DSCI1865Oleh: Cholidy Ibhar*

Era tahun 1970-an di pesantren Tebuireng terdapat fenomena santri minimalis. Mereka ke pesantren dipaksa orang tuanya, di antaranya karena kadar kenakalannya atau yang lainnya. Dikirim ke pesantren lantaran agar perilakunya berubah dan memutus hubungan dengan kelompok pertemanan dan lingkungan yang dianggap tak kondusif.

Model berpikir orang tua terkadang seperti itu, simplistis, given dan tidak menyukai berlama-lama. Putranya yang dianggap sebagai invant trible dan disadari sulit ditangani, tanpa perlu berpikir lama dan secepat kilat menoleh solusi : karangtina, “dibuang” dan diisolasi.

Jika di pesantren bertemu dan disambut oleh pengasuh dan kemudian peroleh perhatian yang serius, apalagi tersedia pendamping secara khusus, harapan terjadinya perubahan, besar sekali. Namun bila level kenakalan sang anak sudah studium tinggi dan akut, tidak mudah menyulap perubahannya.

Karena memang niatnya bukan menjadi santri yang tafaqquh fiddin, melainkan sekedar jeda dan jera dari perilaku kenakalannya. Tentunya sebanding dengan investasinya, terlebih biasanya potret santri seperti itu, tak terlalu lama menghirup udara pesantren.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selepas dari pesantren, nyaris tak memiliki pengaruh apa-apa. Sebutannya, sekedar pernah mampir mondok. Kalau tidak hendak mengatakan, pernah dibuang ke pesantren.

“Nyantri”, sebagaimana pernah dikatakan Ustadz Ali Musthofa, “mesti lama, thul al-zaman, kalau memang kuat berkeinginan menjadi santri yang alim (tafaqquh fiddin)”. Tambahnya, “Pastilah, tidak bakal menjadi apa-apa sekiranya cuma mampir mondok”.

Menurut analisis Ustadz Ali Musthofa, “Santri-santri Pesantren Tebuireng yang berbobot biasanya mondoknya lebih dari lima tahun. Tsanawiyah dan Aliyah-nya di pesantren Tebuireng”. Karena, di tahun 1970–an sulit bagi santri baru yang langsung masuk kelas Aliyah.

Ini semata-mata lantaran kurikulum Aliyah Pesantren Tebuireng (saat itu) sangat tinggi. Bayangkan, di Aliyah sudah tak diajarkan lagi Alfiyah, tetapi kitab-kitab seperti Tafsir al Jalalain, ‘Uqud al Juman, al Tajrid al Sharih, Fath al Mu’in, al Luma’, al Asybah wa al Nadzair dan seterusnya.

Maka dapat dipastikan, santri dari luar yang masuk ke Aliyah Pesantren Tebuireng mengalami kesulitan yang luar biasa. Di sisi lain, produk Aliyah Pesantren Tebuireng mempunyai kualitas yang tinggi: mampu membaca al Kutub al Shafra’ (kitab kuning) dan penguasaan materi ilmu keagamaan yang tinggi.

“Mosok, nyantri sekedar mampir mondok!,” gojlok Ustadz Ali Musthofa.


*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen