Indahnya keberagaman. Masjid, Gereja, Pura, Vihara berdampingan. Kawasan BTDC Nusa Dua, Bali.
Indahnya keberagaman. Masjid, Gereja, Pura, Vihara berdampingan. Kawasan BTDC Nusa Dua, Bali.

Oleh: M. Zainuddin Abror*

Ramadhan tiba, Marhaban ya Ramadhan. Muslim mana yang tidak senang menyambut kedatangan bulan suci ini. Semua umat Muslim di seluruh dunia tidak akan menyia-nyiakan bulan yang penuh dengan keberkahan ini, termasuk muslim di Indonesia. Indonesia mempunyai banyak pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke, ada Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Papua, dan Pulau Bali yang termashur dengan kekayaan dan keindahan alamnya.

Bali, pulau yang jaraknya tidak jauh dari Pulau Jawa ini, menjadi salah satu pulau yang diminati untuk dikunjungi, baik dari segi tujuan wisata alamnya maupun keuinikan budaya yang dimiliki oleh pulau tersebut. Dua daya tarik ini yang menarik para wisatawan untuk datang dan menikmati keindahan alam Bali. Banyak julukan yang diberikan di pulau yang memiliki luas sekitar 5.636, 66 km2 ini, seperti Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Mayoritas penduduk di Bali beragama Hindu sekitar 84, 5% dan penduduk yang beragama Islam sekitar 13,3 %. Hal ini berarti menunjukkan bahwa Islam adalah agama mayoritas kedua setelah Agama Hindu di Bali. Namun, di Bali juga terdapat penduduk yang menganut agama lain seperti, Kristen, Katolik, dan juga Budha.

Menyangkut tema yang berbicara soal Ramadhan, keadaan sosial maupun lingkungan di Bali secara umum tidaklah berbeda dengan hari-hari biasanya. Ketika Bulan Ramadhan tiba cukup banyak dan bisa dikategorikan mudah untuk menemui warung atau tempat makan yang buka di pagi maupun siang hari, hal ini bisa dikategorikan adalah hal wajar. Ya, Bali mayoritas penduduknya menganut kepercayaan Agama Hindu. Bagaimana dengan Muslim di Bali?

Mungkin banyak yang mempunyai pikiran–pikiran negatif tentang Bali dan semacamnya, mungkin juga banyak yang penasaran akan hal baik yang akan didapat ketika berada di Bali, dan mungkin juga banyak yang tidak mempunyai gambaran atau persepsi atas apa yang dibayangkan. Namun, dapat kita pahami juga tidak akan mungkin ada kebaikan tanpa adanya keburukan. Oleh karena itu, disini penulis akan menceritakan pengalaman Ramadhan serta toleransi umat beragama di Bali ketika datangnya bulan suci Ramadhan sesuai dengan realita yang dialami selama di Bali.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meskipun Agama Islam menjadi agama mayoritas kedua, namun hal itu tidak mengurangi eksistensi kami sebagai umat muslim di Bali untuk beribadah puasa di Bulan Ramadhan. Malah kami bersyukur bisa menikmati Ramadhan di tahun ini, dengan suasana yang berbeda. Keasyikan serta keindahan Ramadhan disini dapat dirasakan ketika semua umat Muslim berkumpul di dalam satu majlis yang sama, dengan tidak membedakan asal, suku, warna kulit, dan sebagainya. Bercengkrama dan bercerita banyak soal daerah, tradisi Ramadhan di kampung masing-masing, dan diskusi-diskusi kecil seputar agama menambah kenikmatan Ramadhan.

Ketika menjelang waktu Maghrib seluruh masjid yang ada di Bali khususnya di daerah Jimbaran dan sekitarnya penuh dengan takjil. Barisan Muslim mengantri untuk mendapatkan takjil gratis yang disediakan oleh takmir masjid, seperti fenomena di pesantren. Menu takjil di setiap masjid berbeda–beda, namun disitu tentu ada nasi dan juga air mineral yang disediakan untuk setiap Muslim yang akan berbuka puasa. Setelah berbuka seluruh jama’ah menunaikan Shalat Maghrib bersama. Biasanya banyak yang menunda pulang untuk menunggu waktu Shalat Isya’ di Masjid sekaligus Shalat Tarawih. Hal seperti itulah yang indah ketika Ramadhan tiba, berkumpul, berjama’ah serta berbincang-bincang pengalaman ketika berpuasa, melupakan perbedaan.

