simbol NU (Nahdlatul Ulama).

Oleh: Yuniar Indra Yahya*

Kisah ini dituturkan oleh cucu KH. Ridwan Abdullah pencipta lambang NU, Gus Sholahuddin Azmi ibn KH. Mujib Ridwan ibn KH. Ridwan Abdullah, ketika diundang ceramah oleh RKH. Azzaim Ibrahim dalam acara Genduren Akbar 1 Abad NU. 

Berbicara tentang KH. Ridwan Abdullah, beliau merupakan salah satu muassis (pendiri) NU (Nahdlatul Ulama) yang jarang punya foto. Beliau bukan hanya sekadar pencipta lambang NU, tapi rumah beliau ditempati sebagai tempat berdirinya NU. Bahwa permintaan Kiai Hasyim untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura adalah berada di ndalem Kiai Ridwan. Yang saat itu dalam rangka acara Haul ke-1 KH. Kholil Bangkalan. 

Singkatnya, setelah NU berdiri—NU itu berdiri namanya dulu—belum punya simbol. Di periode awal berdirinya NU, muktamar itu setengah tahunan. Dari setengah tahun menjadi satu tahunan, kemudian menjadi 3 tahunan, menjadi 5 tahunan sampai sekarang. Ketika menjelang muktamar yang kedua tahun 1927, beliau bertiga; KH. Wahab Hasbullah, KH. Mas Alwi, dan KH. Ridwan Abdullah dipanggil Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Dulu mereka terkenal tiga serangkai, sama-sama bertemu ketika nyantri di Demangan, Mbah Kholil. Pada saat itu usianya masing-masing; Kiai Ridwan 40 tahun,  Kiai Wahab 37 tahun, Kiai Mas Alwi 35 tahun. 

Kiai Hasyim meminta dibuatkan simbol. “Wahab gaekno simbol NU, arep muktamar kapindo (Buatkan simbol NU, muktamar kedua akan dilaksanakan),” pinta Kiai Hasyim.  Mbah Wahab angkat tangan, “Ngapunten Yai, saya tidak sanggup.” Diserahkan ke Mas Alwi juga tidak sanggup. Padahal Mas Alwi itu adalah yang mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Setelah itu Kiai Ridwan menyanggupi. Apa pun yang diperintahkan Mbah Hasyim kepada Kiai Ridwan saat itu tidak pernah ditolak. “Tapi ada syaratnya, siji, ora oleh nyontoh gambar seng wes ono. Nomer loro syarate kudu haibah. (Ada syaratnya, pertama tidak boleh menyontek gambar yang sudah ada. Kedua harus punya haibah),” kata Kiai Hasyim kepada Kiai Ridwan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Apa Haibah yang dimaksud Mbah Hasyim ini? Ternyata Haibah yang dimaksud bahwa NU ini akan selalu up to date. “Buktinya, saya banyak berdiskusi dengan para ahli seni. Dan mereka mengacungi jempol terhadap simbol NU.” Kata Gus Sholahuddin Azmi—Cucu Kiai Ridwan ketika ceramah. 

Bahkan cerita ayah saya itu, di kamar Kiai Ridwan tidak boleh dimasuki siapa pun. Di dalam kamar sketsa gambar berserakan, juga puntung rokok sampai satu wadah roti wafer khong guan. Di tengah keputusasaan itu, beliau melakukan shalat istikharah. Karena waktu sudah sangat mepet dengan muktamar. 

Selesai shalat istikharah di tengah-tengah wiridan itu tasbihnya Kiai Ridwan masih berputar. Beliau kesliut. Di dalam kesliut itu lah beliau melihat bumi dikelilingi bintang 9. Lalu beliau menggambar sketsanya, dan melanjutkan wiridan hingga doa. Ada waktu menjelang Subuh saat itu tidur tidak mimpi apa-apa. Setelah shalat Subuh sketsa tadi disempurnakan. Pagi harinya dibawa ke Kiai Wahab di Kertopaten, Surabaya. 

Lalu langsung disowankan kepada Kiai Hasyim. Sampai di Tebuireng Kiai Hasyim langsung tanya, “Ridwan iki gambarmu dewe (Ridwan ini gambarmu sendiri)?”

