
Hari yang telah lama ditunggu akhirnya tiba. Seluruh mahasiswa siap dengan tiket mereka, baik tiket kereta maupun pesawat. Namun, tidak demikian dengan aku. Tentu saja, rumah aku tidak jauh dari kampus tercinta ini, tetapi itu bukanlah masalah utamanya. Berbeda dengan teman-teman yang sudah siap dengan berbagai rencana liburan mereka, aku justru dilanda kegundahan, memikirkan keputusan yang baru saja aku buat.
Sejak dua minggu sebelum liburan tiba, ibu sudah menanyakan, “Kamu mau pergi kemana saat liburan?” Bukannya apa-apa, dua kali liburan sebelumnya, aku selalu mengajukan tanggal dan tempat untuk bermain bersama teman-teman. Dengan demikian, aku seolah-olah sudah mengajukan izin jauh-jauh hari sebelum liburan dimulai. Namun, kali ini aku tidak melakukannya. Ibu pun merasa ada yang aneh, mengapa aku tidak lagi mengajukan izin seperti biasa.
Hari itu, sore yang cerah, terdengar suara bel mobil dari kejauhan. Sebuah tangan kecil menjulur dari jendela mobil, dan aku segera mengenalinya. Tiba hari ini, kedua orang tua aku datang menjemput aku dari asrama. Sudah dua tahun aku tinggal di asrama ini, dan ini adalah libur keempat kalinya aku masih dijemput orang tua. Bagaimanapun juga, anak perempuan akan selalu tampak seperti anak kecil di mata orang tuanya. Namun, kali ini aku bukan dijemput untuk pulang. Aku dijemput untuk pindah ke ma’had yang akan aku tempati dua minggu ke depan.
“Selamat berjuang, ya, putri kecil. Jangan menangis karena penyesalan yang baru,” begitu pesan ibu.
Kini, saat aku kembali membaca tulisan ini, banyak kenangan yang muncul di benak aku. Aku teringat pada berbagai hal yang aku dapatkan selama dua minggu di sana. Begitu sabarnya beliau, guru aku, yang dengan penuh perhatian membimbing aku dalam memperbaiki diri.
Aku sering menangis, bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa baru sekarang? Seharusnya aku malu. Malu dengan keterlambatan ini.” Kalimat itu selalu keluar setiap kali aku merasa kecewa dengan diri sendiri, setiap kali aku berusaha keras untuk membaca dan memahami satu per satu kalimat yang harus aku pelajari.
Sesekali, aku melihat teman-teman aku yang begitu lancar dalam menambah hafalan atau menyempurnakan muroja’ah mereka. Aku hanya bisa terdiam, merasa cemas dan menyesali setiap detik waktu yang telah berlalu. Aku maki diri aku sendiri, merasa seperti telah membuang-buang waktu.
Namun, meski begitu, aku merasa ada keindahan tersendiri dalam proses yang sedang aku jalani ini. Aku sering merenungi penyesalan, tetapi Tuhan selalu memberikan kemudahan di balik kesulitan. Ketika aku merasa malu dan ingin menyerah, Tuhan menghadirkan sosok guru yang penuh kesabaran, yang tak henti-hentinya memberi nasihat dan dukungan untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Ya, bukan tanpa alasan aku tidak pulang ke rumah selama dua minggu liburan ini. Bukan karena aku tidak merindukan keluarga atau enggan bertemu dengan teman-teman lama. Tetapi, ada satu alasan yang membuat aku memilih untuk tetap di sini: aku sedang memperbaiki sesuatu yang telah aku kecewakan pada orang-orang yang aku akungi.
Aku merasa telah mengecewakan mereka, dan karena itu, aku memilih untuk tidak pulang sebelum aku bisa memperbaikinya. Aku lebih tidak siap kembali mengecewakan mereka daripada harus menanggung rasa malu saat memperbaiki diri.
Begitulah, perjalanan ini adalah tentang belajar, memperbaiki, dan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Aku tahu, jalan ini tidak mudah, tetapi aku yakin setiap langkah yang aku ambil akan membawa aku pada perbaikan yang lebih berarti.
Penulis: Zulfa Nuril