
Pengertian fikih;[1] al-‘ilmu bil al-ahkam asy-syar’iyyah al-‘amaliyyah al-muktasab min adlillatiha al-tafshuliyyah (pengetahuan akan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aktivitas manusia dari penggalian dalil yang bersifat spesifik) secara tidak langsung menunjukkan bahwa fungsi utamanya adalah menjadi pedoman untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat. Dari situ dapat kita ketahui, fikih tidak sekadar membicarakan peribadatan, melainkan juga interaksi sosial termasuk dalam berindustri.[2]
Fikih dan industri adalah dua kata yang masih memiliki kesinambungan. Industri sebagai salah satu aktivitas manusia, sedangkan fikih adalah aturan syariat yang menjaga aktivitas tersebut agar tetap pada jalur positif. Salah satu bukti bahwa fikih juga masuk dalam bidang industri adalah adanya pembahasan (mungkin cukup familiar) menjual perasan anggur kepada pihak yang akan menjadikannya bahan baku khamr.[3]
Selain itu, hadis Nabi Muhammad Saw.; “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memasukkan ke dalam surga dengan satu anak panah tiga orang: pembuatnya yang mengharap pahala dalam pekerjaannya, orang yang mempersiapkannya di jalan Allah, dan orang yang memanahkanya di jalan Allah” (HR. Baihaqi). Redaksi shani’uhu (pembuat anak panah) menunjukkan aktivitas industri dan Nabi yang notabene pembawa syariat memperhatikan hal tersebut. Ini kiranya sangat cukup sebagai bukti bahwa fikih juga masuk ke ranah industri.
Industri Menurut Ahli Fiqih
Syaikh Muhammad bin Shalih bin Ali Bafadhal (salah satu tokoh yang berhasil merumuskan fikih industry) mengatakan bahwa para fuqaha tidak menjadikan industri sebagai bab tersendiri dalam kitab-kitab fikih. Sehingga sulit untuk mengetahui sudut pandang mereka secara spesifik tentang definisi industri. Meski demikian, setelah melalui beberapa penelusuran, terdapat beberapa fuqaha yang menyinggung sedikit perihal definisi industri, seperti Imam Al-Qulyubi. Beliau mengatakan, “الصناعة ما كانت بألة” yang artinya “Industri adalah produksi yang hanya terbatas pada proses manual”.[4]
Dalam redaksi lain juga disebutkan, “الصناعة المزاولة اليدوية لإيجاد الأشياء” yang artinya “Industri adalah proses yang dilakukan secara manual untuk menghasilkan suatu benda”.[5] Namun, pengertian tersebut kemudian mengalami perubahan dengan menyertakan proses menggunakan teknologi, mengingat adanya perkembangan zaman. Dalam risalah yang berjudul “Dhawabith at-Tashni’ wa Madiyyi Tadkhulu fi Nasyath as-Shina’i fi Fiqhi Islami”, dijelaskan, “الصناعة عملية تحويل المواد الأولية الخام من حقيقة الى حقيقة سواء أكان التحويل يدويا أو آليا” yang artinya “Industri adalah proses mengubah bahan mentah dari suatu keadaan menjadi keadaan lain, baik perubahan tersebut dilakukan secara manual maupun mekanis”
Dari beberapa pengertian tersebut, Syaikh Muhammad bin Shalih bin Ali Bafadhal lebih cenderung pada pengertian yang menyertakan proses mekanis. Hal ini dikarenakan pada masa para fuqaha terdahulu, tidak terdapat proses mekanis sehingga definisi mereka terbatas pada proses manual. Maka, tepat kiranya memasukkan proses mekanis ke dalam definisi industri mengingat keadaan sekarang yang sudah serba canggih.[6]
Pengertian dan Ruang Lingkup Fikih Industri
Berdasarkan pemahaman para fuqaha dan perkembangan zaman, fikih industri dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu fikih yang mempelajari hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan segala aktivitas produksi barang atau jasa, mulai dari pengolahan bahan mentah hingga distribusi produk akhir. Cakupan fikih industri sangat luas dan mencakup berbagai aspek, antara lain:
Pertama, hukum-hukum terkait bahan baku, seperti kehalalan bahan baku yang digunakan dalam proses produksi. Kedua, hukum-hukum terkait proses produksi, seperti penggunaan teknologi dalam proses produksi, termasuk pemanfaatan energi dan sumber daya alam, kualitas produk yang dihasilkan (termasuk standar keamanan dan kesehatan), serta hak-hak pekerja dalam industri (seperti upah yang layak dan kondisi kerja yang aman). Ketiga, hukum-hukum terkait distribusi produk, seperti pemasaran produk (termasuk penentuan harga dan promosi), persaingan usaha yang sehat dan adil. Keempat, hukum-hukum terkait keuangan dalam industri, seperti pembiayaan industri (termasuk penggunaan modal dan pinjaman), pembagian keuntungan dan kerugian dalam perusahaan, serta pajak dan zakat yang terkait dengan kegiatan industri.
