Oleh: Rasyida Rifa’ati Husna
Dalam sebuah perjalanan hidup yang penuh dedikasi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai Pendiri Pesantren Tebuireng dan Organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama telah mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia. Ia merupakan pendidik, pendakwah, dan pejuang yang mempunyai misi untuk menegakkan persatuan serta perdamaian.
Gagasan dan pemikirannya banyak mewarnai sejarah panjang bangsa ini. Salah satu pemikirannya yang patut kita pelajari dan teladani ialah perihal toleransi dan persaudaraan. Sebab, tanpa sikap toleransi dan persaudaraan yang kuat, mustahil bangsa Indonesia yang secara nyata telah ditakdirkan menjadi bangsa yang terdiri dari beragam etnis, suku, adat istiadat, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya dapat hidup dalam kerukunan, persatuan, dan harmoni.
Kiai Hasyim Asy’ari menyadari bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang damai diperlukan adanya saling menghormati dan menghargai persaudaraan, serta toleransi di antara umat beragama di Indonesia, dengan berpijak dari sumber ajaran agamanya yakni al-Quran dan sunnah. Dalam Al-Quran sendiri hal ini telah diajarkan dalam surah al-Baqarah: 213, Al-Ma’idah, 8, al-Hujurat: 13, dan al-Nahl: 125.
Melalui ayat-ayat di atas, Kiai Hasyim menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa berinteraksi antara satu dengan yang lain. Karenanya, dalam relasi sosial tersebut diperlukan sikap-sikap yang beradab dan toleran. Sikap tersebut ditunjukkan dengan saling menghargai dan menghormati di antara sesama anak bangsa yang berbeda-beda latar belakang.
Sebagaimana pula dalam Hadits, Nabi Muhammad Saw., pernah bersabda, “Kaum mukmin adalah bersaudara satu sama lain. Ibarat dalam suatu bangunan, satu bagian memperkuat bagian lainnya.” Kemudian beliau menyelipkan jari-jari di satu tangan dengan jemari tangan lainnya agar kedua tangannya tergabung. (HR. Bukhari) Dalam redaksi yang lain, “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Oleh sebab itu, janganlah menzalimi, meremehkan, dan jangan pula menyakiti.” (HR. Ahmad)
Petunjuk Al-Quran dan Hadits inilah yang selanjutnya mendorong Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari untuk menegaskan pentingnya menerapkan empat prinsip bermasyarakat yang harus dipedomani terutama oleh warga NU:
Pertama, tawasuth (moderat), yaitu sikap yang menjunjung tinggi moderatisme beragama, menghindari segala bentuk rigiditas dan ekstrimisme dalam mengimplementasikan ajaran-ajaran agama, dan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama.
Kedua, tawazun, yakni sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah, kepada sesama manusia, serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
Ketiga, tasamuh atau memiliki toleransdi terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’iyah, atau masalah khilafiyah. Selain itu, juga dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Yang terakhir, amar ma’ruf nahi munkar, yakni selalu memiliki kepekaan untuk mengajak untuk bersama-sama berperilaku baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama. Di lain sisi menolak da mencegah semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dari empat prinsip di atas, tampak pemikiran keagamaan dan kebangsaan Kiai Hasyim Asy’ari yang sejatinya menekankan pentingnya persatuan, persaudaraan, dan toleransi. Kiai Hasyim berharap masyarakat khususnya umat Islam dapat memiliki sikap-sikap tersebut terutama dalam konteks negara yang menganut kebinekaan dan demokrasi.
Dalam beberapa kesempatan, KH. Hasyim Asy’ari telah memberikan teladan untuk bersikap toleran kepada pemeluk agama lain, salah satu contohnya adalah penerimaan terbuka Hadratussyaikh atas kedatangan Gubernur Belanda Van Der Plas yang bertamu di rumah beliau. Beberapa tokoh Barat yang lain pun ketika berkunjung, beliau akan menerima dan menjamunya dengan tangan terbuka.
