Oleh: Nur Indah*

Imam Al-Bukhori meriwayatkan, selepas perang Khandaq Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah shallahu ‘alaih wa sallam dan menyampaikan wahyu berupa perintah kepada Nabi Muhammad shallahu ‘alaih wa sallam dan kaum muslimin untuk segera meninggalkan Khandaq dan bergegas pergi menuju perkampungan Yahudi Bani Quraizhah. Mendapat mandat seperti itu, Rasulullah segera memerintahkan kaumnya untuk segera bergegas menuju tempat yang dimaksud, yakni perkampungan Yahudi Bani Quraizhah, seraya berkata :

(ألاَّ لَا يُصَلِّيْنَ أحَدُ الْعَصْرَ إلَّا فِيْ بَنِيْ قُرَيْضَةَ (رواه البخاري

Ingatlah janganlah seorang di antara kelian melaksanakan shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraizhah” (HR Imam Bukhori)

Dari sabda Rasulullah shallahu ‘alaih wa sallam ini, para sahabat terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memahami apa adanya sesuai yang telah disandarkan oleh Nabi Muhammad shallahu ‘alaih wa sallam sehingga mereka melaksanakan shalat ashar di kampung Quraizhah. Sedangkan kelompok sisanya tidak demikian pemahaman mereka berbeda pendapat mengenai sabda Nabi Muhammad shallahu ‘alaih wa sallam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Risalah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah menyebut komentar atas hadis di atas bahwa mereka mendapati waktu Ashar di tengah jalan. Maka sebagian mereka berkata: “Kita diperintahkan untuk bergegas.” Dan mereka pun menunaikan shalat Ashar di tengah jalan. Sementara yang lain berkata: “Kita diperintahkan untuk menunaikan shalat Ashar di sana.” Maka mereka pun menunda shalat Ashar (sampai tiba di tempat Bani Quraizhah). Dan ternyata Rasusullah shallahu ‘alaih wa sallam tidak mencela siapapun dari mereka. Hal itu menunjukkan beabsahan mengamalkan apa yang dipahami dari Syari’ (pembuat syariat) manakala tidak didasarkan pada bisikan hawa nafsu.

Menurut Dr. Muhammad Said Al-Buthi, peristiwa tersebut menjadi landasan jika terjadinya perbedaan di ranah furu’ (cabang syariat) adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, dan hal tersebut mendapat legitimasi dari Rasulullah shallahu ‘alaih wa sallam sendiri, andai pemahaman terhadap teks syariah harus tunggal, tentu Rasulullah shallahu ‘alaih wa sallam akan menegur serta menyalahkan salah satu dari keduanya. Akan tetapi pada kenyataanya Rasulullah SAW tidak demikian,tidak berpihak pada salah satu dari dua kelompok tersebut

Keniscayaan perbedaan semakin diperkuat oleh sejumlah faktor yang di antaranya adalah:

  1. Perbedaan tingkat kepahaman yang dimiliki setiap orang, tak terkecuali para sahabat Nabi shallahu ‘alaih wa sallam
  2. Karakter teks-teks wahyu (al-Qur’an dan hadis) yang didominasi oleh teks yang sifatnya multiinterpretasi
  3. Karakter bahasa Arab

Hal ini juaga tidak jauh beda dengan yang terjadi pada kisah Aus dan Khazraj, keduanya merupakan dua suku yang terkenal, keduanya juga merupakan sahabat Anshor. Kala itu kota yang bernama Yastrib terdapat suku-suku Yahudi lainya mereka adalah Bani Qainuqa’, Bani Nadzir, Bani Quraizhah.

Pada mulanya orang Yahudi Madinah dominan dalam hal ekonomi, mereka menguasai tanah-tanah terbaik Madinah dan oase-oase Taima, Fadak dan Wadil Qura hingga akhirnya eksistensi mereka disaingi oleh suku Aus dan Khazraj. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan ini, orang Yahudi Madinah menerapkan “Politik Pecah Belah”. Mereka mengadu domba antara suku Aus dan Khazraj yang sebenarnya mereka masih lahir dari rumpun yang sama.

Untuk memuluskan rencananya, Bani Nadhir dan Bani Qainuqa’ pura-pura pro kepada golongan Aus dan selalu memprovokasi agar melawan dan menyerang golongan Khazraj, begitu pun dengan bani Quraidzah, mereka memainkan peran sebagai orang yang pro kepada golongan Khazraj dan memprovokasi untuk melawan dan menyerang golongan Aus.

Tipu daya Yahudi itu sukses mengadu domba antara suku Khazraj dengan suku Aus, dan pada puncaknya Suku Aus dan Suku Khazraj terperangkap dalam lingkaran Bu’ats selama 5 tahun namun tidak ada satupun dari mereka yang dinyatakan menang, melainkan kerusakan dan kehancuran belaka.

Hingga akhirnya, Rasulullah datang hijrah ke Madinah, dan  Rasulullah pun membuang fanatisme (ta’ashub) yakni fanatisme pada kesukuan dibuang jauh dari mereka, sebagai gantinya ada Ukhuwah Islamiyah yang menyatukan suku Aus dan Khazraj bersatu di bawah panji Islam. 

Karena perbedaan adalah suatu yang niscaya dan pasti terjadi, maka sikap kita seharusnya adalah saling menghargai dan tidak fanatik pada satu pendapat tertentu.


*Menyadur dari Buletin Sidogiri

**Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari