sumber foto hujan : http://solo.tribunnews.com

Oleh: Hilmi Abedillah*

Hujan menjadi kosakata puitis dalam karya sastra, terutama bagi mereka yang menyimpan memori kenangan di dalamnya. Sebut saja Hujan oleh Tere Liye, Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono, Hujan Kepagian oleh Nugroho Notosusanto, dan masih banyak lagi. Barangkali karena memiliki keistimewaan, muda-mudi membuat syair dengan latar belakang hujan: rintik gerimis maupun derasnya. Ternyata, Rasulullah juga pernah mengibaratkan umatnya dengan hujan.

Beliau bersabda:

أُمَّتِيْ كَالْمَطَرِ لَا يُدْرَى أَوَّلُهَا خَيْرٌ أَمْ آخِرُهَا

“Umatku laksana hujan, tidak diketahui yang baik itu awalnya ataukah akhirnya.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hujan yang turun ke bumi tidak selamanya baik bagi kelangsungan hidup manusia. Di kemarau yang berkepanjangan, saat sumur ladang mengering, hujan sangat diharapkan. Air sebagai sumber kehidupan memberikan energi bagi semua makhluk hidup. Namun tak jarang, hujan yang terlalu lama mengakibatkan banjir yang merugikan infrastruktur dan perekonomian. Bahkan, bisa menyebabkan nyawa melayang. Oleh karena itu, kita sering berdoa, “Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai rahmat dan berkah.”

Umat Muhammad, bisa jadi baik awalnya, bisa jadi akhirnya. Dari segi amal perbuatan, ucapan, maupun pengorbanan. Allah tidak menentukan pemberiannya kepada suatu zaman dengan mengesampingkan zaman yang lain. Banyak ditemukan di zaman akhir orang-orang yang lebih baik daripada zaman awal, seperti ulama-ulama yang senantiasa terang-terangan di jalan kebenaran, para wali, dan orang-orang saleh. Karena merekalah cobaan kepada umat manusia dihentikan dan dari mereka keberkahan tercurah. (Dalilul Falihin, I, 368)

Abu Ubaidah sempat protes kepada Nabi, “Adakah yang lebih baik dari kami (para sahabat) padahal kami berislam dan berhijrah bersamamu?” Nabi menjawab, “Suatu kaum setelah kalian yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku.” (Subulus Salam, IV, 127)

Sekilas, hadis ini bertentangan dengan hadits lain yang berbunyi:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ

“Sebaik-baik manusia adalah masaku (yaitu para sahabat).”

At-Turibisyti berpendapat bahwa hadis ini tidak berisi keraguan. Jelas masa sahabat lebih mulia daripada masa setelahnya. Kemuliaan sahabat disebabkan karena aspek masa hidup. Sudah jelas bahwa orang tua lebih mulia daripada anak muda. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘lebih baik’ pada hadis pertama ialah peran mereka dalam menyebarkan syariat Islam. (Tuhfatul Ahwadzi, VIII, 138; Bahrul Fawaid, 489)

الْفَضْلُ لِلْمُبْتَدِيْ وَإِنْ أَحْسَنَ الْمُقْتَدِيْ

“Kemuliaan bagi mereka yang memulai, sekalipun pengikutnya lebih baik.”

Ada juga yang mengartikan ‘umat’ dengan pengertian sempit, yakni umat masa sahabat, bukan umat keseluruhan. Jadi, tidak diketahui mana yang lebih baik, sahabat awal ataukah sahabat akhir. Ini dianalogikan dengan ucapan, “Baju ini bagus depannya atau belakangnya.” Itu berarti perbandingan antara depan dan belakang dalam satu baju, bukan dengan baju yang lain. (Ta’wil Mukhtalaf Hadits, 115)

Pada akhirnya, hadis ini menjelaskan tentang peran masing-masing umat. Semua umat mempunyai peran, hanya saja tidak diketahui mana yang lebih baik. Bahkan, hujan yang berbahaya pun memberikan manfaat bagi pertumbuhan. Tinggal bagaimana kita sebagai umat memberikan peran signifikan dalam menyebarkan Islam. Sehingga bumi ini tidak hanya subur oleh air hujan, tetapi juga oleh budi pekerti ajaran.


*Redaktur Majalah Tebuireng