sumber foto: http://2.bp.blogspot.com/-PiCQTW06VtY/VZHpsbRC9eI/AAAAAAAAAXI/jGI05jrPktg/s500/ibu.png

Oleh: Khoshshol Fairuz*

Lebaran bisa jadi adalah arti dari apa-apa yang membuat seseorang pulang kepada suatu tempat yang ia anggap rumah, tempat yang bukan berupa rumah sungguhan, ia cukup mendefinisikan sesuatu yang kokoh dan tenang. Sebuah rumah yang pernah menumbuhkan rasa lengkap dalam dirinya, sebuah keluarga, sebuah keinginan untuk berkumpul. Seperti keinginan Emak Tijah untuk sendirian, meski disore hari menjelang buka puasa itu ada Emen dan Rifah di sana menunggui ibu mereka sampai selesai melamun.

“Mak, nasi yang kita masak apa tak terlalu sedikit untuk dimakan bertiga?”

Suara Rifah seperti dengungan serangga kecil bagi Emak Tijah, orang tua itu masih saja melamun meski sebenarnya mendengar. Emen tak kalah akal, lelaki kecil itu tidak ingin banyak bicara seperti kakak perempuannya. Didekati Emak Tijah, kemudian ia cabut rumput yang berbunga paling panjang, lalu dengan sedikit hati-hati Emen mulai menggelitik lubang telinga ibunya.

“Nah! Kau makan rumput-rumput di halaman rumah kita saja itu kalau kurang nasi!” Bentak Emak Tijah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Beras kita masih banyak, Mak! Apa kata orang kalau anak ketua arisan ibu-ibu Dusun Kalisabuk mati kelaparan,” tidak biasanya suara Rifah sekeras itu.

“Peduli apa orang-orang dengan kita? Mereka cuma seperti burung yang terbang di atas sana, yang mereka lihat di bawah sini ya tidak sebenarnya begitu. Jangan banyak tanya, segera kau gelar tikar itu. Bawa nasi dan lauknya kemari.”

Emen sebenarnya adalah laki-laki yang ingin berusaha menanggung perasaan kakak perempuannya, sebagai sesama anak Emak Tijah ia juga merasakan jika setiap hari jatah makanan mereka semakin berkurang. Lelaki memang harus bicara di depan, tapi Emen terlalu kecil untuk berbicara tentang hal itu. Langkah kakinya gontai setelah sebelumnya ia ditabok tiga kali oleh Emak Tijah, dasar anak kecil, imajinasi Emen tentang rumput dianggap melanggar norma keluarga.

Dua anak itu bangkit mengambil nampan, masing-masing dari mereka membawa empat jenis masakan, nasi, sambal bawang goreng, tahu bumbu, kemudian kolak pisang. Emak Tijah memberi aba-aba untuk mengambil bagian nasi. Bagian nasi adalah bagian yang telah ditentukan oleh Emak Tijah, yaitu sepuluh sendok makan. Sedangkan lauk dan kolak bisa mengambil sesuka hati mereka.

Beras sebenarnya merupakan hal lumrah bagi warga Dusun Kalisabuk, tidak ada yang menganggap segenggam beras seperti harga emas satu ons. Harga olahan nasi pun tergolong standar, hanya memang terdapat beberapa warga kreatif yang mengolahnya menjadi makanan bentuk lain seperti nasi goreng atau kerupuk nasi. Apalagi cerpen ini memang tidak dibuat untuk menceritakan nasi dan teman-temannya saja, lebih dari nasi, lebih dari kekenyangan tertunda keluarga Emak Tijah.

“Mak, soal nasi itu … ” Suara Rifah melunak setelah sholat maghrib. Ibunya memandang sekilas sambil terus melafadkan zikir, mengangkat kedua alisnya bersamaan.

“Esok sahur terakhir, Mak.”

“Lalu?” Tanya Mak Tijah

“Bagaimana kalau kita masak nasi lebih banyak dan beli daging ayam malam ini?”

“Untuk?”

“Emak tahu lah kenapa, sesekali. Biar Emen juga gampang dibangunkan.”

Emak Tijah manggut-manggut seperti mengerti sesuatu.

“Sudah, sekarang ke mushola. Ajak Cemen.”

Rifah berbinar, ia dan adiknya akan makan sahur paling tidak berlauk opor ayam atau ayam goreng atau balado ayam atau atau atau ….

