ilustrasi: membatalkan puasa/lensgo

Oleh: Almara Sukma*

Puasa merupakan ibadah yang dilakukan umat muslim yang sudah memenuhi syarat. Puasa sendiri terbagi menjadi dua macam, yakni: puasa wajib (puasa ramadhan, dll) dan puasa sunnah (puasa senin kamis, puasa daud, puasa di hari-hari mulia, dll).

Setiap orang pasti mempunyai niat untuk melakukan puasa sunnah. Ada seseorang yang mempunyai kebiasaan puasa sunnah senin kamis, akan tetapi ia harus membatalkan puasanya ditengah jalan karena ia sedang bertamu di rumah temannya dan disuguhi makanan. Bagaimana hukum membatalkan puasa sunnah tersebut?

Puasa senin kamis memiliki banyak keutamaan, salah satu keutamaanya adalah puasa senin kamis merupakan puasa yang sering dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.  Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis musnad Ahmad 41/269

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صَوْمَ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ»

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Dari Aisyah ra berkata: Rasulullah SAW menjaga puasa senin dan kamis.”

Perihal orang yang sudah berpuasa sunnah kemudian membatalkannya karena ada udzur, ulama’ bersepakat untuk tidak wajib mengqodhonya. Akan tetapi, apabila puasa sunnah tersebut dibatalkan tanpa adanya udzur ulama’ berbeda pendapat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 287:

 وأما حكم الإفطار في التطوع فإنهم أجمعوا على أنه ليس على من دخل في صيام تطوع فقطعه لعذر قضاء. واختلفوا إذا قطعه لغير عذر عامدا فأوجب مالك وأبو حنيفة عليه القضاء. وقال الشافعي وجماعة: ليس عليه قضاء

Artinya, “Adapun hukum membatalkan puasa sunah, ulama bersepakat bahwa tidak ada kewajiban qadha bagi mereka yang membatalkan puasa sunahnya karena udzur tertentu. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal mereka yang membatalkan puasa sunah dengan sengaja (tanpa udzur tertentu). Imam Malik dan Abu Hanifah mewajibkan qadha puasa sunah tersebut. Tetapi Imam As-Syafi’i dan sekelompok ulama lainya mengatakan bahwa ia tidak wajib mengqadha puasa sunah yang dibatalkannya,”

Perbedaan pendapat ulama’ di atas terjadi karena perbedaan mmenganalogikan puasa sunnah tersebut. Imam Malik dan Abu Hanifah menganalogikan puasa sunnah seperti ibadah haji, sehingga wajib mengqodho’nya. Sedangkan Imam Syafi’I menganalogikan puasa sunnah seperti ibadah sholat, sehingga tidak tidak wajib mengqodho’nya. Akan tetapi, imam Syafi’i menganjurkan untuk mengodho’nya.

Dalam kitab kifayatul akhyar 1/174, karya Syaikh Abubakar Al-Hishni, ia menjelaskan,

 ومن شرع في صوم تطوع لم يلزمه إتمامه ويستحب له الإتمام فلو خرج منه فلا قضاء لكن يستحب وهل يكره أن يخرج منه نظر إن خرج لعذر لم يكره وإلا كره

Artinya, “Orang yang sedang berpuasa sunah tidak wajib merapungkannya (hingga maghrib). Tetapi ia dianjurkan untuk merampungkannya. Jika ia membatalkan puasa sunah di tengah jalan, tidak ada kewajiban qadha padanya, tetapi dianjurkan mengqadhanya. Apakah membatalkan puasa sunah itu makruh? Masalah ini patut dipertimbangkan. Jika ia membatalkannya karena udzur, maka tidak makruh. Tetapi jika tidak karena udzur tertentu, maka pembatalan puasa sunah makruh,”

Membatalkan puasa sunnah dengan adanya udzur hukumnya tidak makruh. Sedangkan membatalkan puasa sunnah tanpa adanya udzur maka hukumnya makruh. Menghormati tuhan rumah dengan memakan makanan yang sudah ia suguhkan merupakan salah satu udzur syar’i. Hal ini sebagaimana dinukil dari kitab kitab kifayatul akhyar 1/174, karya Syaikh Abubakar Al-Hishni, ia menjelaskan bahwa

ومن العذر أن يعز على من يضيفه امتناعه من الأكل ويكره صوم يوم الجمعة وحده تطوعا وكذا إفراد يوم السبت وكذا إفراد يوم الأحد والله أعلم

Artinya, “Salah satu udzur syar’i adalah penghormatan kepada orang yang menjamunya yang mencegahnya untuk makan. Makruh juga puasa sunah hari Jum‘at semata. Sama makruhnya dengan puasa sunah hari Sabtu semata atau hari Ahad saja. Wallahu a‘lam,”

Udzur bukan hanya Menghormati tuan rumah yang menjamu, akan tetapi  sakit, perjalanan jauh, jika diminta makan oleh guru, orang tua, dan lain sebagainya, yang seandainya kita tidak makan mereka tersinggung, hal tersebut juga termasuk udzur.

*Alumnus Mahad Aly Hasyim Asy’ari.