ilustrasi: lensgo.id / menjahir sebuah kain.

Perempuan itu tampak mengelus lembut kain polos biru yang terpampang di depannya. Baunya masih segar. Sejak kecil, Amel sudah terbiasa hidup di sekitar gulungan kain dan alat jahit. Ayahnya, seorang tukang penjahit sol sepatu di Pasar Gede, telah mengajarkan Amel seni menjahit sejak usia yang sangat muda.

Meski hidup sederhana, Amel selalu bermimpi memiliki sebuah baju istimewa yang hanya ia buat untuk dirinya sendiri. Setelah lulus sekolah menengah, Amel bertekad untuk membuat baju terakhir yang akan menjadi masterpiece-nya sebelum ia melangkah ke dunia yang lebih luas.

Namun, takdir berkata lain. Pagi itu, sebelum Amel sempat menyelesaikan baju terakhirnya, sebuah telepon mengubah segalanya. Ayahnya terluka parah dalam kecelakaan di pasar. Dengan hati yang berat, Amel meninggalkan baju terakhirnya dan berlari menuju pasar untuk menemui ayahnya.

Dengan langkah yang terburu-buru, Amel melintasi jalan-jalan berdebu menuju Pasar Gede. Terik matahari yang menyengat membuatnya berkeringat, dan sebagian besar dari itu bukan hanya karena panasnya cuaca, tetapi juga karena kecemasan yang menghimpit dadanya.

Sampai di pasar, Amel terhenti di depan warung tempat ayahnya biasa bekerja. Hatinya berdegup kencang ketika melihat kerumunan orang di sekitar sana. Dia berusaha menembus kerumunan itu dan menemukan ayahnya terbaring di tanah, dengan wajah pucat dan terluka parah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Rasa panik dan ketidakpastian melanda Amel. Dia berharap ayahnya sudah ditolong, tetapi tampaknya situasinya sangat serius. Dengan berat hati, dia menghampiri dan bertanya kepada orang-orang di sekitar tentang apa yang terjadi dan apakah ada yang bisa membantu.

Amel mendekati kerumunan orang di sekitar ayahnya, namun rasa cemasnya semakin memuncak saat dia melihat ekspresi wajah mereka yang tak acuh. Beberapa orang hanya berdiri di sekitar, sementara yang lain tampak sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Merasa putus asa, Amel mencoba mendorong dirinya ke depan, berusaha untuk mendekati ayahnya yang terluka. Namun, dia disergap oleh seorang pria besar yang menghalangi jalannya.

“Kau pikir kau bisa melakukan apa saja, gadis kecil?” kata pria itu dengan kasar, menatap Amel dengan tatapan tajam.

Amel menelan ludahnya, tetapi tetap teguh. “Tolong, ayah saya butuh pertolongan sekarang juga!” Desakan putus asa terdengar dalam suaranya.

Namun, pria itu hanya mendengus dan menolak. “Kau pikir aku peduli dengan masalahmu? Uruskan sendiri urusanmu. Kami punya bisnis yang harus diurus di sini.”

Amel merasa hatinya hampir copot ketika pria besar itu menghalangi jalannya. Namun, sebelum dia bisa menuntut penjelasan lebih lanjut, suara seseorang yang berwibawa memecah keheningan.

“Sialan, apa yang terjadi di sini?”

Semua orang di sekitar berpaling, termasuk pria besar yang menghalangi Amel. Seorang pria tua dengan rambut abu-abu dan jubah biru langit melangkah maju, memandang Amel dengan penuh perhatian.

Amel menarik napas lega ketika melihat sosok itu. “Pak Riyanto, ayah saya… dia terluka parah,” ujarnya dengan suara gemetar.

Pria tua itu, Pak Riyanto, mengangguk serius. “Ayo kita lihat apa yang terjadi.”

Mereka berdua bergabung dengan kerumunan yang masih berkerumun di sekitar ayah Amel. Saat mereka mendekat, terlihat bahwa ayah Amel telah terbaring lemas, dengan luka-luka yang serius di bagian kepala dan lengan.

“Ayah, apa yang terjadi?” Amel menangis sambil mencoba merangkul ayahnya.

Pak Riyanto meneliti luka-luka itu dengan cermat. “Ini… ini tidak terlihat seperti kecelakaan biasa.”

Amel menatap pria itu dengan tatapan penuh harap. “Apa maksudmu?”

Pak Riyanto mengangguk pelan. “Kita harus membawa dia segera ke rumah sakit. Tapi sebelum itu, kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.”

Saat semua orang masih bersitegang, tiba-tiba muncul seorang pria muda dengan tas medis besar yang tergantung di pundaknya. Dalam sekejap, suasana berubah menjadi hening. Pria muda itu dengan tenang mendekati Amel dan ayahnya yang terluka.

“Diam, semua orang. Biarkan saya melihat luka-luka ini,” ujarnya dengan suara tegas.

Dengan gesit, pria muda itu membuka tas medisnya dan mengeluarkan peralatan medis yang diperlukan. Dengan cermat, dia membersihkan luka-luka ayah Amel dan memberikan perawatan sementara.

