Sumber gambar: tintahijau.com

Oleh: Gadiza Fatimah Azzahra*

Langit sore ini terlihat abu-abu, awan hitam mulai berlarian untuk menutupi warna birunya. Disinilah ceritaku dimulai, tanpa aba-aba, tanpa salam atau bahkan tanpa ketukan pintu. Semuanya serba tiba-tiba.

Aku terkejut bukan main ketika seseorang yang telah lama pergi, datang meghampiri sambil membawa sehelai pakaian yang terlihat sangat lusuh. Siapa dia? Aku bahkan hampir lupa jika bukan karena membaca nama yang tertempel pada seragam miliknya. Seragam berwarna putih yang warnanya telah luntur entah mengapa. Baiklah, kalian akan mengenal siapa dia seiring berjalannya cerita.

Sorot matanya terlihat sendu namun menyiratkan kebahagiaan. Aku bingung, mengapa dirinya kembali hadir disaat keadaan telah membaik. Bukankah dirinya yang saat itu berteriak nyalak hingga membabi buta keadaan yang sebenarnya sudah sangat hancur? Bukankah dirinya pula yang meyalahkan takdir hingga memilih untuk pergi?

Jangan dulu berpikir buruk tentangnya, setidaknya ia memiliki satu titik istimewa, yang membuat dirinya akan menjadi sangat indah. Seseorang yang kali ini tersenyum kepadaku tanpa menunjukkan keraguan sedikitpun. Aku merindukannya, sangat merindukannya. Dengan melihat tangannya yang semakin kekar, kakinya yang semakin jenjang, dan wajahnya yang terlihat rupawan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Aku kembali megingatnya. Beribu memori berkelebatan di pikiranku. Tangan yang mengusap air mataku disaat kedua orang tuaku pergi untuk selamanya. Kaki yang siap berlari untuk meladeniku bermain petak umpet. Dan wajah yang dulunya sudah mirip arang, dikarenakan bekerja dibawah sinar matahari tanpa henti.

Tidak hanya itu, hati kecilnya rela untuk terinjak demi memberangkatkanku sekolah. Dirinya rela tidak sekolah, padahal jarak usia kami yang tidak jauh. Seingatku hanya dua tahun selisih yang menghalangi umur kami. Bukannya memilih sekolah, ia lebih memilih membakar ikan di pinggir pantai untuk membantu para penjual ikan asap. Dan menyuruhku pergi sekolah hingga mengantarku sampai depan pagar.

Semua hal indah ini sirna dalam satu kedipan mata. Semuanya terjadi karena tanpa sengaja arang yang ia gunakan untuk membakar ikan asap mengenai mata indahnya. Arang panas berwarna hitam keputihan itu menyentuh mata indahnya. Mata yang selalu tersirat ketenangan di dalamnya. Mata yang selalu menyipit hingga membentuk bulan sabit ketika tersenyum itu hilang tertelan bumi. Dirinya benar-benar hancur saat itu. Para penjual ikan asap yang berada tak jauh dari lokasi bergegas membawanya ke rumah sakit.

Para tetangga menjemputku di sekolah. Berteriak memanggil namaku tanpa ampun, “Jingga! Jingga! Kang masmu ada di rumah sakit! Cepat susul dia! Cepat Jingga! Jangan bengong!” Ucap salah satu warga ketika diriku malah diam tak berkutik pada tempatku. Aku benar-benar kebingungan.

Otakku serasa melorot hingga tak bisa berpikir jernih. Apa yang terjadi pada kang mas? Sebenarnya ada apa? Tak pikir Panjang, aku segera menaiki mobil tepak milik tetanggaku yang notaene akan mengantarku menuju rumah sakit. Menemui satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Dia satu-satunya bagiku.

Sesampainya di rumah sakit, aku segera berlari menuju ruangan kang mas. Membuka pintu hingga sedikit memaksa dalam keadaan air mataku jatuh tanpa henti. Aku yang melihatnya terbaring dengan perban mengelilingi matanya merasa sangat sakit. Seakan-akan hatiku tersilat bilah besi hingga berkeping-keping. Bagaimana tidak, kang mas divonis buta permanen. Dokter yang melakukan tindak operasi memberikan keputusan finalnya. Saat itu aku merasakan kehilangan lagi, bukan karena seseorang yang pergi, bukan. Tetapi karena kebahagiaan yang mungkin tidak berada di pihakku.

Hal itu terjadi, disaat umurku baru tujuh tahun. Di bangku kelas satu sekolah dasar. Sejak saat itu aku memutuskan tidak sekolah dan merawat kang mas. Bagaimana aku bisa sekolah, jika biaya utuk makan sehari-hari saja masih kurang. Selain merawat kang mas, aku juga bekerja menjadi koki di warung makan kecil milik Ibu Gia. Gaji yang kuperoleh kugunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Satu hari, disaat aku pulang dari bekerja, aku melihat seisi rumah kosong. Kang mas tidak ada di rumah, aku panik kalang kabut. Bagaimana bisa kang mas tidak ada? Aku berlari, mengelilingi rumah, membuka selimut, menyibak gorden, memeriksa setiap ruangan dengan teliti. Aku tidak menangis, air mataku sudah habis kemarin sore. Senja sore ini menjadi saksi kang mas pergi, mungkin untuk selamanya. Surat yang ia tinggalkan tak memberikan keterangan lebih mengenai tempat atau apapun itu.

Tapi, tidak lagi untuk selamaya jika sore ini wajah dewasanya sudah muncul di depanku. Ternyata kebahagiaan ini tidak hilang, bahkan terasa semakin lengkap. Lamunanku buyar, ketika mendengar seseorang di depanku mulai berbicara.

“Hai Jingga, aku datang kembali. Maaf, jika aku tidak pamit saat akan pergi. Aku pergi untuk mengobati mataku. Aku tidak sempat pamit, karena pesawat yang membawaku akan terbang tepat pada pukul tiga. Maka aku hanya sempat menulis surat singkat dengan kemampuanku yang minim pada saat itu.”

Dia adalah kakakku. Kakak hebatku. Kakak yang dapat menjadi sosok ayah dan ibu untukku. Kakak yang dapat menjadi temanku. Bahkan sahabat bagiku. Dia orang yang luar biasa untukku. Dia datang. Dia datang untuk menemuiku kembali. Untuk menjadi sosok yang hebat untukku.

Dia adalah Biru di kala Jinggaku. Dia adalah kakakku. Dia adalah rumah untukku, tempatku untuk kembali pulang.

*Siswa SMA Trensains Tebuireng