“Maaaak! Ada telepon.”

“Siapa Men?”

“Pesantren.”

Emak Tijah bergegas bangkit menuju Emen yang sejak tadi asyik membuka permainan. Telepon dari pesantren sebenarnya adalah telepon dari anak pertama di keluarga ini, Jadid namanya, hampir tiga tahun tidak pulang.  Emak Tijah mengucapkan salam lalu dilanjutkan pula dengan menjawab salam, rupanya keduanya berebut salam seolah memberitahu satu sama lain siapa yang paling menunggu. Terdengar klise jika orang tua akan selalu rindu kepada anak-anaknya yang jauh dari rumah, tapi begitulah cerita mereka. Emak Tijah menjauh dari jangkauan dengar dua anaknya, lima menit kemudian telepon ditutup, ada kerinduan yang lagi-lagi terpotong sesuatu.

Tarawih terakhir, jamaah di mushola tampak lebih banyak di hari sebelumnya bahkan lebih banyak juga dibanding hari pertama puasa. Para tetangga yang tidak biasanya tarawih ikut serta, ditambah lagi anak-anak rantau sudah pulang kampung. Semaraknya mirip dengan pesta saja, orang-orang tua tertawa sambil memberitahukan kepada orang-orang tua lain jajanan apa yang sudah mereka buat, anak-anak polos tak ketinggalan berdebat soal baju siapa yang paling bagus dan mahal. Hari raya semakin dekat. Dalam kerumunan gempita itu tersisa satu orang tua yang terus membaca kitab suci, pakaiannya sederhana, memegang mukena putih yang kurang pantas juga disebut putih.

“Mak, lebaran esok lusa.” Seperti biasanya, Rifah selalu melapor hal yang sudah teratur, dan percuma saja, Emak Tijah juga akan diam.

Rifah menoleh, melihat dengan mata sayu teman-teman ibunya, ia merasa seperti sedang tersesat di dalam keluarganya sendiri, gadis itu kehilangan arti kasih sayang dan perhatian seorang ibu. Tanpa sepengetahan Rifah, Emak Tijah berhenti sebentar untuk memandang betapa anak perempuannya merindukan sesuatu yang berbeda beberapa tahun belakangan ini.

Duarrr!

Kemudian orang-orang berkerumun, ramai, seseorang memanggil Emak Tijah. Tangan Emen terkena petasan, malam itu rencana tarawih terakhir bagi mereka menjadi sia-sia, dan mungkin juga lebaran akan menjadi sia-sia bagi bocah laki-laki malang itu.

“Nah, sekarang kau tidur, esok sahur dan puasa terakhir. Lukamu bakal kering kalau kau puasa.”

“Emen masih harus puasa?”

“Memangnya kenapa?” Emak Tijah menyelidik. Emen memandang sedih luka di tangannya.

“Yang luka tangannya masa enggak puasa? Kan yang nahan lapar perut, Men! Mbak dulu jatuh dari pohon rambutan belakang rumah itu saja masih kuat puasa, ya kan, Mak?”

Emak tijah tersenyum mendengar Rifah sambil terus mengelus kepala Emen sebentar sebelum kedua perempuan di rumah itu keluar dari kamar. Dalam banyak hal Rifah kadang tidak sependapat dengan ibunya sebagai sesama perempuan, namun sebagai seorang anak, ia mengerti tentang perasaan-perasaan, selebihnya mungkin karena dirinya belum cukup usia untuk memahami hal tersebut. Malam itu suasana menjadi lebih nyaman, terutama bagi Rifah yang berhasil membujuk ibunya untuk memasak hidangan sahur lezat.

Sahur tiba, pemuda-pemuda desa dengan sedikit brutal menabuh peralatan dari berbagai perabot bekas dan aneka barang nyaring lainnya. Kali ini Emak Tijah tidak perlu lagi repot membangunkan dua orang anaknya, Rifah bangun terlebih dahulu, dilanjutkan dengan menggendong Emen untuk cuci muka.

“Sudah bisa bangun sendiri, hm?”

“Kapan lagi, Mak?” jawab Rifah menyimpan senyum. Emen masih menguap, tangan sebelah kirinya yang terluka sama sekali tidak sanggup diajak kompromi. Di atas tikar sebakul nasi panas mengepul, lauk yang diminta Rifah juga ada. Sesekali Rifah membantu adiknya mencincang daging ayam yang masiih menempel dengan tulang, sedang ibu mereka sama sekali tidak menyentuh nasi dan makanan apapun.

