Oleh: Silmi Adawiyah*
Tradisi penggunaan petasan dan kembang api berawal dari negara Cina sejak abad ke-11, yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Sung (926M – 1279M). Bahan dasar petasan dan kembang api, yaitu mesiu, banyak digunakan dalam peperangan melawan ekspansi Mongolia pada tahun 1279M. Sedangkan di Indonesia, petasan dan kembang api ini pertama kali dikenalkan oleh bangsa Tionghoa yang berada di Batavia (sekarang menjadi kota Jakarta) pada tahun 1740 melalui perayaan Peh Cun dan perayaan tradisi Cina lainnya. Tradisi ini kemudian diikuti oleh masyarakat Betawi dalam merayakan pesta pernikahan atau khitanan.
Menurut Sejarawan Betawi, Alwi Shahab, bahwa pada jaman dahulu, jarak antara rumah satu dengan yang lainnya sangat berjauhan, sehingga diperlukan bunyi petasan untuk memberitahu bahwa ada perayaan pesta di suatu tempat. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan petasan ataupun kembang api juga mengalami perubahan fungsi. Bagi etnis Tionghoa adalah untuk mengusir roh-roh jahat dan bagi masyarakat Betawi lebih digunakan sebagai sarana komunikasi, sedangkan bagi sebagian orang digunakan untuk hiburan semata.
Menjelang hari raya Idul Fitri, atau masuk akhir pekan bulan Ramadan banyak orang mulai menggunakan petasan untuk meramaikan suasana. Bagi sebagian besar orang, hal ini cukup mengganggu karena menimbulkan kebisingan. Selain itu, penggunaan petasan atau kembang api dinilai juga membahayakan jiwa orang lain. Petasan dan sejenisnya merupakan barang gelap yang berarti barang yang dilarang.
Disebutkan dalam Syarh Al Bukhari bahwa orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti dengan seekor semut. Dalam hal petasan sudah jelas akan mengganngu orang lain karena suara bising yang ditimbulkan. Belum lagi, bahaya yang mengancam jiwa, tidak hanya pengguna saja tetapi orang-orang disekitarnya. Hal ini juga ditegaskan dalam hadist Rasulullah:
“Janganlah membuat bahaya (terhadap orang yang tidak membuat bahaya terhadapmu). Janganlah pula membuat bahaya (dalam rangka membalas dendam)” Selain mengganngu, dalam petasan tersebut terdapat dua unsur yang perlu dihindari, yaitu tabdzir (menghamburkan harta) dan dharar (bahaya). Kedua hal tersebut dilarang oleh Allah, karenanya tabdzir dan dharar perlu dijauhi dalam Islam. Dalam QS Al Isra ayat 26-27 disebutkan:
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Dalam tafsirnya, Ibn Katsir mengutip Qatadah untuk mendefinisikan tabdzir sebagai “An-nafaqah fi ma’shiyyah Allah ta’ala, wa fig hair al-haq wa al- fasad” (menggunakan harta untuk maksiat, sesuatu yang tidak benar, dalam kerusakan). Dalam bahasa kita, definisi itu kurang lebih berarti pemborosan atau belanja yang tidak perlu dan tidak berguna, dengan tekanan untuk mengkorelasikannya dengan semangat dan nilai keagamaan. Adalah kesepakatan umum bahwa petasan termasuk dalam definisi ini, karena tidak ada manfaat rasional maupun keagamaan yang dapat kita petik dari petasan.
Dalam hal dharar (bahaya), petasan sudah cukup banyak memberikan bukti yang ditimbulkan akibat dari penggunaan petasan. Hampir bisa dipastikan, pada masyarakat yang mengenal budaya petasan terdapat aneka kisah korban petasan, baik berupa korban harta (terkadang dalam jumlah yang sangat besar) maupun korban manusia (dari sekadar luka bakar, cacat permanen, hingga korban jiwa).
Dari penjelasan diatas, petasan sudah memiliki kontradiktif dengan maqashid as-syari’ah (tujuan-tujuan diberlakukannya syariat), antara lain adalah hifzh an-nafh (menjaga keselamatan jiwa) dan hifdz al-mal(menjaga nilai harta benda). Dua potensi kontradiksi ini cukup untuk menggolongkan petasan sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan agama.
Sebagian kelompok masih ada saja yang menilai bahwa petasan adalah sebagian dari syi’ar Ramadan. Yang seperti itu menandakan bahwa mereka belum melihat sisi negatif petasan sendiri. Mereka perlu meninjau kembali fungsi syi’ar Ramadan tersebut, yang selalu menyelipkan kekhawatiran dari setiap petasan yang dimainkan.
Alangkah indahnya jika akhir Ramadan kita ramaikan dengan tadarus Quran, syi’ar Islam yang jelas bernilai ibadah, serta sangat dianjurkan dan tidak memiliki potensi dalam menciptakan kerusakan dan kekhawatiran warga sekitar.
*Alumni Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang.