Hingga saat ini, Pesantren Tebuireng telah mencetak jutaan alumni di seluruh nusantara. Para alumni itu pun tidak semuanya menjadi ulama, melainkan beragam sesuai dengan tupoksinya. Ada yang berkarier sebagai abdi negara, ada yang mengabdikan diri di dunia politik, ada yang kembali ke kampung halaman untuk mengajar atau bertani, ada pula yang berdagang, dan beragam profesi lainnya.
Tidak hanya santri-santri Tebuireng yang terus mengharumkan nama pesantren. Para dzuriyah atau keluarga ndalem Tebuireng sendiri hingga kini banyak yang dikenal sebagai tokoh bangsa. Mulai dari pendiri pesantrennya, yakni Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, putra beliau KH. A. Wahid Hasyim, cucu beliau KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan seterusnya.
Para masyayikh Tebuireng ini hingga kini dikenal sebagai orang-orang yang terlampau luar biasa pada zamannya. Hadratussyaikh sendiri merupakan gurunya para ulama, pendiri organisasi Islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama, serta berperan aktif dalam kemerdekaan Indonesia hingga menjadikannya diberi gelar pahlawan nasional.
Sementara Kiai Wahid merupakan seorang organisatoris yang ikut aktif dalam perumusan kemerdekaan Indonesia dalam berbagai lembaga, mulai dari MIAI, Masyumi, Hizbullah, BPUPKI, PPKI, sampai menjadi menteri agama pertama di Indonesia.
Kemudian Gus Dur, kiprahnya kala itu dianggap melampaui batas dan tidak masuk pikiran orang-orang pada umumnya. Selain menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur juga dikenal sebagai bapak pluralisme, seorang yang humanis, bapak bangsa, dan kiai yang menyejukkan. Hal itu tidak dapat dipungkiri, maqbarah Tebuireng pun ramai di kunjungi oleh para peziarah dari berbagai penjuru dunia.
Hal ini menjadikan publik bertanya-tanya, ajaran dan amalan apa yang diajarkan dalam pesantren hingga menjadikan Tebuireng tetap eksis sampai sekarang. Dalam Islam sendiri, ada ilmu sufi atau ilmu tasawuf. Menurut Syaikh Islam Zakaria Al-Anshari, ilmu tasawuf adalah ilmu yang menerangkan cara-cara mencuci bersih jiwa, memperbaiki akhlak, dan membina kesejahteraan lahir serta batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.
Tentang ajaran tasawuf yang menjadikan orang-orangnya melampui manusia biasa, dapat dipastikan karena Hadratussyaikh. Lantas, apa komitmen sufisme kiai Hasyim Asy’ari? Sebagaimana yang disampaikan Agus Sunyoto, bahwa Hadratussyaikh menganut paham tasawuf Siti Jenar. Pernyataan ini terkait kesakasian kakek Sunyoto yang mengamalklan ajaran Syaikh Siti Jenar.
Kakek Sunyoto yang merupakan santri angkatan pertama Tebuireng ini memperoleh ilmu tersebut dari Kiai Hasyim Asy’ari. Fenomena tersebut semakin diperkuat dengan penelusurannya ke beberapa sumber yang menjelaskan hal yang sama.
Sanad Keilmuan Tasawuf Syaikh Siti Jenar
Lantas, bagaimana sanad keilmuan ajaran sufi – monoisme dan pantheisme – Jawa tersebut diperoleh? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kiranya kita merujuk kembali pada asal usul nenek moyang Kiai Hasyim. Hadratussyaikh merupakan keturunan langsung Jaka Tingkir (Mas Krebet/Sultan Hadiwijaya). Sementara Jaka Tingkir adalah anak kandung dari Ki Kebokenongo (Ki Ageng Pengging) yang mana adalah seorang keturunan Raja Brawijaya VI.
Sesuai dengan catatan dalam serat Siti Jenar – buku yang dijadikan rujukan ajaran Syaikh Siti Jenar – Ki Ageng Pengging yang masih menganut tradisi lama (Hindu-Buddha) kemudian menerima Islam, saling berguru dengan Syaikh Siti Jenar (esoterisme Islam). Mereka saling berbagi dan menerima ilmu satu sama lain.
Dikisahkan bahwa Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar berada di Pengging selama tiga hari. Ia selalu melakukan sarasehan dengan Ki Ageng Penging sampai tuntas. Ia juga tak tanggung-tanggung dalam memahami makna ilmu, pengetahuan Buddha dan Islam. Artinya, nenek moyang Hadratussyaikh belajar langsung kepada Syaikh Siti Jenar.