Ketika sahur juga banyak warung-warung muslim yang buka untuk menyediakan menu sahur. Bali sekarang tidaklah sama dengan Bali dulu, sekarang di Bali mudah bagi kita umat muslim untuk menemukan warung yang mempunyai label halal, karena jumlah muslim di Bali semakin tahun meningkat, khususnya muslim asal Jawa. Itulah sedikit gambaran tentang sahur dan buka ketika di Bali, khususnya di daerah Jimbaran dan sekitarnya. Lalu,  bagaimana sikap toleransi non-muslim mayoritas terhadap Muslim yang sedang berpuasa?

Sekitar 84, 5% penduduk di Bali beragama Hindu, dan tak kurang dari 15 % penduduk yang memeluk agama Islam. Tentu hal itu tidak membuat kedua agama memiliki gesekan-gesekan yang membuat perdebatan atau pertentangan, malah banyak dari mereka yang non-muslim sangat menghormati muslim yang sedang berpuasa. Tak ada perlakuan buruk, baik dari sikap maupun perbuatan mereka yang dapat mengganggu ke-khusyuk-an puasa.

Hal itu dapat penulis sampaikan karena di lingkungan tempat penulis tinggal sendiri memang mayoritas adalah non-muslim, namun mereka sangat menghormati muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Bahkan kadang kala mereka menegur temannya yang lain ketika dengan sengaja mengganggu orang yang sedang berpuasa. Sebaliknya muslim juga tidak membuat keributan sehingga tak ada hal yang bisa menimbulkan konflik di sana.

Jadi tidak perlu ada kekhawatiran tentang Bali, tidak perlu ada persepsi negatif tentang kehidupan di Bali, memang semua tergantung bagaimana individu tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Tidak seperti yang diberitakan oleh manusia-manusia media yang tidak bertanggung jawab, yang mengatakan bahwa umat Hindu di Bali melakukan tindakan intoleran kepada umat muslim, seperti pelarangan ibadah, melarang memakai kerudung dan peci, dan penolakan penerapan Bank Syariah.

Memang ada sikap-sikap seperti itu, tetapi hanya oknum dan tidak mewakili umat Hindu secara global di Bali. Bahkan tokoh agama Hindu dan Ketua PHDI Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana menegaskan penolakan dan ketidaksetujuannya terhadap sikap beberapa oknum itu. Menurutnya, segenap umat Hindu tak boleh bersikap sektarian dan mengusik kenyamanan kelompok yang berbeda keyakinan. Jadi intoleransi itu hanya oknum, bukan kehendak bersama masyarakat Hindu, kalau ada yang bilang begitu, berarti membawa berita hoax belaka.

Ramadhan adalah bulan yang penuh keberkahan dari Allah SWT. Kita tidak boleh menyia-nyiakan bulan tersebut dengan berfikiran buruk. Di manapun kita berada tentu ada keburukan, tentu ada kejahatan, tetapi di balik itu tentu ada pula kebaikan yang membuat segalanya menjadi indah. Belum tentu kita yang tinggal di daerah mayoritas muslim tidak terusik dengan sesama muslim. Bisa jadi lebih banyak. Untuk itu, kami, umat muslim di Bali tak pernah merasa terusik. Kami enjoy menjalani puasa Ramadhan di Bali, dari tahun ke tahun. Kemajemukan dan toleransi itu indah. Esensi dari puasa bagi kami adalah dapat menjalankan ibadah dan bersanding dengan damai bersama yang berbeda dengan kami. Selamat menjalankan puasa.


*Mahasiswa Jurusan Management Bisnis Pariwisata di Politeknik Negeri Bali (PNB)