di Purwokerto dan tercantum dalam al Qanun al Asasi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mengaca pada banyaknya kekacauan yang terjadi di berbagai negara muslim, seperti Syuriah, Mesir, Iran, dan negera-negara lain, Buya Syari’i menilai hal tersebut sangat bertentangan dengan ayat 105 surat Ali Imron tentang persatuan umat. “KH. M. Hasyim Asy’ari tidak rela jika umat berpecah belah, karena perpecahan merupakan jurang malapetaka bagi siapapun,” lanjutnya.

Buya Syafi’i juga sangat menganjurkan kepada seluruh muslim membaca dan mempelajari al Qanun al Asasi, jika memang mengharapkan kebaikan. Menurutnya pernyataan Kiai Hasyim Asy’ari dalam kitab itu, sudah menjadi sebuah aksioma yang serba pasti. Namun, ia menyayangkan, pada umumnya umat Islam tetap saja menutup mata dan hatinya untuk melihat dan mengambil pelajaran moral dari pesan persatuan dalam kitab itu.

Baginya, jas-jasa besar KH. A. Dahlan dan KH. M. Hasyim Asy’ari telah memandu umat Islam Indonesia pada abad ke-20 dan permulaan abad ke-21. Perpecahan internal yang melanda dunia Arab menurutnya sudah sangat parah dan dimanfaatkan oleh pihak luar untuk semakin menghancurkan mereka.

Buya Syafi’i melontarkan pertanyaan tentang apakah Islam yang terwarisi sekarang ini dalam format penafsiran madzhab-madzhab yang berlapis-lapis dalam bilangan abad yang panjang, masih cukup mampu membangun sebuah peradaban muslim yang adil, sebagai realisasi dari pesan agung Al Quran dalam surat al Anbiya 107 tentang Islam rahmatan lil Alamin. “Mari kita pikirkan bersama masalah yang sangat fundamental ini,” pungkasnya.


Pewarta:            Faisal

Editor/Publisher: M. Abror Rosyidin