Buku Anak Asuh Bernama Indonesia
Buku Anak Asuh Bernama Indonesia

Bagi saya, Cak Nun yang memiliki nama lengkap Muhamamd/Emha Ainun Nadjib merupakan sosok budayawan, cerdik cendekia, intelektual muslim sekaligus ulama. Ulama yang dimaksud bukanlah ulama dengan kontribusi besar terhadap peradaban Islam dunia, melainkan dalam wilayahnya sendiri, dalam hal ini, orang-orang di lingkungan Cak Nun, yang kemudian melebar pada warga bangsa Indonesia, dengan jamiyah maiyyahnya.

Belakangan berita tentang Cak Nun yang tengah dirawat menjadi trending topik di jagat twitter. Dikabarkan bahwa Cak Nun atau Mbah Nun tengah dirawat di RSUP Dr. Sardjito, DIY, dan masih menjalani perawatan usai tak sadarkan diri sesaat setelah bangun tidur pada Kamis pagi, 6 Juli 2023. Setelah menjalani pemeriksaan, medis mendianosa bahwa Cak Nun mengalami pendarahan otak karena kelelahan dan riwayat stroke. Sampai saat ini, beberapa petinggi dan pejabat hingga presiden dan wakil presiden negara mengunjungi serta mendoakan untuk kesembuhan Cak Nun.

Dalam tulisan ini saya ingin berbagi tentang perspektif dalam sebuah karya Cak Nun yang berjudul “Anak Asuh bernama Indonesia”. Buku bersampul ikonik yang mengandung hawa mistis tersebut memiliki makna yang cukup dalam dan misteristik. Membaca judulnya sendiri membuat beberapa orang lekas menangkap isinya, membahas tentang kondisi bangsa dan tingkah laku beberapa masyarakatnya disertai beberapa kritik tak langsung, yang tentunya juga berkaitan dengan ranah keagamaan.

Mengandung Makna Sufistik

Tulisan ini pun rupa-rupanya mengandung maksud sufistik meski tidak dipaparkan dengan gamblang. Dalam hal ini Cak Nun seakan membuat cerita pada umumnya, namun terkesan muter-muter yang mana diselingi dengan kisah-kisah dari pengalaman pribadi maupun pandangan Cak Nun sendiri, yang beliau analogikan dengan seorang tokoh bernama Markesot yang mencari guru bernama Kiai Sudrun untuk belajar kesejatian hidup. Akan tetapi, sufistik di sini menjadi pengantar pemahaman berdasarkan pengalaman orang-orang yang sejatinya berperan dalam perjalanan bangsa namun tidak terekspos publik.

Di awal cerita Cak Nun sudah membukanya dengan kerendahan hari bahwa dia siap menerima semua limpahan beban hidup dan rela hancur demi keselamatan bangsa. Lalu menganalogikan peristiwa-peristiwa terkait dunia politik yang penuh intrik dan siasat dalam menggilas lawan main. Pencarian makna diri melalui apa yang kita pahami untuk pegangan hidup dan landasan berpikir seperti keterkaitan antara Pancasila dan rukun Islam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam hal ini amat menarik karena memang keterkaitan Pancasila dengan Islam adalah sangat erat sekali. Karena bangsa kita sendiri sejatinya lahir dari sumbangsih para pemikir merangkap ulama, atau ulama merangkap pemikir yang mendesain Indonesia sedemikian rupa, dengan tidak kehilangan jejaknya, namun ditopang prinsip tauhid yang dapat menjadi tembok kukuh untuk melindungi bangsa Indonesia, baik dalam konteks lahir maupun bathin, yang menjadi dasar perilaku umat yang beretika dan beradab.

Mengolah dan Membentengi Diri

Buku ini sendiri merupakan kumpulan artikel-artikel Cak Nun yang beliau sebut dengan Daur. Menurut Helmi Mustofa selaku sekretariat Cak Nun dan Kiai Kanjeng, tulisan ini berisi renungan, apresiasi, penemuan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kehidupan, serta mengasah diri agar bersikap peka terhadap keadaan lingkungan sekitar. Sedangkan bagi Cak Nun, buku ini merupakan upaya pengembalian mata kita dari jeratan materialisme, dalam artian menjernihkan dan membuka selebar-lebarnya cara berpikir serta fokus pandangan sehingga tidak hanya berkutat pada materi. Materi yang dimaksud ialah segala hal yang berkaitan dengan hal-hal duniawi yang seringkali membuatakan.

Hal ini bisa kita baca melalui kegetiran Cak Nun akan penjajahan, tipu daya, pembodohan dan peminggiran peran yang dilakukan sedemikain mulusnya sehingga abai disadari oleh masyarakat. Seakan-akan mempengaruhi manusia dan adu domba adalah hal yang membuat diri sulit dibentengi dari hiruk-pikuk duniawi, padahal semuanya tidak dibawa mati. Karenanya penting bagi setiap orang bahwa apa pun yang kita dapat sejatinya fana, sehingga ketika telah mendapat pencerahan tersebut kita tidak berlaku immoril yang acapkali menindas dan memperbudakkan manusia lainnya, atau bahkan lupa bahwa semuanya hanya materil yang sifatnya titipan sehingga membuat kita merasa di atas segalanya dan berlaku semena-mena.

