Oleh: Almara Sukma*
Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan yang mulia. Pada bulan Sya’ban pernah terjadi beberapa peristiwa luar biasa dan penuh kemuliaan. Selain itu, pada bulan Sya’ban juga terdapat malam yang diyakini sebagai malam yang paling utama dan mulia setelah malam lailatul qodar, yang disebut dengan malam nisfu Sya’ban.
Malam nisfu Sya’ban adalah malam pertengahan bulan Sya’ban. Pada malam ini umat muslim dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, shodaqoh, doa dan istighfar. Setelah melewati malam pertengahan bulan Sya’ban (tanggal 16 Sya’ban), ulama berbeda pendapat dalam hal berpusa. Dinukil dari kitab Alfiqhul Islami wa Adillatuh 3/635, Syekh Wahbab al-Zuhaili dalam Fiqhul Islami wa Adillatuhu menjelaskan:
قال الشافعية: يحرم صوم النصف الأخير من شعبان الذي منه يوم الشك، إلا لورد بأن اعتاد صوم الدهر أو صوم يوم وفطر يوم أو صوم يوم معين كالا ثنين فصادف ما بعد النصف أو نذر مستقر في ذمته أو قضاء لنفل أو فرض، أو كفارة، أو وصل صوم ما بعد النصف بما قبله ولو بيوم النص. ودليلهم حديث: إذا انتصف شعبان فلا تصوموا، ولم يأخذبه الحنابلة وغيرهم لضعف الحديث في رأي أحمد
Artinya: Ulama mazhab Syafi’i mengatakan, puasa setelah nisfu Sya’ban diharamkan karena termasuk hari syak, kecuali ada sebab tertentu, seperti orang yang sudah terbiasa melakukan puasa dahar, puasa Daud, puasa Senin-Kamis, puasa nadzar, puasa qadla, baik wajib ataupun sunnah, puasa kafarah, dan melakukan puasa setelah nisfu Sya’ban dengan syarat sudah puasa sebelumnya, meskipun satu hari nisfu Sya’ban.
Dalil mereka adalah hadits: Apabila telah melewati nisfu Sya’ban janganlah kalian puasa. Hadits ini tidak digunakan oleh ulama mazhab Hanbali dan selainnya karena menurut Imam Ahmad derajatnya hadis ini dlaif.
Dalil diatas menjelaskan akan larangan berpuasa setelah nisfu Sya’ban dikarenakan pada hari itu dianggap hari syak (ragu), dikhawatirkan akan ketidaksadaran kalau dia telah memasuki bulan ramadhan.
Ulama juga menjelaskan bahwa, larangan berpuasa di separuh terakhir bulan Sya’ban agar seseorang bisa mempersiapkan energinya untuk berpuasa di bulan ramadhan. Akan tetapi, ulama dari madzab Syafi’i memperbolehkan puasa bagi orang yang sudah mempunyai kebiasan berpuasa (seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, puasa dahar, dan lain-lain), puasa kafarah, qodho’ puasa dan melanjutkan puasa Sya’ban.
Ulama’ selain madzab Syafi’i berpendapat bahwa, hadits di atas dianggap dloif (lemah) dan termasuk hadits munkar, karena ada perawi (periwayat) hadisnya yang bermasalah. Oleh karena itu, sebagian ulama tidak melarang puasa setelah nisfu Sya’ban selama dia mengetahui kapan masuknya awal Ramadlan.
Dinukil dari kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani menjelaskan bahwa,
وقال جمهور العلماء يجوز الصوم تطوعا بعد النصف من شعبان وضعفوا الحديث الوارد فيه وقال أحمد وبن معين إنه منكر
Artinya: Mayoritas ulama membolehkan puasa sunah setelah nisfu Sya’ban dan mereka melemahkan hadits larangan puasa setelah nisfu Syaban. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan hadits tersebut munkar.
Dari penjelasan di atas bisa kita ketahui bahwasanya, para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa sunnah setelah nisfu Sya’ban. Akan tetapi, pada sisi lain para ulama bersepakat akan kebolehan puasa sunah bagi orang yang sudah terbiasa melakukannya (seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, puasa dahar, dan lain-lain). Ulama juga memperbolehkan puasa bagi orang yang ingin mengqodho’ puasa, membayar kafarah, dan orang yang ingin melanjutkan puasa setelah puasa nisfu Sya’ban.
*Alumnus Mahad Aly Hasyim Asy’ari.