KH. Salahudin Wahid (Gus Sholah) saat menyampaikan sambutan dalam seminar Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng Jombang, Ahad (28/01/18). (Foto: Kopi Ireng)

Tebuireng.online- Seminar Nasional bertema “Aktualisasi Pemikiran KH. Hasyim Asya’ari dalam Konteks Berbangsa dan Bernegara”, yang dilaksanakan Ahad (28/01/18) dibuka dengan sambutan KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) yang sekaligus berterima kasih pada para pembicara, yang telah meluangkan waktu untuk datang dalam acara tersebut. Gus Sholah, juga tak lupa untuk berterima kasih kepada pihak Pusat Kajian Pemikiran KH. M. Hasyim Asyari karena telah mengadakan acara seminar tersebut.

Diawal sambutannya Gus Sholah memulai dengan memberi penjelasan tentang Indische Partij, yang dibangun oleh E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara pada 1912.

“Slogan mereka itu berbunyi, ‘Hindia bagi orang Hindia. Dan berdirinya organisasi itu bukan dikarenakan kesamaan suku, agama, etnis, maupun kedaerahan. Melainkan, indische partij dibangun berdasarkan persamaan cita-cita untuk menjadi bangsa yang merdeka, adil, dan bermartabat,” terang Gus Sholah dalam sambutannya.

Gus Sholah melanjutkan dengan menjelaskan beberapa proses sejarah sebuah perhimpunan yang pada akhirnya pada 1922 Indie Partij yang telah berubah menjadi Indiseche Vereeniging diubah lagi menjadi Indonesische Vereeniging.

“Pada tahun 1925 Indonesische Vereeniging berubah nama menjadi perhimpunan Indonesia, dan itu pertamakali nama Indonesia digunakan dalam konteks politik. Semboyan India bagi orang India diubah menjadi Indonesia bagi orang Indonesia,” lanjut beliau menjelaskan beberapa sejarah singkat terciptanya Sumpah Pemuda pada 1928.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Menurut beliau, kata “bangsa” yang disebutkan dalam sumpah pemuda tidak menyinggung tentang agama. Beliau melanjutkan, bahwa masalah agama baru muncul di dunia politik di Indonesia pada Juni 1945 ketika para pendiri bangsa harus menentukan apa akan menjadi dasar Negara.

“Kelompok Islam seperti NU, Muhammadiyah, PSII menginginkan dasar Negara Islam. Namun kelompok lainnya menginginkan dasar Negara Pancasila,” sambungnya.

Setelah itu Gus Sholah menjelaskan bahwa pada 1945 Pancasila hadir dengan sila pertama yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Sila tersebut menerima penolakan oleh para pemuda yang mengatakan, bahwa bangsa Indonesia di bagian timur tidak akan mau bergabung dengan Indonesia jika sila pertama masih seperti itu. Dan Akhirnya sila pertama dirubah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Gus Sholah melanjutkan, bahwa 1984 NU mulai mengakui Pancasila sebagai dasar Negara, sikap NU itu didasarkan pada kajian tentang hubungan islam dan Pancasila. Sejak saat itu ormas lain juga mengikuti jejak NU untuk mengakui secara resmi Pancasila sebagai dasar Negara.

Dalam kesempatan itu Gus Sholah juga sedikit membahas tentang orang-orang yang mendukung fenomena LGBT. Menurut Gus Sholah mereka yang mendukung dibolehkannya LGBT di Indonesia atas dasar kesamaan Hak Asasi Manusia.

“HAM di Indonesia masih harus disesuaikan dengan moral dan budaya yang berlaku di Indonesia, yang berlandaskan Sila pertama, yakni ketuhanan Yang Maha Esa,” pendapat Gus Sholah di sela-sela sambutannya.

Dalam penghujung sambutannya beliau menyampaikan harapan agar seminar pada hari tersebut dapat memberikan sumbangsih terhadap pemaknaan pancasila terlebih sila pertama.


Pewarta: Muhammad Najib

Editor: Anik Wulansari

Publisher: Rara Zarary