Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #27
Oleh: M. Abror Rosyidin*
Kurang apa coba Kiai Hasyim itu, pendiri jamiyah Islam terbesar, Nahdlatul Ulama, pendiri Pesantren Tebuireng, sebuah pesantren terkemuka, sekaligus juga termasuk pendiri bangsa dan pemersatu umat Islam. Tentu ketenaran namanya tidak cukup di Nusantara saja, tapi sudah mendunia. Saat penulis belajar di Maroko, nama Hasyim Asy’ari juga dikenal oleh tokoh-tokoh dan ulama-ulama di sana.
Ketenaran Kiai Hasyim itu tentu membuat orang-orang merasa terhormat punya kedekatan emosional dengan nama beliau. Ingat ya, itu masih nama, apalagi dengan beliaunya, pemikiran, atau keluarga beliau, pesantren beliau, bahkan mungkin santri beliau. Sehingga rebutan menyebut nama beliau lazim terjadi, tentunya untuk kepentingan yang bermacam-macam.
Ada yang bilang Kiai Hasyim Asya’ri bukan hanya kiainya NU saja, tapi ulamanya umat Islam Indonesia. Anggapan ini tidak salah, tapi akan jadi kurang tepat jika menuduh orang NU sok paling punya Kiai Hasyim, karena bagaimanapun beliau pendiri NU. Tapi nahdliyin juga kurang tepat jika menyebut orang non-NU, tak perlu-perlu mentendensikan urusannya kepada Kiai Hasyim, karena memang faktanya Kiai Hasyim sangat mengusung persatuan umat.
Ada partai non-NU yang selama ini tidak menggunakan pemikiran amaliyah non-NU tiba-tiba mengadakan pengajian kitab Hadratussyaikh, lalu lomba baca kitab dengan juri didatangkan dari Pesantren Tebuireng. Baru-baru ini, tokohnya juga jadi ketua pengurus semacam takmir di Masjid Hasyim Asy’ari Jakarta. Nahdliyin mencak-mencak, mengatakan seharusnya ketakmiran masjid itu dihendel oleh orang-orang NU saja, yang lebih berhak klaim nama itu. Pastinya ingin mengisi masjid itu dengan amaliyah NU. Grup-grup WA santer bicara soal itu. Apa itu salah? Tidak juga. Cuma memicu rebutan nama lagi kan?
Kemarin, lucunya lagi, ada kelompok yang membuat tweet di Twitter bertuliskan bahwa Kiai Hasyim adalah tokoh pendukung khilafah, captionnya dibuat seolah kiai Hasyim pendukung khilafah. Eh ndilalah foto yang diunggah adalah buku yang disusun oleh Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, berjudul “Ijtihad Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari tentang NKRI dan Khilafah. Buku itu bukan tulisan Kiai Hasyim, tapi kumpulan transkip pemaparan beberapa tokoh saat seminar di Pesantren Tebuireng, sekitar 2018/2019. Guyonannya teman-teman Pustaka Tebuireng yang menerbitkan buku itu, “Kok tua banget itu editornya, wong ini dia lagi ngopi”. Kalau yang ini klaim nama Mbah Hasyim yang kurang cerdas terkesan cupu. Belum baca bukunya langsung buat status, paling buka saja tidak.
Kok di luar NU, di dalam NU saja saur manuk rebutan nama Kiai Hasyim santer terjadi. Kita tidak bahas niatnya ya. Tapi apa yang tampak di permukaan dan menjadi konsumsi publik saja. Cucu Kiai Hasyim, KH. Salahuddin Wahid sendiri menyebut bahwa nama Kiai Hasyim memang sering disebut tapi tidak banyak atau kurang mendapatkan penghormatan yang memadai. Tidak ada universitas yang didirikan oleh warga NU, atau struktur NU yang menggunakan nama Kiai Hasyim. Sementara tetangga sebelah, Muhammadiyah, menggunakan nama KH Ahmad Dahlan menjadi nama universitasnya.
Baru-baru ini ada beberapa kampus menggunakan nama Hasyim Asy’ari sebagai nama gedung, seperti UNJ dan IAIN Salatiga. Di Tebuireng gencar sekali nama Hasyim Asy’ari digaungkan, terutama sejak diasuh oleh Gus Sholah, seperti lembaga pendidikan Madrasah Mu’allimin Hasyim Asy’ari, Pusat Kajian Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari, Universitas Hasyim Asy’ari, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, dan Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari. Baru-baru ini dibangun, rumah sakit khusus untuk kaum kurang mampu, Rumah Sakit Hasyim Asy’ari, juga di Tebuireng. Nama-nama lembaga-lembaga itu sedang berjalan dan terus berkembang.
Kawan-kawan Pustaka Tebuireng juga gencar-gencarnya mengudarakan karya-karya Hadratussyaikh lewat buku-buku, baik terjemah kitab atau risalah beliau maupun tulisan orang tentang beliau. Rumah Produksi Tebuireng juga membuat film “Jejak Langkah 2 Ulama” mengisahkan 2 tokoh Islam Indonesia, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Film ini digarap oleh anak-anak muda santri Tebuireng dan Muhammadiyah. Film ini ini tidak digarap oleh induk organisasi NU ataupun organisasi kesenian resminya, tapi Pesantren Tebuireng, punjernya NU, sedangkan dari pihak Muhammadiyah diprakarsai oleh Lembaga Kesenian, Budaya, dan Olahraga (LSBO), organisasi di bawah naungan PP Muhammadiyah.
Kok bisa begitu? Ada apa? Ceritanya cukup panjang. Intinya banyak menyebut nama Kiai Hasyim tidak menjamin seseorang cinta Kiai Hasyim, bisa saja hanya memanfaatkan. Sama juga, banyak nangkring di NU, belum tentu manfaati NU, bisa juga sedang memanfaatkannya. Giliran tidak memberi manfaat ya sudah tidak usah digubris. Malah membuat film berjudul (sensor) yang sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Film yang memboyong pemeran-pemeran ternama, digarap oleh sutradara yang katanya “internasional”, dengan dana puluhan miliyar, belum juga shooting. Eh sudah shooting sih tapi untuk trailer saja, penglaris. Giliran film tentang pendiri NU, tidak digubris.
Rebutan nama yang seperti ini, lebih buruk dari pada ada tokoh non-NU yang mengaji kitab Kiai Hasyim, atau ada ormas atau partai non-NU yang mengadakan lomba baca kitab karya beliau, atau mengambil juri dari pesantren afiliasi NU. Sebab, KH. Hasyim Asy’ari itu sudah lebih berhak dimiliki NU, artinya apa saja tentang beliau selagi untuk kemaslahatan umat dan bangsa bisa dieksplorasi dan itu sah-sah saja, asal tidak melanggar AD/ART NU. Bukan malah memilah mana menguntungkan dan mana tidak menguntungkan.
Pada saat lalu, entah tahun kapan, elit NU ada yang berbicara bahwa konsep Ahlussunnah wa Al-Jama’ah milik Kiai Hasyim sudah ketinggalan zaman, terlalu sederhana bahkan menggelikan. Padahal konsep Aswaja yang diusung oleh Kiai Hasyim itu memang sengaja dibuat sesederhana itu, agar umat pada zamannya dapat memahami. Kalau saja, konsep Aswaja Kiai Hasyim dibuat jelimet model susur, bisa jadi tidak dipahami umat, dan akhirnya pengikutnya tidak sebanyak sekarang. NU bisa besar karena ajaran kiai-kiai terdahulu tidak jelimet, dan mudah dipahami.
