
Kewajiban Bertalaqqi dan Musyafahah dalam Belajar Al-Qur’an
Langkah pertama yang harus diusahakan dan diupayakan, agar mampu membaca Al-Qur’an secara baik dan benar adalah bertalaqqi dan musyafahah, yaitu membacakan Al-Qur’an mulai dari surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas dihadapan guru Al-Qur’an. Di mana sangat dianjurkan agar bertalaqqi dan musyafahah dengan guru Al-Qur’an yang mempunyai sanad bacaan Al-Qur’an, yang bersambung sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa Sallam, bertalaqqi dan musyafahah langsung dengan malaikat Jibril ‘alahi sallam. Kemudian Rasulullah mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat, para sahabat mengajarkan Al-Qur’an kepada para tabi’in, para tabi’in mengajarkan Al-Qur’an kepada tabi’in tabi’in dan seterusnya sampailah kepada generasi kita saat ini.
Langkah kedua adalah berusaha dan berupaya menguasai beberapa ilmu terkait dengan bacaan Al-Qur’an, yaitu ilmu tajwid, ilmu qira’at, ilmu rams Utsmani, dan menguasai salah satu periwayatan bacaan Al-Qur’an, yang mana secara mayoritas di Indonesia berdasarkan bacaan Al-Qur’an riwayat Hafsh ‘an ‘Ashim thariq Syathibiyyah.
Pertama, berusaha menguasai ilmu tajwid, yaitu sebuah ilmu terkait dengan tatacara membaca Al-Qur’an, khususnya menguasai beberapa hukum pokok yang langsung berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an. Di antara materi pokok yang berkaitan langsung dengan bacaan Al-Qur’an adalah menguasai dan memahami huruf hijaiyah dan rumus tanda baca bagi para pemula, dilanjutkan dengan memahami dan menguasai bacaan panjang sederhana.
Kemudian masuk pada 11 materi utama pendukung bacaan Al-Qur’an, bilamana mengacu kepada salah satu metode membaca Al-Qur’an – BBQ (Bersahabat Bersama Al-Qur’an) Metode As-Surasmaniyyah buah karya Dr. H. Otong Surasman, M.A. Materi utama tersebut secara berurutan – Gunnah, Idgham Mitslain, Ikhfa’ Syafawi, Iqlab, Idgham Bighunnah, dan Ikhfa’ terkait bacaan dengung 2 harakat. Kemudian Mad Thabi’i, Mad Wajib Muttashil, Mad Jaiz Munfashil, Mad ‘Aridl lis Sukun, dan Mad Lazim terkait dengan bacaan panjang.
Baca Juga: Membaca Tafsir Berdasarkan Tema Pokok Al-Qur’an
Ilmu Qira’at adalah salah satu cabang ilmu terkait dengan bacaan Al-Qur’an, di mana secara umum dan mayoritas bahwa bacaan Al-Qur’an yang berkembang di Indonesia berdasarkan qira’at Imam ‘Ashim (Abu Bakar ‘Ashim bin Abu An-Najud Al-Asadiy Al-Kufi) melalui riwayat Imam Hafsh (Abu Umar Hafsh bin Sulaiman bin Al-Mughirah bin Abi daud Al-Asadiy Al-Kufi), baik dalam thariq Syathibiyyah maupun thari Jazariyyah.
Salah satu contoh ilmu qira’at yaitu pada bacaan maliki surah Al-Fatihah ayat 4 “Maliki Yau Middiin”- berdasarkan ilmu qira’at terdapat dua cara membaca dan keduanya mutawatir – sanadnya bersambung sampai Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam. Yang pertama membaca maliki pendek, yaitu Imam Nafi’, Imam Abu Amr, Imam Ibnu Amir, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Hamzah. Yang kedua membaca maliki panjang dua harakat, yaitu Imam ‘Ashim dan Imam Al-Kisai.
Ilmu Rams Utsmani adalah sebuah ilmu yang terkait dengan tulisan bacaan Al-Qur’an atau mushhaf Al-Qur’an, di mana para pembaca sudah selayaknya mengetahui dan memahami mushhaf Al-Qur’an yang dibacanya. Sehingga muncul pernyataan, bahkan merupakan ijma’ ulama ketika konferensi Islam di Mesir 1984, bahwa umat Islam sangat dianjurkan agar dalam membaca Al-Qur’an menggunakan mushhaf Al-Qur’an Rams Utsmani. Anjuran menggunakan mushhaf Al-Qur’an Rasm Utsmani pada dasarnya ingin menjaga keutuhan tulisan Al-Qur’an, di mana kalau diteliti secara seksama tulisan Al-Qur’an mulai dari zaman Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam sampai saat ini, hurufnya tidak ada perubahan, yang berubah tanda bacanya.