Paradigma Fikih Industri
Paradigma fikih industri melihat hukum asal sesuatu adalah legal (al-ashlu al-ibahah) dan indikator-indikator keharaman. Indikator tersebut bisa berupa hal yang bersifat esensial atau tidak. Secara garis besar, indikator tersebut diklasifikasikan menjadi tiga: nahi fi zati (larangan syariat yang bersifat esensial), nahi li amri ai-kharij lazim (larangan syariat yang karena faktor eksternal yang mengikat) dan nahi li amri ai-kharij ghairu lazim (larangan syariat yang karena faktor eksternal yang tidak mengikat). Ketiga jenis larangan di atas semuanya mengarah kepada keharaman, meskipun secara spesifik terdapat perbedaan.[7]
Satu contoh adalah industri mie instan. Untuk menelusuri legalitasnya secara syariat, perlu dilakukan penelusuran apakah ada dalil yang mengharamkan. Jika tidak ada, langkah selanjutnya adalah mencari faktor eksternal yang menyebabkan haram seperti hukum dari bahan baku dan bahan sekunder yang digunakan, bahkan bahan pengemasan.
Penelusuran dan pengecekan ulang ‘illat (indikator hukum) juga menjadi unsur penting dalam fikih industri. Hal ini karena ‘illat terkadang hilang berserta perkembangan zaman dan perubahan adat. Misalnya, dulu slametan diadakan untuk menyembah roh leluhur. Maka ini adalah haram karena ada ‘illat (indikator hukum) musyrik. Namun, seiring berkembangnya zaman, slametan ternyata diadakan untuk bentuk tasyakuran kepada Allah SWT. Maka yang asalnya haram bisa menjadi mubah karena ‘illatnya berubah.
Kesimpulan
Fikih industri adalah cabang ilmu fikih yang mempelajari hukum-hukum Islam dalam konteks aktivitas produksi. Paradigma fikih industri menekankan pada pentingnya penelusuran indikator keharaman dan pengecekan ulang ‘illat (indikator hukum) untuk menentukan kehalalan suatu produk atau aktivitas. Meskipun tidak menjadi bab tersendiri dalam kitab-kitab fikih klasik, fikih industri memiliki relevansi yang tinggi dalam kehidupan modern dan perlu untuk dirumuskan menjadi satu disiplin ilmu Dengan memahami prinsip-prinsip fikih industri, umat Islam dapat berkontribusi dalam membangun perekonomian yang kuat, adil, dan berkelanjutan.
Baca Juga: Sumber Referensi Hukum Berindustri dalam Agama Islam
[1] Asyatha, Abu Bakar, I’anah at-Thalibin, (Jakarta: Dar al-Kutub Al-Islamiyah: 2009), Juz. 1, hal. 29.
[2] Ali Bin Muhammad Al-Jarzani, Kitab Al-Ta‟rifat (Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyah: 1983), hal. 168.
[3] Almalibari, Zainudin, fath al-Mu’in, (Beirut: Dar Ibnu Hazm: tt.), hal. 326
[4] Salih bin Ali Bafadhal, Ahkam at- Tasni’, (Damaskus: Resalah, 2015), hal. 28.
[5] Qalʻahʹjī, Muḥammad Rawwās, Mu’jam Lughat al- Fuqaha’, tt, hal. 277.
[6] Salih bin Ali Bafadhal, Ahkam at- Tasni’, (Damaskus: Resalah, 2015), hal. 29.
[7] Almahalli, Jalaludin, Syarh al-Waraqat, (Palestina: Jami’ al-Qudsi; 1999), hal, 177