Oleh: Moh. Minahul Asna*
Tujuan Pesantren Tebuireng adalah untuk menanamkan iman Islam di masyarakat. Pesantren Tebuireng hanya mengajarkan agama secara sorogan dan bandongan, dengan bahasa pengantar Bahasa Jawa pego. Setiap jenis pengajaran tidak dibedakan berdasarkan jenjang kelas. Bergantinya kitab yang telah dibaca (khatam) menunjukkan peningkatan kelas. Selain itu, para santri diajarkan cara berbicara dalam Bahasa Arab, yang disebut sebagai muhadatsah.
Seiring waktu, sistem dan metode pengajaran diperluas, termasuk kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Kelas musyawaroh memiliki penilaian yang sangat ketat, sehingga sangat sedikit siswa yang masuk. Kiai Alwi, saudara ipar Hadratussyaikh, membantunya saat itu.
Dengan bantuan menantu Hadratussyaikh dan penulis Amtsilatut Tashrifiyyah, KH. Muhammad Ma’shum bin Ali, Hadratussyaikh mendirikan madrasah pertama yang menawarkan pendidikan klasikal pada tahun 1916. Sekolah ini memiliki tujuh jenjang pendidikan. Jenjang pertama dan kedua disebut sebagai “sifir awal” dan “sifir tsani”, dan mereka adalah jenjang persiapan untuk lima tahun berikutnya.
(Tebuireng Tahun 1987)
(Tebuireng Tahun 1983)
Kurikulum Madrasah Tebuireng ditambahkan mata pelajaran Bahasa Indonesia, matematika, dan geografi pada tahun 1919. Ini adalah terobosan baru yang belum pernah dilakukan oleh pesantren lain di Indonesia pada saat itu. Muhammad Ilyas, keponakan Hadratussyaikh, membantunya sebagai Lurah Pondok dan Kepala Madrasah sekaligus menjadi Menteri Agama. Kurikulum memasukkan materi Bahasa Indonesia (Melayu), Bahasa Belanda, sejarah, ilmu berhitung, ilmu bumi, dan penulisan huruf latin.
Madrasah Nizhamiyah didirikan pada tahun 1934 oleh KH. Abdul Wahid Hasyim, putra Hadratussyaikh yang baru pulang dari Mekkah. Ini mengajarkan 40% ilmu agama dan 60% ilmu pengetahuan umum. Madrasah Nizhamiyah tidak hanya mengajarkan bahasa Arab dan Belanda, tetapi juga mengajarkan bahasa Inggris dan keterampilan mengetik. Perpustakaan dengan lebih dari 1.000 buku didirikan oleh KH. A. Wahid Hasyim dan Kiai Ilyas. Sistem pengajian kitab dan kelas musyawaroh yang diawasi Hadratus Syeikh tidak berubah karena keberadaan Madrasah Nizhamiyah.
(Tebuireng Tahun 1974)
Ke-Nyentrikan Pesantren Tebuireng dalam memunculkan inovasi ini tidak hanya bersumber dari mulut ke mulut. Penelusuran Jejak Intelektual Hadratussyaikh di Kudus pada Senin, 13 Mei 2024 lalu, Tim Turots Tebuireng membawa bukti yang valid terkait hal ini. Kami menemukan Buku Catatan tentang Geografi yang dicatat oleh Kiai Da’in, adik dari KH. Asnawi Kudus pada tahun 1932 (dua tahun sebelum Madrasah Nizhamiyah didirikan).
(catatan yang menunjukkan tahun ditulis)
Dalam catatan tersebut secara ringkas, beliau mencatat “ono ing wiwitane tahun iki (1932)”, “ada di awal tahun ini (1932)” ada karesidenan yang didirikan pada tahun 1928. Catatan tersebut juga menyebutkan luas pulau jawa yakni 50.000 KM2. Di catatan tesebut juga menerangkan jumlah penduduk Pulau Jawa yang berjumlah 34.984.171 jiwa.
(awal dari catatan Kiai Da’in)
Catatan tersebut hanyalah salah satu bukti yang baru ditemukan. Tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada bukti lain yang menguatkan Pesantren Tebuireng adalah lembaga pendidikan yang terus berkembang dari masa ke masa. Pesantren Tebuireng tidak takut untuk berubah menyesuaikan zaman untuk menyiapkan generasi penerus bangsa, Madrasah Nidzamiyah contohnya.
Penulis meyakini bahwa perubahan pada saat itu masih dianggap sangat tabu bagi kebanyakan pesantren saat itu dan Pesantren Tebuireng berani mendobrak sebuah perubahan. Entah seperti apa paradigma pemerintahan pada saat itu, yang pasti perubahan Tebuireng bukan tanpa alasan.
Semoga 125 tahun Pesantren Tebuireng semakin berintegritas dalam membangun tanah air dan mengkader penggerak bangsa. Amin…
* Mahasantri Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.