Periwayatan bacaan Al-Qur’an merupakan satu paket bacaan Al-Qur’an, yang didasarkan pada riwayat bacaan Al-Qur’an, di mana yang tersebar di seluruh dunia, khususnya di Indonesia adalah berdasarkan bacaan Al-Qur’an riwaayat Hafsh ‘an ‘Ashim thariq Syathibiyyah. Di mana para pembaca Al-Qur’an sangat dianjurkan untuk menguasai periwayatan bacaan Al-Qur’an ini, mulai dari sisi bacaan dengung dan bacaan panjang, kemudian bacaan gharibah terdapat bacaan Isymam, Saktah, Tashil baina baina ma’al ghair idkhal, Imalah dan lain-lainnya (Lihat BBQ Al-Qur’an Metode As-Surasmaniyyah, 221, 2021).
Di sinilah terlihat pentingnya untuk bertalaqqi dan musyafahah dalam kegiatan belajar membaca Al-Qur’an, agar mampu membaca Al-Qur’an secara baik dan benar, berdasarkan periwayatan bacaan Al-Qur’an, yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam. Berapa banyak umat Islam saat ini, yang tidak mengenal dan mengetahui periwayatan bacaan Al-Qur’an, sehingga dengan tulisan ini menambah cakrawala, agar umat Islam melek Al-Qur’an.
Upaya Maksimal Mampu Membaca Al-Qur’an Secara Baik dan Benar
Sebuah istilah mampu membaca Al-Qur’an secara baik dan benar, merupakan istilah yang harus dipahami oleh umat Islam secara luas, bukan hanya terkait bacaan Al-Qur’an semata, melainkan berupaya dan berusaha memahami isi kandungan Al-Qur’an yang dibacanya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala surah Al-Muzzammil/73 ayat 4,
وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا
Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (Q. S. Al-Muzzammil/73: 4).
Kebanyakan umat Islam memahami perintah ayat di atas, hanya terkait dengan bacaan Al-Qur’an saja. Akan tetapi, yang sebenarnya terkait dengan bacaan Al-Qur’an dan pemahaman terhadap isi kandungan Al-Qur’an. Hal ini mengandung arti bahwa umat Islam harus berusaha agar mampu membaca Al-Qur’an secara baik dan benar, juga memahami isi kandungan Al-Qur’an yang dibacanya. Sehingga sangat dianjurkan, agar dalam mempelajari Kitab Suci Al-Qur’an menggunakan kurikulum yang lebih lengkap, baik dari sisi bacaan Al-Qur’an, maupun mempelajari isi kandungan Al-Qur’an.
Baca Juga: Peranan Wahyu Pertama dan Terakhir dalam Kehidupan Umat Islam
Perhatikan beberapa pendapat ahli tafsir berikut, memberikan informasi terkait dengan perintah bacalah Al-Qur’an itu dengan “Tartil”.
Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam karyanya “Shafwah at-Tafaasir”, memberikan penjelasan: “Iqra’ul Qur’an atsna’ qiyaamik fii al-Laiil qiraa’atun tasbutu watuadatun watamahhalun liyakuuna ‘aunan laka ‘alaa fahmi Al-Qur’an watadabburihi – Bacalah Al-Qur’an itu sepanjang engkau berdiri di waktu malam (tahajjud) dengan bacaan yang mantap, sikap waspada, pelan-pelan supaya membantu engkau dapat memahami isi kandungan Al-Qur’an dan merenungkannya (Ash-Shabuni, 465: 1999).
Berkata Al-Khazin: “Ketika Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan untuk melaksanakan shalat malam dengan disertai membaca Al-Qur’an dengan tartil bertujuan agar mushalli (orang yang shalat) dapat menghadirkan hati, berpikir, merenungkan kebenaran ayat dan makna Al-Qur’an. Ketika sampai pada ayat tentang perintah berdzikir kepada Allah hatinya merasa sedang mengagungkan Allah Yang Maha Agung.
