sumber foto: www.google.com

Oleh: M. Abror Rosyidin

Penulis sering sekali dalam setiap Ramadan melakukan rihlah kecil-kecilan dengan kawan atau sendiri, menjelajahi mushalla dan masjid-masjid untuk mengikuti shalat tarawih. Tak jarang di setiap masjid dan mushalla itu tradisi dan tatacara pelaksanaan shalat tarawihnya berbeda. Ada masjid yang dikelola oleh Nahdliyin, ada pula yang dikelola orang-orang Muhammadiyah, atau ormas Islam lain.

Di masjid Muhammadiyah, umumnya melaksanakan shalat tarawih 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Sementara di masjid NU, melaksanakannya dengan 20 rakaat plus 3 rakaat witir, umumnya dengan bacaan dan gerakan yang relatif cepat, sedangkan masjid Muhammadiyah membacakan surat yang lebih panjang dan gerakan lebih santai.

Nahdliyin dalam melakukan shalat tarawih juga terdapat seorang muraqqi atau bilal yang membacakan shalawat-shalawat sebagai penyela antar shalat. Sementara untuk Muhammadiyah tidak ada. Doa yang dibacakan pun juga sirr (pelan), sedangkan Nahdliyin cenderung semangat dan keras-keras alias jahr.

Masih banyak lagi perbedaan-perbedaan ada antara pelaksanaan shalat tarawih di masjid-masjid berlabel ormas tertentu. Tentu akan sangat senang bisa shalat di masjid yang seormas dengan kita. Penulis orang NU, tentu suka shalat di masjid Nahdliyin. Namun, bagaimana kita ketika di perjalanan? Bagaimana kita ketika benar-benar ada di lingkungan mereka? Akankah egoisme ormas dan aliran membuat kita sungkan, atau bahkan merasa tabu dan saru shalat di tempat mereka?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bukankah setiap dari tata cara itu didasari atas dalil dan hujah masing-masing. Mengapa perlu ada rasa tabu? Atau bahkah naudzubillah, sampai ada pengusiran jamaah shalat. Masjid itu tempat ibadah untuk umat Islam, semua umat Islam. Maka baik jamaah maupun pengelola seharusnya menempatkan fungsi masjid pada asalnya.

Jadi, seharusnya tidak perlu ada lagi stigma, yang shalat di Masjid Muhammadiyah ya orang-orang Muhammadiyah, dan yang shalat di Masjid orang NU harus Nahdliyin. Terkait dengan shalat tarawih 8 dan 20 rakaat, penulis merasa tak perlu lagi harus canggung melaksanakan keduanya. Karena perbedaan ini sifatnya furu’iyah (perkara cabang) bukan ushuliyah (perkara dasar seperti akidah). Orang NU juga boleh kok melaksanakan tarawih 8 rakaat, orang Muhammadiyah juga boleh melaksanakan tarawih 20 rakaat. Tidak ada larangan.

Dalam pengalaman penulis shalat di masjid-masjid yang berbeda dengan ormas yang diikuti penulis, tak ada hal yang harus dikhawatirkan. Apalagi saat perjalanan jauh, di mana saja masjid yang kita singgahi ya itu lah yang harus kita gunakan semaksimal mungkin untuk ibadah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Saat kita berada dalam lingkungan yang tradisinya berbeda pun, kita tak perlu harus merasa orang lain. Untuk hal-hal furuiyyah itu merupakan rahmat dari Allah yang patut disyukuri.

Penulis kasih contoh lagi, terkadang ada egoisme dalam bermadzhab. Walau sebagian besar Nahdliyin adalah Syafi’iyah, tapi bukan berarti mereka tidak boleh melaksanakan praktik ibadah ala madzhab lain. Di Arab Saudi, shalatnya tidak berqunut, tidak membaca bismillah secara keras dalam membaca al Fatihah, saat kita melaksanakan haji, kita bisa menghindarinya? Masak ya kita mau shalat sendiri, padahal shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah utama-utamanya shalat kata Rasulullah SAW.

Menjadi muslim yang cerdas sangat diperlukan di era millenial ini. Muslim yang tidak kagetan dan tidak suka menyalahkan, dan tidak membuka diri bergaul dengan saudara seiman yang berbeda pemikiran dan aliran. Kalau tasamuh atau toleransi antar umat beragama saja kita bisa, kenapa toleransi antar umat Islam tidak? Toleransi-toleransi itu tak perlu kita harus masuk ke aliran mereka, tapi jikalau dalil dan hujah praktik ibadah mereka berdasar, dan tak ada larangan untuk melakukannya, kenapa tidak? Minimal kalau kita masih canggung melakukannya, kita menghormati dan menghargai, tidak menhujat, tidak mencaci, dan menyalah-nyalahkan.

Imam Syafi’i adalah contoh yang baik soal ini. Sang Imam pernah berbeda pendapat dengan sang guru, Imam Malik soal Qunut shalat shubuh. Namun, saat berkunjung ke kediaman Imam Malik, Imam Syafi’i tidak melaksanakan qunut, padahal ia adalah pengamal qunut. Kalau saja Imam Syafi’i egoismenya dikedepankan, tentu hubungannya dengan gurunya akan berbeda.

Satu lagi teladan, dari guru kita, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pernah berbeda soal kentongan dengan sahabatnya Kiai Faqih Maskumambang Gresik. Kiai Hasyim menganggap bahwa kentongan haram karena disamakan dengan lonceng di gereja, sedangkan Kiai Faqih menganggap berbeda. Tapi perbedaan ini tak menjadi konflik besar. Saat Kiai Hasyim berkunjung ke Maskumambang, seluruh kentongan di Gresik disembunyikan untuk menghormati sang Rais Akbar NU.

Contoh yang diperagakan oleh Imam Syafi’i dan Kiai Hasyim tentu sangat bisa diterapkan umat Islam sekarang ini. Kalaupun Imam Syafi’i dan Kiai Hasyim tidak mau menurunkan egonya, tentu hubungan dengan guru dan sahabat mereka bisa renggang. Semoga persatuan dan persaudaraan umat bisa beranjak membaik lagi, terutama pasca pilpres yang menguras tenaga, pikiran, dan hati.

*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.