Oleh: Bambang Subandi*

Tidak ada istilah mantan santri dalam tradisi pesantren. Begitu seseorang terdaftar sebagai santri di suatu pesantren, ia terikat hubungan kekeluargaan hingga akhir hayatnya. Setelah kehidupan di dunia, keluarga besar pesantren bisa bertemu dan berkumpul kembali sebagai hamba Allah yang diridhoi. Hal tersebut menunjukkan adanya keabadian santri. Jalinan hubungan santri dan kiai terikat secara abadi,  karena dasar ikatannya adalah Allah ‘Azza wa Jalla.

Keluarga besar pesantren terikat nilai yang dibangun pendiri pesantren. Nilai ini meliputi pemikiran,  sikap,  tindakan,  kebijakan,  serta sifat-sifat yang melekat pada pendiri pesantren. Hal ini tidak berbeda dengan hadis yang dihubungkan kepada segala yang melekat pada diri Rasulullah. Kiai berperan sebagai pengganti Rasulullah. Kiai ini memiliki ilmu dan tuntunan agama dari gurunya yang bersambung hingga Rasulullah. Kesinambungan keilmuan kiai dan tuntunannya dengan Rasulullah ini telah diyakini para santri sebagai kebenaran yang diikuti. Dengan demikian, identitas pesantren tidak  bisa dipisah dengan pendirinya, karena pesantren adalah hasil kreasi sang pendiri.

Keilmuan dan tuntunan dari pendiri pesantren menjadi nilai besar bagi pesantren tersebut. Nilai ini dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang akhirnya ia menjadi identitas atau karakteristik pesantren. Eksistensi pesantren terletak pada pelestarian nilai yang dibangun oleh pendirinya. Perkembangan pesantren yang mengikuti arus perubahan merupakan keniscayaan. Namun demikian, perkembangan pesantren tetap dalam nilai besarnya. Pembelokan arah perkembangan pesantren akan diluruskan dengan nilai besar yang dibangun pendirinya. Pelurusan ini dapat menjadi model tajdid (pembaharuan) di pesantren. Kelak, bangunan nilai besar pesantren ini akan mengumpulkan para santri dengan para kiai, bahkan dengan pendiri pesantren  di alam akhirat.

Setiap pesantren memiliki nilai umum yang sama dengan nilai yang berkembang di pesantren yang lain. Pertama, nilai kebersamaan. Pelajaran pertama untuk santri saat masuk pesantren adalah pembiasaan dalam kebersamaan. Upaya menghilangkan sifat egois individualis dan menggantikannya dengan sosialis kolektif merupakan hal yang tidak mudah.  Tidak sedikit calon santri yang gagal dan pulang kembali ke rumah.  Umumnya, kegagalan ini disebabkan oleh kuatnya sifat egois individualis yang ditanamkan di keluarganya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebelum calon santri masuk pesantren, ia dimanjakan dengan pemenuhan kebutuhan secara privat: kamar pribadi, kendaraan pribadi, hingga alat permainan juga bersifat pribadi. Ternyata,  tuntunan nilai kebersamaan telah dipraktikkan oleh Rasulullah dan dilestarikan oleh para ulama sebagai tuntunan. Ketika pemikiran individualisme berkembang di luar pesantren, maka nilai kebersamaan dari pesantren mendapatkan tantangan yang besar.  Karena itu,  adaptasi menuju kebersamaan merupakan tantangan awal bagi calon santri.

Kedua, nilai kesederhanaan. Kebersamaan dalam pesantren menuntut para santri untuk menyamakan pola hidupnya. Pola hidup para santri pun tidak jauh berbeda,  meski pun mereka berasal dari status sosial yang tidak sama. Santri yang kaya dilarang oleh pengurus untuk memamerkan kekayaannya. Uang saku pun juga tidak lepas dari perhatian. Santri dari keluarga kaya pun terpaksa mengikuti gaya hidup santri yang kurang kaya.  Hal ini tidak berlaku sebaliknya,  yakni santri dari keluarga yang miskin tidak bisa mengikuti gaya hidup santri yang kaya. Pola hidup kesederhanaan ini mampu mempererat hubungan antara sesama santri mau pun antara santri dan kiai. Dalam beberapa kesempatan, para kiai bersahaja bersama para santri, tanpa ada sekat status sosial.  Hubungan ini hampir sama dengan hubungan antara Nabi dan para sahabatnya.