Pada ayat janji dan ancaman muncul perasaan harap dan takut, pada ayat yang mengandung kisah-kisah dan perumpamaan dijadikan i‘tibar (pelajaran) maka hatinya diterangi dengan cahaya ma’rifatullah. Maka tampaklah bahwa yang dimaksud dengan membaca Al-Qur’an dengan tartil adalah menghadirkan hati ketika membaca Al-Qur’an (Ash-Shabuni, 465: 1999).
Wahbah Mushthafa Az-Zuhaili dalam karyanya “At-Tafsiir Al-Washiith” memberikan uraian: ”Iqra’ul Qur’an ‘alaa tamahhulin ma’a tabyiini huruufi liyakuunan ‘aunan ‘alaa fahmi Al-Qur’an watadabburihi – Bacalah Al-Qur’an itu dengan pelan-pelan serta memperjelas pengucapan huruf-hurufnya, memperbagus makhrajnya, memperjelas waqaf ibtida’nya (berhenti dan memulai) agar membantu pemahaman terhadap bacaan Al-Qur’an dan merenungkan maknanya (Az-Zuhaili, 2760: 2000).
Muhammad Al-Qurthubi dalam karyanya “Al-Jami’ li-Ahkam Al-Qur’an” memberikan penjabaran: “Laa ta’ajala biqira’ati Al-Qur’an bal iqra’uhu fii mahalin wabayaanin ma’a tadabburil ma’aanii – Janganlah engkau membaca Al-Qur’an dengan cepat-cepat, tetapi bacalah Al-Qur’an itu dengan pelan-pelan dan jelas disertai perenungan terhadap kandungan maknanya (Al-Qurthubi, 34: 2002).
Muhammad Asy-Syaukani dalam karyanya “Fath Al-Qadiir” memberikan keterangan: “Iqra’ul Qur’ana ‘alaa mahalin ma’a tadabburin – Bacalah Al-Qur’an dengan perlahan-lahan disertai perenungan (Asy-Syaukani, 376: 1992).
Dari beberapa pendapat ahli tafsir di atas, dapat dipahami bahwa membaca Al-Qur’an dengan tartil itu bukan sekedar membaca semata, akan tetapi dengan bacaan yang baik dan benar, disertai dengan pemahaman, perenungan terhadap isi kandungan Al-Qur’an yang dibacanya. Oleh sebab itu, umat Islam harus berupaya dan berusaha agar mampu membaca Al-Qur’an secara baik dan benar, sesuai dengan salah satu periawayatan bacaan Al-Qur’an, juga memahami isi kandungan Al-Qur’an dibacanya.
Baca Juga: Kemudahan Mempelajari dan Mengamalkan Isi Kandungan Kitab Suci Al-Qur’an
Upaya dan usaha agar mampu membaca Al-Qur’an secara baik dan benar, maka umat Islam wajib bertalaqqi dan musyafahah, membacakan Al-Qur’an dihadapan guru Al-Qur’an, yang mempunyai sanad bacaan Al-Qur’an, minimal seumur hidu sekali, walaupun pada kenyataannya tidak cukup satu kali khatam, melainkan beberapa kali khatam. Karena hal ini perlu ketekutan, istiqamah dan perjuangan yang sungguh-sungguh dalam mempelajari kitab suci Al-Qur’an. Sehingga wajar Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam memberikan predikat kepada orang yang istiqamah membaca Al-Qur’an sebagai ahlullah fid-Dunya – ahli Allah di dunia.
Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam menjelaskan dalam sebuah riwayat: “Inna haadzaa Al-Qur’an ma’dubatullah fata’alamuu min ma’dubatihi mastatha’tum – sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarailah hidangan Allah sesuai dengan kemampuanmu (HR. Muttafaqun ‘alaih – lihat Otong Surasman, Jadikanlah Al-Qur’an Teman Hidup, 46: 2004).
Kemudian berusaha memahami isi kandungan Al-Qur’an, sehingga sempurnalah bahwa perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surah Al-Muzzammil/73 ayat 4 satu kesatuan utuh, yaitu mampu membaca Al-Qur’an secara baik dan benar, disertai pemahaman dan perenungan terhadap isi kandungan Al-Qur’an yang dibacanya.
Penulis: Dr. H. Otong Surasman, MA. Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta, alumni Pesantren Tebuireng.