Ciri Tasawuf Siti Jenar
Terkiat dengan hal tersebut, berdasarkan penelusuran penulis, yakni Serat Siti Jenar karya Raden Mas Ngabehi Mangunwijaya, terungkap bahwa ciri tasawuf Siti Jenar ialah sebagai berikut:
Pertama, egaliter. Sikap egaliter dalam ajaran sufi ini tercermin dari gaya pengajaran dan karakter kesiswaan yang menjadi anggotanya. Dalam pengajaran tasawuf ini tidak mengenal hirarki antara guru dan murid. Setiap murid bisa menjadi guru, dan setiap guru bisa menjadi murid. Artinya, mereka semua saling belajar (guru ginuru).
Kedua, basis pelaku tasawuf ini adalah pedesaan dan pertanian. Meminjam hirarki bahasa Jawa, masyarakat Jawa tidak mengenal bahasa Krama Madya dan Krama Inggil, melainkan bahawa Jawa Ngoko. Karena setiap orang adalah sederajat. Akan tetapi, hal itu tetap memerhatikan degan siapa lawan bicaranya. Karena adab dan sopan santun tetap ditegakkan dalam ajaran ini.
Ketiga, menggunakan bahasa dan simbol-simbol lokal masyarakat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang di dalamnya terdapat bahasa Kawi dan Sanskerta. Sementara bahasa Arab yang diguakan pun harus diucapkan dalam aksen Jawa yang kental.
Keempat, tidak fanatik pada kekuasaan. Secara sosial politik, mereka tidak menganut atau menjadi anggota fanatik pada penguasa tertentu. Karena ketaatan pada penguasa menjadilan diri mereka diperintah oleh selain Allah. Selain itu, tasawuf ini juga menolak konsep maningguling kawula Gusti terjadi pada manusia – antara rakyat dan penguasa. Konsep maningguling kawula Gusti hanya berlaku antara manusia dengan tuhannya. Apabila dipraktikkan dalam kehidupan sosial masyarakat akan menimbulkan kasta-kasta sosial penjajahan manusia atas manusia.
Kelima, menerima sikap penolakan terhadap organized religion sebagai agama resmi penguasa. Agama yang dijadikan bagian dari instumen kekuasaan tidak untuk dijadikan sebagai jalan ketundukan dan kepatuhan pada tuhan dan spirit pemberian pelayanan mamksimal pada kaum papa, melainkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan atas nama agama.
Keenam, menolak masjid sebagai tempat konsolidasi kekuasaan. Dalam konteks ini, mereka memahami bahwa masjid bukan untuk digunakan membangun satu kesepahaman politik, budaya dan keagamaan. Masjid sepenuhnya digunakan sebagai tempat menimba ilmu dan beribadah pada Allah SWT. Masjid yang digunakan untuk membangun loyalitas politik penuh dengan kebohongan dan manipulasi.
Ketujuh, nyawa guru adalah nyawa murid, penderitaan guru adalah penderitaan murid, kebahagiaan sang guru adalah kebahagiaan murid juga. Hal ini berkaitan pula dengan sanad keilmuan, yakni continue and change. Seperti yang dikatakan oleh seorang pemikir Islam Hassan Hanafi, bahwa tidak ada kreasi tanpa sumber-sumber, tanpa pengembangan akar-akar awal dan tanpa diservikasi pola-pola yang sudah ada.
Lebih jauh, Hanafi menyatakan dan memberikan perumpamaanya seperti, “Andaikata saja dulu tidak ada Socrates, maka Plato pun tidak ada. Sebagaimana seandainya dulu tidak ada Al-Farabi, maka Ibnu Sina tidak akan pernah ada. Oleh karena itu, kreator-kreator melangkah dengan meniru pendahulu-pendahulu mereka sampai akhirnya mereka menemukan ciri khas mereka sendiri.”
Itulah ajaran tasawuf Syaikh Siti Jenar yang diajarkan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada anak-anak dan santri-santrinya. Ajaran sufi itu secara tidak langsung membentuk karakter murid-muridnya menjadi manusia-manusia yang berintegritas dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip hidup tanpa meninggalkan ajaran Islam. Wallahu a’lam bissawab
Baca Juga: Kaji Topa Gading Rejo Pasuruan, Tuan Tanah Pencinta Hadratussyaikh
Ditulis oleh Rokhimatul Inayah, Freelance Content Writer