Ketiga, nilai penghormatan pada ilmu. Tujuan utama santri masuk pesantren adalah ilmu. Tingkat keberhasilan santri pun diukur dengan perolehan ilmu. Namun demikian, tradisi pesantren tidak melihat hasil, melainkan proses dalam mencari ilmu. Istilah yang masyhur di kalangan pesantren adalah thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu). Karena itu, tuntutan bagi kaum santri adalah hadir di pengajian, bukan perolehan ilmu. Kehadiran santri di pengajian merupakan bentuk penghormatan atas majelis ilmu,  ilmu,  dan guru. Dengan penghormatan ini, santri mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah.  Selain itu, kehadiran santri memperat hubungan antara santri dan kiai. Semakin tekun hadir di majelis ilmu, santri semakin dikenal oleh gurunya.

Ketiga nilai di atas mendekatkan, mempererat, dan mempersatukan hubungan sesama santri mau pun hubungan antara santri dan kiai. Kebersamaan hidup di pesantren bisa berlanjut saat berada di luar pesantren. Ini bisa dilihat dari peran masing-masing alumni di masyarakat. Salah satu tujuan terbentuknya organisasi daerah di Pesantren Tebuireng adalah kelangsungan jalinan kebersamaan santri saat menjadi anggota masyarakat di daerahnya. Santri yang berperan sebagai pejabat negara tidak bisa menolak kehadiran kawan santrinya tanpa aturan protokoler.

Selain itu,  kebersamaan sesama santri muncul saat ada perkumpulan para santri dari ragam pesantren. Hal ini dapat diamati dari atribut, pembicaraan, dan pola hidup yang masih sederhana. Pembicaraan para santri tidak lepas dari ilmu, yakni teks-teks dalam kitab kuning. Istilah syarahta’zir, ta’zhimbarakah, dan sebagainya telah dikenal di kalangan mereka. Sebaliknya, santri yang tidak mencerminkan jiwa pesantren akan mendapatkan stigma negatif. Keangkuhan,  kebakhilan,  eksklusif, egois, kemewahan, serta keengganan dalam kebersamaan merupakan faktor pemutus hubungan santri. Hubungan ini berlangsung sejak awal masuk pesantren hingga abadi di alam akhirat.

Ketika santri telah menjadi alumni, ia tetap berperan sebagai santri yang selalu merindukan kehadiran kawan sesama santri maupun kiainya. Setidaknya santri berkunjung ke pesantren setiap tahun sekali. Agar hubungannya dengan kiai semakin erat, santri mengirimkan putra-putrinya ke pesantren yang memberikan hubungan erat untuknya. Ada pula santri yang tetap mengikuti pengajian di pesantrennya, meski ia telah menjadi alumni. Jika santri tersebut berada di tempat yang jauh dari pesantrennya, santri mengirimkan doa surat al Fatihah kepada para kiainya. Kiriman doa ini mempererat hubungan santri dan kiai, meski pun dalam alam yang terpisah.

Kedudukan tinggi yang diperoleh santri setelah keluar dari pesantren tidak merubah statusnya sebagai santri. Adab ini berlaku dalam tradisi pesantren. Santri ini akan tetap mencium tangan kiainya saat ia berkunjung ke pesantren. Lebih dari itu, ia juga berpartisipasi dalam pengembangan pesantren. Lebih jauh lagi, jiwa santri yang tinggi akan memandang semua pesantren dan kiainya sebagai basis pengabdiannya. Jadi,  santri adalah status tertinggi secara esoteris (makna batin) dalam tradisi pesantren, sebagaimana status hamba (‘abd) di hadapan Allah. Tidak sedikit seseorang yang dianggap sebagai kiai justru menampilkan dirinya sebagai seorang santri.

Pengasuh pesantren pun merasa sebagai santri,  walau pun ia telah dianggap sebagai kiai. Dengan status santri ini, kelak di akhirat, ia akan mencari para guru dan kiainya,  bukan mencari santri-santrinya. Demikian ini disebut sebagai syafaat kecil yang berlangsung ke atas hingga Rasulullah. Geneologi keilmuan dan tuntunan pesantren yang bersambung melalui transmisi sanad kepada Rasulullah menjadikan santri pesantren sebagai santri abadi Rasulullah SAW.


Alumnus Pesantren Tebuireng (1987-1997), Dosen di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.