Mengasah Kepekaan terhadap Kondisi Bangsa

Hara-huru politik, tragedi kemanusiaan, atau penindasam seringkali timbul dari sebab keangkuhan diri yang kemudian berbuat aniaya dengan memperdaya Tuhan, memanipulasi, memperalat, hingga dijadikan profesi kepentingan pribadi yang berakibat meracuni jiwa. Adakalanya sikap merasa tersebut berimbas pada ketidakadilan hukum yang bisa memutarbalikkan fakta, atau menghakimi sepihak tanpa mau melihat variabel kebenaran. Takut terhadap ketidakbenaran yang sering dikambinghitamkan sehingga mengebiri diri dalam keburukan, yang mana kaitannya adalah kesalahpahaman menangkap maksud kata-kata yang menjadi suluh api terjadinya pertengkaran, debat dan pertentangan tiada akhir.

Semuanya adalah sikap, yang kata Cak Nun kelak akan ada balasannya atau akan melihat hasil perbuatannya di akhirat kelak dengan balasan setimpal dan seadil-adilnya seperti janji Tuhan dalam Khairan Yaroh Syarron Yaroh. Maka, ketika kita sudah memahami tentang sebab-akibat tersebut, kita dapat mengasah, minimalnya, diri kita sendiri agar sekalipun tidak bisa bebuat baik atau menyenangkan orang banyak, minimal kita tidak bebuat aniaya.

Memanusiakan Manusia

Cak Nun menggagas tokoh Markesot sebagai tokoh yang kurang beruntung dan tidak mendapat tempat di kehidupan, juga orang yang menjalani keadaan dan potret kehidupan orang-orang biasa, yang menjadi pemilik dari Universitas Patang Puluhan berisi 40 orang laki-laki yang tengah belajar meniadakan diri dari sikap materialistik seperti yang dimakud di atas. Dalam keheningan tempat kumuh, gelap dan terpencil itu mereka dididik berpikir kritis melalui diskusi perihal memanusiakan manusia atau memberi kebebasan dan tidak menjerat dengan aturan-aturan yang menyulitkan.

Mereka diajarkan terkait poros nasib yang memutar hidup dari manusia beruntung menjadi manusia buntung atau adakalanya di atas adakalanya di bawah, selain itu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pun diperhitungkan termasuk di dalamnya orang dengan orientasi kelamin berbeda seperti khuntsa atau orang-orang berkelamin ganda. Bagi mereka, meninggikan hak kemanusiaan dapat dijadikan landasan tauhid bahwa semua yang ada dan tercipta bersifat fana yang akan kembali pada Tuhan, kemudian menjadi pemahaman mendalam tentang praktik keagamaan yang tidak timpang sebelah.

Dalam hal ini mereka juga merasa miris ketika agama dijadikan pakaian untuk pencurian dan penipuan atau para pemuda-pemudi yang fakir mental. Mengkiblatkan diri pada dunia maya atau meminggirkan peran budaya lokal dengan kajian riset ilmiah. Tetapi, mereka menguatkan diri, “Hanya Allah, selebihnya dongeng,” kata Markesot menghibur murid-muridnya.

Dari sanalah orang-orang itu mendapat pengalaman spiritual dan mistis yang menuntun mereka untuk saling mencintai perbedaan dan menikmati setiap masalah yang ada, “Karena semua masalah dapat dijadikan bahan bakar untuk enegri positif yang bisa kau sebar ke seantero bumi yang bisa digunakan orang untuk bangkit dan bergerak membangun hari esok.”

“Dunia bukan tempat membangun, melainkan mencari. Membangunnya adalah di akhirat kelak,” kata Markesot. Yang rupanya, menimbulkan tanya pada benak orang-orang patangpuluhan, karena seringnya Markesot lebih membicarakan rakyatnya, bukan negara atau pemerintahnya.

“Maklum,” kata Mereka. “Markesot sering merasa khawatir sendiri akan kedaruratan dunia dan manusia, padahal dunianya tak kurang suatu apapun. Damai dalam tidur nyenyaknya.”

Dengan demikian, kita hanya bisa berikhtiar agar negara dan bangsa ini dilindungi Tuhan, tidak takut pada Dajjal, iblis dan sejenisnya atau butuh datangnya Satria Piningit maupun Imam Mahdi, “Karena dipimpin langsung oleh Tuhan,” pungkasnya. Sebab Tuhan telah mengatur segalanya mulai dari makaarimul akhlak hingga up to date mental.


Judul Buku Anak Asuh Bernama Indonesia
Penulis   Emha Ainun Nadjib
Penerbit Bentang Pustaka
GenreSosial-Budaya
Tahun Terbit2017
Tebal394 Halaman
ISBN978-602-291-391-9
PengulatShella Carissa