Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Izin bertanya Ustadz. Apa hukum talfiq, karena saya melihat ada beberapa Ulama Syafi’iyah yang memakai pendapat imam lain, seperti Imam Ghazali yang memakai pendapat Imam Malik dalam masalah air musta’mal. Apakah perbuatan Imam Ghazali yang memakai pendapat Imam Malik padahal Imam Ghazali adalah pengikut Imam Syafi’i ini termasuk perbuatan talfiq yang sehingga ini dijadikan dalil bahwa dibolehkannya talfiq tanpa udzur dan alasan darurat lainnya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi waboraktuh

                                                                                                     (Muhammad Amin)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Wa’alaikumsalam Wr Wb. 

Terimakasih atas pertanyaannya, semoga kita selalu dalam lindungan Allah Swt. Sebelum kita masuk ke hukum talfiq patut kiranya diketahui terlebih dahulu definisi dari talfiq itu sendiri. Secara bahasa talfiq adalah campur aduk. Sedangkan menurut istilah, talfiq merupakan sebuah tindakan atau melakukan sesuatu dalam satu permasalahan dengan sikap (kaifiyah) yang tidak sesuai dengan imam-imam mujtahid yang dahulu. 

Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita yang bukan mahramnya, kemudian langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu.

Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’i dan Hanafi dalam masalah wudu. Yang pada akhirnya, kedua Imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam Syafi’i membatalkan wudlu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Hanafi tidak mengesahkan wudlu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala.

Sedangkan hukum dari talfiq sendiri tidak diperbolehkan seperti yang dijelaskan dalam kitab Tanwirul Al-Qulub:

(الخامس) عدم التلفيق بأن لايلفق في قضية واحدة ابتداء ولادواما بين قولين يتولد منهما حقيقة لا يقول بها صاحبهما .

“(Syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orang yang berpendapat.” (Tanwirul-Qulub ; 397).

Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama. 

Atas dasar ini maka sebenarnya talfiq yang dimunculkan bukan untuk mengekang kebebasan umat Islam untuk memilih mazhab. Dan bukan pula untuk melestarikan sikap pembelaan dan fanatisme terhadap mazhab tertentu. Sebab talfiq ini dimunculkan dalam rangka menjaga kebebasan bermadzhab agar tidak disalahpahami oleh sebagian orang. Selain itu, talfiq dikhawatirkan akan menyebabkan ihdatsu qaulin jadidin (mencetuskan pendapat yang baru).

Akan tetapi, ada kalanya talfiq itu dilakukan juga dengan sengaja, yang keumuman pelaku adalah seorang yang berkompeten sebagai mujtahid atau seorang muqallid dalam beberapa kasus. Apabila yang melakukan adalah seorang mujtahid (seperti Imam Ghazali dan lainnya), yang ia perbuat tersebut adalah memilah-milah antara pendapat-pendapat ulama terdahulu kemudian memilih pendapat yang dianggapnya sebagai lebih unggul (mentarjih) atau mencampur dua pendapat yang berbeda. Namun apabila jenis talfiq sengaja ini pelakunya adalah seorang muqallid maka tidaklah diperkenankan. Karena kemungkinan ia akan terjerumus untuk melanggar nash syariat yang tidak diketahuinya. Wallahua’lam.


Dijawab oleh: Faizal Amin (Mahasantri Mahad Aly Tebuireng)