ilustrasi orang memasak untuk berbuka puasa

Bulan Ramadhan merupakan bulan sangat ditunggu-tunggu bagi umat Islam, tentunya yang paling mereka tunggu di setiap harinya adalah berbuka puasa bersama keluarga dengan hidangan yang dibuat dengan effort yang luar biasa.

Tak jarang juga dari ibu-ibu atau para juru masak sedikit kebingungan menentukan apakah makanannya sudah enak disajikan atau malah ada yang kurang, maka mencicipi adalah solusi untuk menentukannya. Namun saat berpuasa tentunya ini menjadi problem, apakah bisa membatalkan puasa orang yang mencicipi atau hanya sekedar makruh atau emang boleh-boleh saja?

Dalam hal ini, hukum Islam sangat mempermudah para pemasak, mengingat dalam hukum Islam diperkenankan untuk mencicipi makanan selama tidak menalan apa yang mereka cicipi. Hal ini seperti yang disampaikan Syekh Abul Hasan dalam kitabnya Syarh Shohih Bukhari :

وَأَمَّا ذَوْقُ الطَّعَامِ لِلصَّائِمِ، فَقَالَ الْكُوْفِيُوْنَ: إِذَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ لَا يُفْطِرُهُ، وَصَوْمُهُ تَامٌ  

“Adapun mencicipi makanan bagi orang yang puasa, maka ulama Kufah mengatakan: jika (rasa makanan tersebut) tidak sampai masuk tenggorokan (tertelan), maka tidak membatalkan, dan puasanya sempurna (tidak makruh).”[1]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bahkan tidak ada kemakruhan dalam mencicipi suatu makanan di bulan suci Ramadhan selama memang dibutuhkan untuk mencicipi rasa makanan yang kita buat, sebagaimana yang difatwakan oleh Az-Ziyadi:

ومحل الكراهة ان لم تكن له حاجة اما الطباح رجلا كان او امراءة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي

“Dimakruhkan mencicipi makanan (bagi orang yang puasa) tersebut bila memang bagi orang yang tidak ada kepentingan sedangkan bagi seorang pemasak makanan baik laki-laki atau perempuan atau orang yang memiliki anak kecil yang mengunyahkan makanan buatnya maka tidak dimakruhkan mencicipi makanan buat mereka (Assyarqowi I/445).

Pendapat yang lebih hati-hati dikatakan oleh Syekh Sulaiman al-Makki :

   وَيُكْرَهُ ذَوْقُ الطَّعَامِ أَوْ غَيْرِهِ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْرِيْضِ الصَّوْمِ لِلْفَسَادِ، وَهَذا اِذَا لَمْ تَكُن حَاجَة. أَمَّا الطَّبَّاخُ رَجُلًا كَانَ أَوْ اِمْرَأَةً فَلاَ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ كَمَا لَايُكْرَهُ المَضْغُ لِطِفْلٍ

“Dimakruhkan (bagi orang berpuasa) mencicipi makanan atau selainnya, karena hal tersebut bisa berpotensi membatalkan puasa. Dan (hukum makruh) ini apabila tidak ada kebutuhan (hajat). Sedangkan juru masak, baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak makruh baginya untuk mencicipi makanan, sebagaimana tidak dimakruhkan mengunyah (makanan) untuk anak kecil.” [2]

Wallahua’lam


[1] (Syekh Abul Hasan, Syarh Shahihil Bukhari, [Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd: 2003], juz IV, halaman 58).

[2] (Sulaiman Al-Makki, At-Tsimarul Yani’ah fir Riyadhil Badi’ah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah], halaman 157).


Ditulis oleh Faizal Amin, Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari