sumber ilustrasi: posciety.com

Oleh: Muh Sutan* 

Generasi sandwich dikenalkan oleh Prof. Dorothy A. Miller pada tahun 1981. Generasi ini dikategorikan bagi seorang dewasa antara umur 30-50 tahun dan bisa dikatakan sebagai usia produktif. Di pundak mereka ada harapan untuk membuat inovasi dan perubahan terhadap lingkungan sekitar. Tekanan itu semakin bertambah dengan menjadi pijakan para pendahulu dan anak-anaknya. Mereka harus bekerja keras memikul beban keluarga, ikut menopang kehidupan generasi di atasnya, dan bahkan juga ikut menutupi kebutuhan saudara atau keluarga besar lainnya. Akhirnya, mereka tak punya cukup ruang untuk merancang masa depan keluarganya sendiri yang lebih sejahtera. Kurang lebih seperti itu narasi tentang generasi sandwich.

Jejak pendapat Litbang Kompas Agustus 2022 dengan 504 responden di 34 provinsi, ternyata 67 persen responden mengaku menanggung beban sebagai generasi sandwich. Jika kita proporsikan dengan usia produktif di Indonesia yang berjumlah 206 juta jiwa, bisa diperkirakan ada 56 juta jiwa yang masuk kategori generasi sandwich.

Banyak faktor yang menjadi latar belakang fenomena ini terjadi. Kegagalan perencanaan finansial, misalnya. Bukan salah sepenuhnya, tetapi ketika orang tua tidak punya perencanaan finansial yang baik untuk masa tuanya maka akan berpotensi membuat anak menjadi generasi sandwich selanjutnya. 

Meski bukan hal yang mengherankan untuk terjadi, tetapi fenomena generasi sandwich ini perlu direspon dengan baik. Dalam mencapai keluarga sakinah pula, kitab Qomiut Thugyan karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani menerangkan bahwa memberikan nafkah kepada istri dan kerabat itu berbeda. Seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya sesuai kemampuan finansial yang ia miliki. Jangan sampai suami tidak memberikan nafkah, jika itu terjadi maka nafkah yang belum diberikan itu menjadi hutang baginya. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hal ini berbeda dengan konteks kerabat. Seseorang boleh memberikan uang kepada orang tua atau kerabat lainnya dengan dasar saling membantu, bukan merupakan kewajiban. Jika si anak miskin, orang tua boleh memberi bantuan. Begitupun sebaliknya. Karena dasar yang digunakan adalah mu’awanah (tolong menolong) dan ini bersifat tidak wajib. 

Dalam Islam sudah mengatur ini dengan jelas. Generasi sandwich tidak perlu menganggap bahwa harapan orang tua itu sebagai beban tambahan. Bagi orang tua pun, tidak perlu terlalu memaksakan keinginannya terhadap generasi muda. Biarkan generasi produktif itu meningkatkan kapasitas mereka, sehingga bisa punya daya tawar dan karir mereka juga ikut naik. 

Sabda Rasulullah Saw. tentang banyaknya jumlah anak:

تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

Artinya: “Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu).” (Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar).

Doktrin banyak anak banyak rezeki ini harus dipahami secara proporsional. Harus diimbangi dengan pengetahuan bahwa rezeki bukan hanya berupa uang, bisa berupa kesehatan dan kesempatan. Anak adalah rezeki, menjadi suatu kebahagiaan karena ada penerus kita dalam menegakkan agama Islam. Jumlah anak punya korelasi dengan jumlah biaya hidup. Banyak anak pun seperti itu, makin banyak biaya dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Untuk mewujudkan banyak anak banyak finansial, kita harus melakukan ikhtiar lebih. Rezeki memang sudah dijamin, tetapi bukan berarti kita hanya diam saja tanpa bekerja lebih giat. Maka dari itu, generasi sandwich bisa dicegah dengan kesadaran seperti ini. 

Bagi Anda yang berada di fase generasi sandwich ini, untuk memutus rantai siklus ini upayakan untuk memiliki tabungan, asuransi kesehatan, mengurangi gaya hidup konsumtif, menyiapkan dana pendidikan anak, dan mengajari anak agar belajar mandiri secara finansial. 

*Alumnus Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.