Ketika pria muda itu mengangkat kepalanya, Amel memperhatikan ekspresi tajam di matanya. “Siapa Anda?” tanyanya.

Pria muda itu tersenyum tipis. “Nama saya Damar. Saya seorang paramedis di klinik seberang jalan. Saya mendengar keributan dan saya tahu ada yang salah.”

Amel menarik napas lega. “Terima kasih, Damar.”

Namun, sebelum mereka bisa berbicara lebih lanjut, Pak Riyanto mendekati mereka dengan wajah yang serius. “Damar, apakah Anda tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Damar mengangguk. “Saya mendengar percakapan mereka,” jawabnya sambil menunjuk ke arah pria besar yang sebelumnya menghadang Amel. “Ternyata, kecelakaan ayah Amel bukan kecelakaan biasa. Itu berhubungan dengan orang itu.”

Amel menatap pria besar itu dengan curiga. “Apa hubungannya dengan dia?” tanyanya kepada Damar.

Damar mengangguk ke arah pria besar itu. “Dia adalah bagian dari geng lokal yang sering membuat masalah di pasar ini. Mereka terlibat dalam bisnis gelap dan sering menggunakan kekerasan sebagai cara untuk menakut-nakuti orang.”

Pak Riyanto menyela, “Jadi, Anda mengatakan bahwa kecelakaan ayah Amel mungkin disengaja?”

Damar mengangguk. “Itu mungkin. Mereka bisa saja melakukan ini untuk memberikan peringatan kepada ayah Amel atau bahkan sebagai pembalasan atas sesuatu yang tidak diketahui.”

Amel menelan ludahnya, mencoba menyerap semua informasi itu. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Pak Riyanto bertindak cepat. “Pertama-tama, kita harus membawa ayahmu ke rumah sakit untuk perawatan yang lebih lanjut. Setelah itu, saya akan melaporkan insiden ini kepada pihak berwenang. Kita tidak bisa membiarkan geng ini berbuat semaunya.”

Damar menambahkan, “Dan saya akan membantu dalam penyelidikan ini. Saya punya beberapa kontak yang mungkin bisa membantu.”

Amel merasa sedikit lega mengetahui bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi situasi ini. Meskipun hatinya masih berdebar-debar, dia tahu bahwa dia harus tetap kuat untuk ayahnya dan untuk membawa keadilan bagi apa yang telah terjadi.

Setelah itu Damar dan Amel membawa ayah Amel ke RS tempat Damar bekerja, Amel duduk di ruang tunggu rumah sakit, hatinya hancur oleh berita yang baru saja dia terima. Air mata tak tertahankan mengalir tanpa henti dari matanya yang merah.

“Damar, ayahku…” ucapnya terputus-putus, kesedihan yang mendalam menyelubungi suaranya.

Damar mendekatinya dengan penuh empati. “Aku tahu, Amel. Aku turut berduka cita.”

Amel mencoba menahan tangisnya saat dia menatap Damar. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?”

Damar mengambil tangan Amel dengan lembut. “Kita akan melalui ini bersama-sama. Pertama-tama, izinkan aku membantumu mengurus segala administrasi yang diperlukan di rumah sakit ini. Setelah itu, kita akan fokus pada membawa keadilan bagi ayahmu.”

Amel mengangguk, merasakan kehangatan dukungan dari Damar. Meskipun hatinya hancur, dia merasa sedikit tenang mengetahui bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi kesedihan ini.

Setelah menyelesaikan segala urusan di rumah sakit, Amel dan Damar pergi ke kantor polisi untuk melaporkan insiden tersebut. Mereka berjanji satu sama lain bahwa mereka akan bertarung bersama untuk membawa keadilan bagi ayah Amel dan untuk mencegah hal serupa terjadi pada orang lain di masa depan.

Pagi itu di area pemakaman, Amel berdiri di samping kuburan ayahnya, mata yang masih basah oleh air mata yang baru saja dia luapkan. Dia merenung sejenak, mengenang semua kenangan manis bersama ayahnya yang tercinta. Kemudian, dengan langkah-halang yang berat, dia pergi menuju rumahnya.

Ketika dia tiba di rumah, matanya tertuju pada gulungan kain biru yang terbengkalai di meja kerjanya. Itu adalah baju terakhir yang hendak dia buat untuk dirinya sendiri, tetapi tidak pernah dia selesaikan.

Dengan hati yang penuh rasa, Amel duduk di depan mesin jahit dan mulai menyatukan potongan-potongan kain menjadi sebuah baju. Air mata terus mengalir saat jarum mesin jahit bergerak naik turun.

Ketika baju itu selesai, Amel merasakan kelegaan di dalam hatinya. Dia melihat baju itu dengan penuh kasih sayang, memeluknya erat-erat. “Baju ini akan menjadi baju terakhirku setiap kali lebaran tiba,” gumamnya, suaranya tercekat oleh emosi.

Setiap kali dia mengenakan baju itu, dia akan mengingat sosok ayahnya yang penuh tanggung jawab dan pekerja keras. Dan meskipun ayahnya telah tiada, kenangan dan pengaruhnya akan terus hidup dalam hati Amel selamanya.

*Ditulis oleh Albii, mahasiswa KPI Unhasy Tebuireng.