Baca artikel Harlah 125 Tebuireng:
Konsep Silaturahmi KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab at-Tibyān
Bukti Kenyentrikan Pesantren Tebuireng Sudah Ada Sejak 1919
Tasawuf Syaikh Siti Jenar, dari Hadratussyaikh untuk Tebuireng
Selain itu, ada juga saat Kiai Hasyim berkenan dimintai tolong untuk mendoakan dan mengobati salah satu pegawai Belanda yang notabene non-Muslim pada saat para dokter dan tabib tradisional pada saat itu tidak mampu mengobati anak si pegawai tersebut. Kiai Hasyim berkenan mengobati yang lambat laut menggerakkan hati si pegawai beserta keluarganya untuk masuk Islam.
Kisah toleransi Kiai Hasyim yang lain, yaitu ketika salah seorang santrinya yang baru datang dari Yogyakarta hendak melaporkan sesuatu. Menurut pengakuan santri tersebut, ia melihat sekelompok aliran sesat. Beliau pun bertanya mengenai aliran sesat tersebut.
KH. Hasyim Ashari pun bertanya-tanya perihal aliran sesat tersebut. Santri pun menjelaskan ciri-ciri aliran tersebut yang memiliki perbedaan tidak melaksanakan pembacaan qunut saat salat subuh dan pimpinannya bergaul dengan organisasi Budi Utomo. Santri pun menjelaskan bahwa pemimpin tersebut bernama Haji Muhammad Darwis.
Mendengar penjelasannya santrinya tersebut, Kiai Hasyim hanya tersenyum dan mengatakan bahwa Haji Muhammad Darwis tak lain ialah ulama yang dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah merupakan temannya ketika menuntut ilmu di tanah suci. Beliau juga menjelaskan bahwa kelompok yang dilihat santrinya itu bukanlah aliran sesat. Malah kemudian KH. Hasyim Asy’ari mengajak santrinya dengan berkata, “Ayo padha disokong!” (Ayo, kita dukung sepenuhnya).
Dari kisah di atas, ada hikmah penting yang perlu kita contoh. Sikap Kiai Hasyim Asy’ari ketika mendengar adanya aliran sesat dari santrinya, beliau tidak tergesa-gesa memberikan judgement. Namun dengan bijaksana KH. Hasyim Asy’ari menanyakan ciri-cirinya secara detail sebelum memberikan sebuah pernyataan.
Pengalaman beliau hidup di Timur Tengah telah memberinya pemahaman baik soal furuiyah. Ia sangat bijaksana menyikapi persoalan agama dalam ruang lingkup khilafiyah. Perbedaannya dengan KH. Ahmad Dahlan terkait penggunaan qunut saat salat subuh pun hanyalah bagian dari khilafiyah, bukanlah furuiyah yang harus di bawa ke ranah sesat atau tidak.
Kiai Hasyim menyadari bahwa perbedaan pandangan keagamaan, khususnya masalah-masalah khilafiyah dapat menimbulkan perpecahan dan menyebabkan hilangnya persaudaraan dan toleransi. Perbedaan dalam ijtihad hukum Islam, sebagaimana disampaikan ulama terdahulu, merupakan jembatan emas bagi siapapun yang melaksanakannya. Jika benar, akan mendapatkan dua pahala, dan jika salah pun, mendapatkan satu pahala.
Karena itu, pentingnya nilai toleransi dan persaudaraan yang seharusnya dimiliki dan mendarah-daging dalam diri setiap muslim. Keduanya merupakan sesuatu yang sangat esensial karena akan menjadi prasyarat untuk membentuk masyarakat dan bangsa yang kuat.
Dengan demikian, pemikiran dan gagasan besar KH. Hasyim Asyari terkait toleransi dan persaudaraan sangat relevan untuk kembali dihidupkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, terutama pada masa sekarang dimana Indonesia sering kali dihadapkan pada konflik antar umat beragama.