Dua anaknya memandang heran seolah bertanya, “Emak tidak makan sahur?”

Ibu mereka tersenyum embun seperti menjawab pertanyaan itu, “Kalian pikir emakmu ini masak tidak sambil mencicipi masakan atau bagaimana? Emak sudah makan.”

Seusai mencuci piring dan membereskan sisa makanan, Rifah mendekati ibunya.

“Mak, Emen minta baju lebaran.” Takut-takut Rifah mengatakan hal itu.

“Kau sendiri tak minta, Fah?”

Rifah menggeleng. Ia bergegas bangkit.

“Kemari sebentar.” Rifah duduk kembali. Emak Tijah menyentuh wajah Rifah dan terus berusaha menatap mata anaknya itu.

“Ah, meskipun lebaran masih besok, memaafkan emakmu ini sekarang saja ya, cah ayu.”

Malam takbiran

Mak Tijah seperti ibu-ibu pada umumnya yang selain bahagia karena sebentar lagi hari raya, juga memiliki kesedihan lain. Ada sekelumit cahaya di matanya yang tercuri entah oleh siapa, malam itu ia memilih menjadi lebih diam. Jadid belum juga pulang, atau karena Emen minta baju baru, semuanya menjadi serba mungkin dan wajar untuk pencerita sepertiku, tapi menjadi keharusan bagi Emak Tijah untuk memikirkan anak-anaknya.

Pagi hari setelah shubuh

Emak Tijah sudah selesai menghidangkan ketupat, Rifah dan Emen bertengkar tentang siapa di antara mereka yang berhak mandi terlebih dahulu. Sebab bagi dua anak itu, Emak Tijah telah mempersiapkan masing-masing baju baru.

Sesaat ketika takbir menggema dimana-mana, pukul 06:30

Seorang laki-laki kurus berjalan mendekati rumah Emak Tijah, membawa sekardus penuh buku-buku yang sedikit lebih kuning dari kitab kuning. Wajahnya yang ditumbuhi kumis tidak teratur itu membuat siapa saja hampir tidak mengenalinya, apalagi ketika ia datang dengan mengenakan sarung kotak dan berpeci lusuh. Laki-laki itu berdiri memandangi rumah yang tak dilihatnya selama bertahun-tahun. Tampak Emen keluar sambil berlarian kesana-kemari  kegirangan, mata mereka bertemu, bocah kecil itu kembali masuk ke dalam rumah dan menarik lengan baju ibunya. Emak Tijah dan Rifah keluar, kemudian lekat memandang laki-laki tersebut. Jadid pulang.

Perjumpaan bagi keluarga kecil itu merupakan sesuatu yang amat menggetarkan. Emak secara bergantian memandang Rifah dan Emen, lalu Jadid, dikatakan melalui tatapan itu. “Lihatlah mengapa emakmu tidak pernah memasak banyak nasi dan lauk berlebihan, kakak kalian di pesantren hanya makan sedikit, tidur sedikit, emak ingin kita merasakan juga yang dia rasakan.”

Pak Ihsan, kepala keluarga ini meninggal lima tahun yang lalu, saat air sungai datang dan meninggi secara tiba-tiba. Saat itu dirinya tengah mengajar di madrasah dusun seberang, mendengar informasi dusunnya dilanda banjir bandang, ia bersikeras pulang meskipun tim penyelamat memberitahu jika seluruh warga telah dievakuasi. Pak Ihsan laki-laki lurus, ia hanya ingin memastikan seluruh anggota keluarganya selamat. Di tempat lain petugas memang benar-benar telah membawa Emak Tijah bersama ketiga anaknya menuju ke tempat aman, mereka berempat dibujuk dengan memberitahu bahwa bapak mereka telah terlebih dahulu mengungsi. Mereka ditunggu Pak Ihsan di tempat jauh yang aman.

Sebelum shalat ied dan takbir sekali lagi berkumandang dari balik pengeras suara, kepulangan itu lagi-lagi melubangi kantung air di mata mereka. Rumah yang tidak sungguh rumah, selain kokoh dan menenangkan, seharusnya sanggup meleburkan cerita.


*Cerpenis Muda asal Cipacap, tinggal di Jombang