Sumber ilustrasi: mediajurnal-investigasi

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Perlu Kerjasama Riset Semua Pihak, Digitalisasi Jadi Keniscayaan

Hemat penulis, semua pihak harus bisa ikut serta membenahi, tidak hanya Kemenag dan RMI, pesantren juga harus siap dengan masalah ini. Pesantren harus sudah terbuka dengan penangan-penangan yang lebih ilmiah. Riset bersama dari berbagai elemen perlu dilakukan, membentuk tim untuk segera menelusurui kasus-kasus yang terjadi di berbagai pesantren. Tentu data ini harus disimpan rapat agar tidak merusak citra pesantren, tapi dibuat menjadi acuan menentukan kebijakan.

Riset ini harus dilakukan secara Syumuliyah (komprehensif), tujuannya mengetahui kondisi sebenarnya santri-santri di pesantren-pesantren, mulai dari kesehatan mentalnya, kejiwaannya, kecenderungannya dll. Ada pula misal riset tentang potensi-potensi terjadinya kekerasan dan perundungan yang diakibatkan oleh kurang baiknya sistem tata kelola pesantren dan pengawasan terhadap santri.

Setelah itu hasil riset inilah yang bisa dipakai untuk acuan kebijakan selanjutnya dalam membuat regulasi, baik di dalam internal pesantren per pesantren, maupun untuk kebijakan Kemenag yang merahmati dunia pesantren. Itu semua jika pihak-pihak terkait berkenan. Jika tidak, penulis khawatir akan terus berlanjut.

Perlu diketahui betul bahwa di era keterbukaan ini, edukasi terhadap orang tua santri juga harus dilakukan, karena kecenderungan untuk mengviralkan jika anaknya menjadi korban perundungan di pesantren sangat tinggi. Maka sistem terintegrasi dalam data base harus ada, agar orang tua punya SOP pengaduan yang tidak harus dikonsumsi oleh publik. Sayangnya, ini hanya bisa dilakukan jika pesantren mau terbuka dengan perkembangan digitalisasi. Semua walisantri bisa memantau anaknya melalui laman yang diprivatisasi menggunakan identitas pengguna dan sandi sehingga tidak perlu diketahui oleh orang lain.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Kekerasan di Pesantren, Gunung Esnya Sudah Mulai Mencair (1)

Butuh dana banyak? Ya tentu lah. Untuk sebuah program yang mensukseskan pendidikan dan menyelamatkan masa depan generasi bangsa tentu tidak sebanding. Pemerintah melalui Kemenag, maupun PBNU melalui RMI harus mau menjadi penyandang dana riset ini, selain tentu ada dana dari masing-masing pesantren, tapi jelasnya sangat terbatas. Apalagi tidak semua pesantren punya keuangan yang melimpah. Menyelamatkan pesantren dari permasalahan kekerasan dan perundungan juga bagian dari ikhtiar menghargai para ulama, kiai, dan masyayikh kita terdahulu agar menjaga pesantren yang dulu diperjuangkan beliau-beliau dapat terus lestari menjadi Lembaga pendidikan Islam yang terdepan membentu generasi yang berilmu amaliyah amal ilmiah dan berakhlakul karimah.

Harmonisasi di Pesantren, Bukan Hal yang Mudah

PR yang besar bagi dunia pesantren ini bukan hanya sulit tapi betul-betul butuh Kerjasama dan kerja keras semua pihak. Semuanya harus instropeksi diri, terutama internal masing-masing pesantren jika tidak mau punya Nasib sama dan mengalami hal yang sama dengan pesantren-pesantren yang telah terekspos. Penulis sebagai orang yang tumbuh berkembang di pesantren dan lingkungannya, juga merasa perlu bisa berkontribusi dalam riset itu jika diizinkan.

Mengurus pesantren itu tentu punya tanggungjawab yang sangat besar. Orang tua wali santri, menitipkan anaknya nyantri di pesantren tentu dengan mengirimkan harapan besar pula buah hatinya dapat sukses mencari ilmu dan nantinya keluar pesantren juga bisa menjadi anak yang sesuai harapan. Pesantren mengemban Amanah yang besar. Dan lagi-lagi, glorifikasi terhadap pesantren selama ini, terkadang menutupi satu fakta hukum alam, bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dengan berbagai kelebihan pesantren, bukan berarti tanpa cela.