Banyak orang menyebut-nyebut nama Kiai Hasyim, tapi menabrak pakem dan khittah yang digariskan oleh beliau. Mencampuradukkan NU dengan politik praktis. Padahal sudah disepakati bahwa NU adalah organisasi sipil, fungsinya adalah untuk alat kontrol dan kritik pemerintah, bukan malah rebutan jatah kursi di pemerintahan. Kata beliau, ketika NU sudah tidak lagi berada dalam garisnya, harus kembali ke khittati salaf, garis para sahabat, tabiin, tabiit tabiin dengan ihsan (kebaikan) hingga hari kiamat.
Khittah NU juga sudah populer pada 1950-an oleh KH Ahyat Chalimi, pada 1962 di Solo, pada 1971 oleh KH Wahab Chasbullah, pada 1981 oleh KH Ahmad Shiddiq, KH As’ad Syamsul Arifin dan sejumlah pemuda NU di Asembagus Situbondo, dan akhirnya dapat diputuskan pada 1884, yaitu pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Penulis sendiri sering diajak oleh Gus Sholah mengikuti halaqah Komite Khittah 1926 NU (KK26NU) di berbagai daerah, melihat fakta-fakta bahwa di kalangan akar rumput, NU telah kropos. Kepercayaan golongan NU kultural menurun.
Membawa pemikiran semacam ini ke tengah-tengah nahdliyin tidaklah mudah. Penulis sering dicap anak kemarin sore, orang NU baru, penyusup di NU, NU abal-abal. Penulis juga masuk di beberapa grup yang semuanya orang-orang NU, ketika ada orang NU yang melakukan autokritik terhadap NU sendiri, dikatakan bukan NU. Justifikasi model begini justru membuat model dakwah sederhana yang diusung Kiai Hasyim menjadi jelimet, ruwet, eksklusif, dan akibatnya ditinggalkan banyak generasi mudanya. Pasti tahulah pemuda NU banyak yang pindah haluan.
Terbukti toh, rebutan NU akan terus terjadi, rebutan Kiai Hasyim akan terus terjadi, selama pakem-pakem yang digariskan pendahulu ditabrak semaunya. Partai milik orang NU berantem dengan orang-orang NU non-partai, rebutan gedung. Partai NU rebutan dengan partai NU lain. Begitu juga NU dan NU saling rebutan partai yang sama. Memang pendahulu kita sering berbeda pendapat antar ulama, antara tokoh, dan antar kiai. Contoh baik juga telah dilakukan oleh Kiai Hasyim, sebagaimana dalam ulasan seri sebelumnya, seperti dengan Kiai Dahlan Achjat, Kiai Faqih Maskumambang, Kiai Abdullah bin Yasin, Syaikh Khatib al Minangkabawi, HOS TJokromanoto, Kiai Mas Mansyur dll. Namun, perbedaan itu disikapi dengan sangat arif, karena yang berbeda hanyalah pemikirannya, sehingga tak perlu membenci atau memusuhi orangnya.
Untuk itu, mengutip dan menyebut-nyebut nama Kiai Hasyim siapa saja boleh dan sah-sah saja, tapi sebaiknya dilakukan untuk kemaslahatan yang baik, niat yang baik, dan tujuan yang baik, bukan untuk kepentingan yang menguntungkan, dan ketika tidak manfaat ditinggalkan. Terakhir, mengutip dawuh Gus Sholah, “Berilah NU manfaat, jangan memanfaatkan NU”, analogikanya, “Sebutlah nama Kiai Hasyim untuk hal yang manfaat, jangan memanfaatkan nama Kiai Hasyim”. Yang merasa punya Kiai Hasyim, harus giat mengkaji pemikiran beliau, giat meneruskan garis perjuangan beliau, meneruskan cita-cita beliau, dan lebih penting lagi, menghidupkan apa yang beliau tinggalkan untuk kemaslahatan umat. Jangan hanya menyebut namanya.
Wallahua’lam.
*Penulis adalah Tim Pusat Kajian Pemikiran Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.