“Sanes Kiai, niki hasil istikharah kulo. (bukan kiai itu hasil istikharah saya).” Kata Kiai Ridwan.

“Lek iki hasil istikharahmu aku percoyo Ridwan, lek gambarmu dewe ora percoyo aku. (kalau ini hasil istikharah saya percaya, kalau gambarmu sendiri tidak percaya).” kata Kiai Hasyim.

“Yowes aku setuju iki dadi simbole NU. Tapi aku njaluk tulung gambar iki konsultasino nak Kiai Nawawi Sidogiri. Sampaikan salamku aku wes setuju simbol iki. (Yasudah, saya setuju dengan simbol ini. Tapi saya minta simbol ini konsultasikan dengan Kiai Nawawi Sidogiri).”  Tambah Kiai Hasyim. 

Di Sidogiri juga gitu, sama Kiai Nawawi juga setuju, kalau Mbah Hasyim sudah setuju Kiai Nawawi juga setuju. “Tapi saya juga titip, ayat ini kalau dijadikan gambar itu seperti apa kira-kira. 

وَٱعۡتَصِمُوا۟ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِیعࣰا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ۚ 

Itu titipannya Kiai Nawawi Sidogiri.  Akhirnya, Kiai Ridwan pulang dan menyimbolkan ayat itu dengan gambar tali. Sesuai dengan habl yang berarti tali. 

Tapi belum memenuhi syarat haibah dari Kiai Hasyim. Akhirnya oleh Kiai Ridwan ditulislah di atas gambar bumi tulisan نهضة العلماء

Nah, lambang yang menggunakan bordil itu dijahit oleh Kiai Ridwan sendiri tanpa bantuan siapa pun. Kurang dua hari muktamar lambang itu akhirnya selesai. Dan sudah berupa vandel. Oleh Kiai Hasyim lambang itu ditunjukkan kepada para Kiai yang hadir waktu itu di Surabaya. Saat itu juga Kiai Hasyim mengangkat tangan berdoa—tapi doanya tidak diketahui. Pada intinya doa beliau mengatakan bahwa NU akan abadi sampai kiamat di Indonesia. 

Saat muktamar berlangsung lambang NU diminta oleh Kiai Hasyim agar ditutup. Usai Kiai Hasyim sambutan, Kiai Wahab sambutan, Gubernur Belanda sambutan, tirai penutup simbol NU dibuka. Ternyata gubernur Belanda waktu itu memuji, “Bagus gambarnya, komposisinya pas. Tapi saya tidak akan meresmikan lambang ini jika tidak tahu apa arti lambang ini.” 

Kiai Hasyim saat itu juga bingung, bersama kiai-kiai yang lain. Yang harus memaknai simbol ini adalah Kiai Ridwan sendiri. Tapi saat itu Kiai Ridwan berada di dapur jadi juru masak. “Ridwan ayo maju ke podium terangkan gambar ini.” Kata Kiai Hasyim.

“Loh, saya tidak mau Kiai itu terserah panjenengan. Wong perintahnya cuma gambar.” Kata Kiai Ridwan. 

“Wes maju saja.”

“Loh kiai saya ini pakai baju seperti ini masak suruh maju.” Alasan Kiai Ridwan menolak.

Akhirnya, jas Kiai Mas Alwi dipakaikan di pundak Kiai Ridwan, hingga sorban Kiai Wahab juga dipinjamkan. 

Selesai menerangkan, Kiai Ridwan ditanya oleh notulen. Yang jadi notulen pada waktu itu Kiai Toha, Solo dan Kiai Asnawi, Kudus. Mereka bertanya kepada Kiai Ridwan, “Kiai katanya jumlah tali di simbol ini ada 99 melambangkan Asmaul Husna?”

“Loh saya tadi bilang seperti itu?” Kiai Ridwan balik bertanya.

“Loh iya kiai ini saya tulis.” 

Oleh Kiai Ridwan dihitung bahwa memang benar jumlahnya 99, betapa kagetnya beliau dengan simbol yang dibuatnya sendiri.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.