Dulu zaman pesantren masih sangat sederhana, kepasrahan wali santri sangatlah tinggi. Sekarang dengan berbagai perkembangan dan dinamika kebutuhan, pesantren semakin lengkap fasilitasnya, dengan banyak menjanjikan visi, misi, dan luaran yang dibaca oleh orang tua sebagai harapan dan janji manis. Salah kaprah inilah yang kadang menjadikan ekspektasi tinggi sehingga pesantren dianggap sebagai bengkel yang menservis anaknya untuk jadi jauh lebih baik, apalagi jika dengan harapan mendapatkan garansi-garansi, misal lulus perguruan tinggi tertentu, dan harapan-harapan yang lain.

Pergerseran dalam niat mondok dan memondokkan ini bisa berefek kepada santri yang sedang berproses. Tidak krasan, merasa tidak sesuai ekspektasi, lalu muncul keinginan memberontak, belum lagi pengaruh dari sesama teman. Ini bisa berpotensi mengakibatkan mereka menjadi susah diatur, atau bertindak semena-mena yang menjadi sumber adanya Tindakan-tindakan kekerasan, perundungan, dll. Ketika dulu ia menjadi korban perundungan, pemalakan, kekerasan, ketika nanti dia lolos dan menjadi senior bisa punya kecenderungan untuk melakukan hal yang sama. Tapi lagi-lagi ini perlu riset yang lebih dalam. Pola itu yang penulis amati selama nyantri. Ini bisa menjadi sirkel dan siklus “setan” di pesantren yang saling mempengaruhi dan diulang-ulang.

Kita semua paham bahwa pesantren menjadi rumah bagi anak-anak usia perkembangan dari berbagai latar belakang, etnis, suku, bahasa, dan bahkan ada yang yang datang dari mancanegera. Dengan berbagai watak, karakteristik, baik yang bersifat personal maupun kedaerahan tentu harmonisasinya seperti membangun miniatur Indonesia. Terlebih, pertemuan mereka terjadi selama 24 jam. Kita tidak bisa membayangkan keterpaduan terjadi secara sederhana.

Ada beberapa bagian proses yang terjadi secara rumit dan kompleks. Gesekan, konflik, pertengkaran, menjadi makanan sehari-hari di pesantren. Senyampang penulis mondok, penulis sampai lupa menghitung berapa kali bersitegang dengan teman, senior, junior, atau pengurus.

Baca Juga: Soal Kekerasan di Pesantren, Gus Kikin Ajak Semua Pihak Berintrospeksi Diri

Dengan kerumitan itu, kita bisa merasakan secara batin, apa yang dialami oleh para pengurus pesantren dan pengasuh. Kasus demi kasus ditemukan, timbul kekhawatiran lebih jauh terhadap hal yang akan terjadi. Itu yang setiap hari diupayakan di pesantren agar dapat terjadi integrasi dan harmonisasi yang pas dan “selamat”. Ibarat naik roll coster, setiap ujung tikungannya, mengandung adrenalin. Ini belum berbicara sistem pendidikan, sistem keamanan, sistem keterbitan, sistem keagamaan, dan sistem pengembangan eksternal dan internal. Belum tentu Menteri pendidikan pun, kuat dan rekasa menjadi pengasuh pesantren.

Namun, sesulit dan serumit apapun itu, tugas tetap menjadi tugas, tanggungjawab tetap menjadi tanggungjawab. Pesantren harus tetap mengupayan terus secara kontinyu untuk melayani santri. Tapi harus diimbangi dengan keterbukaan, kejujuran, keterkoneksian dengan elemen-elemen yang lain. Begitupun wali santri, RMI, ormas-ormas Islam pengayom pesantren, dan Kementerian Agama harus juga turut serta andil secara maksimal dan total untuk membantu mengatasi permasalahan yang ada di pesantren, termasuk soal kekerasan ini.

Kongkritnya, sebagaimana penulis jabarkan sebelumnya, pertama kali, harus ada Kerjasama riset, lalu Kerjasama menentukan regulasi, menentukan kebijakan, baik dalam ranah pemerintah maupun internal pesantren, memperbaiki sistem tata Kelola, membuka diri untuk menggunakan tenaga psikolog, dan adanya data base santri yang telah terdigitalisasi.

Bagi penulis ini keniscayaan, sekarang atau tidak sama sekali, demi masa depan pesantren sebagai Lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Pesantren telah mewarnai Sejarah bangsa, sejak jauh sebelum era kemerdekaan, tentu itu yang harus dijaga oleh generasi pesantren-pesantren saat ini.


*Dosen Unhasy Tebuireng.