DSCI1865Oleh: Cholidy Ibhar*

Paling tidak, Ustadz Ali Musthofa pernah menerima dan memandu Presiden Amerika Setikat Barrack Obama dan istrinya Mechelle saat bertamu dan menikmati keindahan Masjid Istiqlal. Bahkan hal serupa dilakukan kepada PM Erna Solberg dari Norwegia dan Wakil Presiden India, Muhammad Hamid Asari.

Selain, Ustadz Ali Musthofa sangat dekat dengan sejumlah politisi, berikut sesekali merespon fenomena politik yang lagi aktual. Namun sejatinya, Ustadz Ali Musthofa tidak menyukai dan bahkan memiliki pandangan yang kritis terhadap yang berbau politik. Walau sadar, dalam hal tertentu, kedudukannya di posisi struktural kelembagaan tidak bisa dinafikan dari persentuhannya dan pertimbangan politik.

Bila dirunut, aroma phobia politik itu sudah menyeruak semenjak menjadi santri Pesantren Tebuireng. Hal ini tampak dari perhatiannya saat berpidato, obrolan, membaca media dan geliat kiprahnya sewaktu menjadi mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy).

Kontras dengan santri dan mahasiwa Unhasy seperti Abdul Mu’id, Syihabuddin, Shodiqin dan lainnya yang begitu adreng dengan politik. Begitu sering saya memergoki mereka bersitegang saling beradu argumen dalam mengalisis isu dan perkembangan mutakhir politik nasional.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Masih terasa segar ingatan, bagaimana demikian gegap gempita mereka menyergap dan memberondong Pangkopkamtib Sudomo dengan pernyataaan politik yang tajam saat berkunjung di Pesantren Tebuireng. Ada dua maksud kedatangan Sudomo waktu itu, pertama, menekan Pak Ud agar tak meneruskan memburu apa di balik Dokumen Gilchrist (Gilchrist Document) yang menyulut perbincangan secara nasional. Pun dia berazam menaklukkan mahasiswa agar tak mengganggu stabilitas politik.

Tidak cuma sampai di situ saja, mahasiswa Unhasy juga mampu meladeni diskusi yang mengusung tema politik nasional yang tengah memanas ketika aktivis mahasiswa dari perguruan tinggi ternama, seperti UI, ITB, IPB, UGM, ITS, Unair dan Unibraw hadir di Pesantren Tebuireng. Tentu saja, lagi-lagi kedatangan bintang aktifis nasional ke pesantren atas undangan dan respek mereka terhadap sosok politisi berintegritas seperti kiai Yusuf Hasyim.

Geliat dan perhatian begitu tinggi terhadap politik yang didemontrasikan santri dan Unhasy, ternyata tak memantik ghirah Ustadz Ali Musthofa kepada politik. Bahkan, kelak daya tarik kian memudar ketika menyaksikan distrust yang melilit kalangan politisi. Agaknya stigma politik kotor –atau neminjam bahasa al-Ghazali– politik itu sarat bermuatan makna “khid’atun”.

Ternyata, kendati tensi politik di negeri ini yang begitu tinggi hingga merasuk ke pesantren, justru Ustadz Ali Musthofa semakin hening dan fokus mendaras, mengaji dan menghafal. Meski, Ustadz Ali Musthofa paham betul rumus politik versi al-Mawardi. Politik itu tak seperti dibisikkan oleh ilmuwan Barat, “who get what, when and how”, berburu kuasa, berikut dengan segala caranya. Etika, moral dan fatsun politik hanya ada di arasy idealitasny. Yang menyeruak di permukaan adalah berebut kuasa ala Machiavelli.

Seharusnya haliyah politik itu mencerminkan wajah sebagaimana yang diajarkan oleh al-Mawardi dalam Ahkam al-Shulthaniyah, bahwa politik itu berpucuk pada “istislah al-‘ammah”. Sia sia belaka, jika politik sekedar diisi oleh hiruk-pikuk euforia kebebasan politik yang kemudian tak paralel dengan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, pemangku trias politika dan bahkan negara tak hadir dalam mewujudkan cita “social walfare”.


*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen